"Kiyai, ada yang ingin Mak Cik sampaikan ke kamu. Tapi, Pun belum boleh tahu." Mak Cik menghembuskan napasnya.
"Ada apa, Mak Cik?"
"Mak dan Bak sekarang ada di Rumah Rakit Abdoel Moeloek di Bandarlampung. Maafkan Mak Cik, tak tahu bagaimana menyampaikan ke kamu." Mak Cik mengusap matanya yang memerah.Â
"Apa yang terjadi, Mak Cik?"
"Mak dan Bak ingin mengunjungi kamu, tapi mengalami kecelakaan. Saat itu hujan deras, tapi Mak dan Bak nekat menembus hujan. Mereka begitu ingin bertemu kalian."
Kiyai menutup wajahnya. "Bagaimana keadaan mereka?"
"Masih di ruang perawatan," kata Mak Cik. "Kita berdoa saja mereka cepat sadar." Mak Cik mengusap bahu Kiyai dengan sayang.Â
"Semua akan baik-baik saja," bisik Kiyai. Mak Cik mengangguk, menarik napas perlahan dan menghembuskannya. Lalu, mereka berjalan tanpa bicara menuju mobil. Pun melambaikan tangan ke arah mereka.
"Kiyai, tadi ada yang bilang kalau ada korban karena diserang gajah di Umbul Kuyung."
"Pekon Sidomulyo?" Kiyai menatap wajah adiknya. Pun mengangguk.Â
"Kakinya patah karena berusaha menyelamatkan diri. Padahal, korban itu petugas yang biasa menyusuri daerah hutan." Kiyai mengangguk, matanya memandang ke arah jendela. Pemandangan Liwa yang indah, hijau kebiruan. Bukit yang mengelilingi Liwa menjadikan tempat indah ini sebagai destinasi wisata favorit di Lampung. Teringat masa kecilnya saat bermain bersama Pun untuk memetik kopi di kawasan hutan lindung dan berpapasan dengan rombongan gajah. Kenangan yang indah karena dapat melihat langsung rombongan gajah itu berjalan menuju hutan di depan mereka. Kiyai ingat kesedihan Edi, sahabatnya yang rumahnya hancur diserang gajah. Lalu, ingatan Kiyai melayang pada Mak dan Bak yang lama tak berjumpa. Mak dan Bak yang terbaring di RSAM Bandarlampung. Air mata Kiyai menetes tanpa ia sadari.Â