Polemik kebijakan Kartu Prakerja seolah tak ada habis. Awalnya pengkritik menilai ada konflik kepentingan dalam keterlibatan Ruang Guru sebagai mitra Prakerja, mengingat Belva Devara selaku pemilik Platform Digital tersebut juga menjabat sebagai Staf Khusus Presiden. Mereka menuntut Belva mundur dari jabatannya. Setelah Belva mundur, para pengkritik menilai ada praktik korupsi dalam penentuan mitra Prakerja. Malah ada yang nuntut program Prakerja dihapus, dialihkan total menjadi Bansos. Tepatkah berbagai kritikan itu? Kita akan ulas satu per satu.
Dari Pelatihan Menjadi Semi-BansosÂ
Sebelumnya, perlu digarisbawahi bahwa Kartu Prakerja adalah janji kampanye Jokowi yang disampaikan dalam Konvensi Rakyat di SICC, Bogor (24/02/2019). Program ini digagas untuk pelatihan vokasi tenaga kerja Indonesia. Rescaling dan upscaling kapasitas tenaga kerja sangatlah penting, mengingat ekonomi dunia tengah terdisrupsi seiring Revolusi Industri 4.0 yang mengubah segala aspek kehidupan menjadi serba digital.
Dalam Rapat Terbatas Kabinet 12 November 2019, Presiden menginstruksikan program prakerja segera diluncurkan. Awal Desember 2019, Kemenko Perekonomian mempersiapkan peluncuran Prakerja untuk wilayah Jakarta dan Bandung yang rencananya mulai ujicoba pada Maret 2020. Ternyata situasi bulan maret jauh di luar dugaan. 12 Maret, WHO menetapkan Covid-19 sebagai pandemi global dan Indonesia pun mencatat kasus positif corona sejak awal maret. Alhasil, program Prakerja diselaraskan dengan upaya penanganan pandemi Covid-19.
Karena banyak perusahaan berhenti, tenaga kerja terkena PHK, UMKM kehilangan usaha, program prakerja pun menggabungkan model pelatihan vokasi dengan bantuan sosial. Dengan begitu, Prakerja tak hanya membantu peningkatan kapasitas tenaga kerja, tapi juga membantu para pekerja terdampak untuk bertahan hidup di tengah hantaman pandemi.
Penyesuaian Anggaran dan Cakupan Peserta
Seiring penyesuaian program, total anggaran Prakerja sebesar Rp10triliun pun dinaikkan dua kali lipat menjadi Rp20triliun. Jumlah peserta yang semula ditargetkan untuk 3 juta orang, dinaikkan menjadi 5.6 juta orang, difokuskan untuk yang kehilangan pekerjaan. Alokasi anggaran pun diubah drastis. Biaya pelatihan yang awalnya dianggarkan Rp3-7 juta per peserta, diturunkan menjadi hanya Rp1juta per orang.
Dan sebaliknya, insentif atau uang saku pelatihan yang awalnya dianggarkan Rp650ribu dinaikkan empat kali lipat menjadi Rp2.55juta. Dari berbagai penyesuaian itu, kita bisa melihat dengan jernih bahwa pelaksanaan Program Prakerja adalah dukungan pemerintah untuk para pekerja, yang implementasinya disesuaikan dengan masa pandemi.
Kenapa prakerja tidak dihapus dan dialihkan sepenuhnya menjadi Bansos? Karena mayoritas pesertanya adalah pekerja yang terpaksa berhenti seiring pandemi. Mereka butuh insentif untuk tetap bertahan hidup, sembari terus mempertahankan etos dan motivasi kerja. Mereka bukan orang-orang yang terbiasa diam, pasif di rumah sembari menunggu datangnya bantuan.
Polemik Mitra PrakerjaÂ
Terkait polemik 8 plaform digital yang menjadi mitra pelatihan Prakerja, mari kita lihat dengan jernih. Yang jelas, penyaringan calon mitra kerja sudah dijajaki sejak 2019, dengan menggalang keterlibatan institusi digital maupun institusi reguler. Institusi digital melibatkan berbagai unicorn, termasuk 8 platform digital yang saat ini menjadi mitra pelatihan prakerja. Sementara institusi reguler melibatkan 2000 Lembaga Pelatihan Kerja dan Balai Latihan Kerja.
Sekali lagi seiring pandemi Covid-19, model pelatihan harus difokuskan menjadi online, guna mendukung proses physical distancing dan jaga jarak. Benarkah platform digital itu otomatis menerima Rp5.6triliun anggaran pelatihan? Jelas tidak. Mitra pelatihan digital hanyalah marketplace yang menghimpun 192 institusi pelatihan dan menawarkan ribuan paket pelatihan. Paket-paket itu disajikan oleh mitra digital untuk diakses oleh 5.6 juta peserta prakerja, yang masing-masing dibekali Rp1juta untuk biaya pelatihan.
Artinya, total biaya pelatihan Rp5.6triliun tidak dipegang oleh mitra program, melainkan disalurkan langsung pada peserta. Peserta sendiri yang memilih paket pelatihan sesuai minat dan kebutuhan. Karena itulah pemilihan mitra Prakerja tidak dilakukan melalui tender, karena mereka bukan pengelola dana pelatihan. Mereka hanya penyedia lapak yang mempertemukan institusi pelatihan dengan peserta prakerja. Dan memang platform digital Indonesia yang memiliki kapasitas untuk menjadi mitra Prakerja saat ini jumlahnya hanya segelintir, termasuk 8 platform mitra tersebut.
Kualitas Pelatihan
Seiring proses Physical Distancing, metode pelatihan prakerja pun disesuaikan. Rencana semula untuk menggabungkan pelatihan online dan ofline, diubah menjadi sepenuhnya online. Apakah pelatihan online otomatis tak berkualitas? Tentu tidak, karena paket pelatihan kartu Prakerja dilengkapi silabus pembelajaran, dan materinya pun disampaikan para pakar dan praktisi kompeten. Pelatihan juga dilengkapi evaluasi untuk mengukur penguasaan materi, dan juga sertifikat kelulusan.
Kalau ada yang bilang materi pelatihan Prakerja tersedia gratis di internet, mungkin dia lupa bahwa internet memang menampung segalanya. Kalau mau melacak, bahkan materi pelajaran SD hingga perguruan tinggi pun tersedia di internet. Apakah ini jadi dalil untuk menutup sekolah dan kampus-kampus? Tentu tidak, karena institusi pendidikan dibutuhkan untuk menyusun pemahaman dan kemampuan yang sistematis, serta memberi pelembagaan kapasitas dan kompetensi.
Paket pelatihan Prakerja juga sangat banyak dan variatif, mencakup ribuan kelas dengan biaya per paket mulai dari Rp24ribu hingga Rp1juta. Jika mengambil paket seharaga Rp100ribu, peserta bisa mengambil 10 pelatihan, semua ditanggung oleh prakerja. Peserta bisa memilih sesuai kebutuhan, karena mereka adalah para pekerja yang harus diperlakukan secara dewasa.
Rekruitmen Peserta
Yang tak kalah penting, berbagai fasilitas insentif dan pelatihan itu sangat mudah diakses melalui sistem online. Para pekerja terdampak pandemi di seluruh Indonesia tak perlu berjubel antre, cukup mendaftar di rumah melalui telpon genggam. Sistem pendaftaran juga dilengkapi seleksi digital yang mendeteksi setiap pendaftar melalu verifikasi NIK, verifikasi status pekerjaan dan teknologi face recognition. Dengan begitu, dipastikan bahwa pendaftar yang lolos berusia di atas 18 tahun, tidak memalsukan data catatan sipil dan tidak sedang sekolah/kuliah.
Pendaftaran dengan model open access ini paling tepat untuk rekrutmen prakerja, karena memotong birokrasi yang berbelit dan kerap menyulitkan pekerja. Gelombang pendaftaran yang dibuka tiap pekan hingga 30 gelombang, memberi kesempatan bagi para pendaftar yang belum lolos agar bisa mengikuti pendaftaran pada gelombang berikutnya.
Terlepas riuhnya komentar nyinyir para pengkritik di Sosmed, yang jelas 8.6 juta orang sudah mendaftar prakerja hingga gelombang dua pekan lalu. Itu membuktikan bahwa sektor informal, UMKM, korban PHK sangat butuh Program Prakerja. Seperti yang sudah-sudah, mayoritas pengkritik yang nyinyir di Sosmed adalah kelas menengah yang hidupnya terpisah dari realitas keseharian warga.Mungkin mereka tak pernah bersentuhan sama sekali dengan para buruh dan korban PHK, hanya mengira-ngira dengan sudut pandang subyektifnya.
Mungkin mereka lupa, Jokowi adalah pengusaha yang merangkak dari bawah. Dia cukup paham dunia usaha dan ketenagakerjaan. Dia juga tetap rajin blusukan, turun lapangan meski sudah jadi pejabat. Itulah yang membuat presiden kita tetap terhubung dengan suasana batin rakyat lapisan bawah, tidak seperti kaum nyinyir yang hidup di menara gading tapi merasa paham segalanya.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI