Pro-kontra kebijakan pemerintah terkait mudik di tengah pandemi Covid-19 akhirnya terjawab. Sebelumnya, banyak kalangan masyarakat mengkritik keras pemerintah yang dinilai tidak tegas melarang para perantau, khususnya di DKI Jakarta, agar tidak mudik ke kampung halaman. Padahal tanpa larangan tegas, para pemudik dikhawatirkan menyebar  virus ke kampung halamannya.
Saat presiden melakukan telekonferensi di Istana Negara (09/04), kekhawatiran itu disampaikan oleh wartawan yang menyampaikan pertanyaan kepada presiden. Saat menanggapi pertanyaan wartawan itulah, Jokowi menyiratkan sebuah skema yang sangat terukur.Â
Ini semakin menunjukkan bahwa Jokowi adalah penghitung yang cermat, dan tak latah mengambil keputusan meski didera berbagai kritik pedas.
1. Dua Kelompok Pemudik
Dalam penjelasannya, Jokowi menyebut dua kelompok pemudik. Pertama, yaitu pemudik yang pulang kampung karena faktor tradisi. Hal ini lazim terjadi menjelang perayaan hari besar keagamaan, yang pada lebaran 2019 lalu dilakukan oleh 23 juta orang dan 14.9 juta di antaranya dari Jabodetabek.Â
Kelompok kedua, yaitu pemudik yang pulang kampung karena faktor ekonomi. Kelompok inilah yang beberapa saat terakhir meninggalkan Jakarta lantaran pencahariannya macet di tengah pembatasan sosial seiring pandemi Covid-19.
Untuk kelompok pertama, pemerintah tegas melarang Aparatur Sipil Negara (ASN), TNI, Polri dan pegawai BUMN untuk mudik. Adapun untuk kelompok kedua, pemerintah berusaha keras mencegah mereka untuk tidak mudik.Â
Untuk itu, pemerintah menyediakan bantuan sosial berupa paket sembako senilai Rp600 ribu per bulan untuk 2.6 juta jiwa di DKI Jakarta selama tiga bulan berturut-turut. Bantuan serupa juga disalurkan untuk1.6 juta jiwa di wilayah Bogor, Tangerang, Bekasi.
2. Tiga Lapisan Sosial dan Kondisi Pemukiman
Kalau dibedah lebih mendalam, dua kelompok pemudik yang disebut Jokowi bisa dipecah lagi menjadi tiga lapisan sosial. Pertama, yaitu kelompok setengah perantau.Â
Kelompok inilah yang paling awal terdampak pembatasan sosial, dan terpaksa mudik lebih awal. Kelompok ini biasanya memiliki dua basis penghidupan, yaitu di Kota (Jabodetabek) dan di desa. Ketika penghidupan di kota terancam, mereka masih bisa survive di kampung halaman.
Kelompok kedua, yaitu pekerja dan pelaku UMKM non pemerintah yang penghidupannya bergantung penuh di Jabodetabek. Mungkin saja kelompok juga terdampak pembatasan sosial, tapi tak bisa langsung mudik, karena berbagai ikatan tau pertimbangan.Â
Ada juga pekerja yang mungkin tidak terlalu terdampak karena tetap menerima gaji bulanan. Dan kelompok ketiga, yaitu pekerja pemerintahan seperti disebut di atas (ASN, TNI, Polri, Pegawai BUMN). Kelompok kedua dan ketiga inilah yang jumlahnya sangat besar dalam arus mudik tahunan.
Yang tak banyak diketahui orang, bahwa mayoritas kelompok setengah perantau tinggal di pemukiman yang tak layak huni di Jakarta.Â
Mereka menempati petak kecil yang dihuni hingga belasan orang. Kondisi itu sangat tidak mendukung social distancing. Sementara, di kampung mereka justru memiliki lahan lebih luas dan punya cadangan sawah atau kebun untuk bertahan hidup.
3. Gotong Royong Nasional
Yang tak kalah penting, bahwa situasi sekarang adalah darurat nasional. Artinya, penanganan pandemi bukan hanya urusan pemerintah pusat dan Pemda DKI Jakarta, tapi juga urusan seluruh level pemerintahan, dan seluruh masyarakat hingga lapisan sosial terbawah.Â
Maka, ketika para pemudik gelombang awal sampai ke kampung, pemerintah daerah dan masyarakt setempat sudah siap melakukan pemantauan bersama.
Di kampungnya, justru para pemudik gelombang awal itu punya ruang isolasi memadai, seiring pengawasan bersama pemerindah dan masyarakat setempat. Kalaupun rumahnya di kampung kurang memadai, masih banyak aset desa bisa dimanfaatkan untuk karantina komunitas.Â
Sebagai informasi, kepadatan penduduk Jakarta saat ini 15.938 jiwa per kilometer persegi. Bandingkan dengan Kabupaten Wonogiri yang kepadatan penduduknya 602 jiwa per kilometer persegi. Tak heran, balai RW di kampung kadang lebih luas dibanding kantor lurah di Jakarta.
Inilah yang ditegaskan presiden sebagai gotong royong nasional. Pemerintah pusat telah melakukan penyesuaian kebijakan secara drastis, hingga mengalokasikan Rp405.1 triliun untuk menangani pandemi.Â
Pemerintah daerah pun terlibat aktif mengurangi beban Jakarta sebagai wilayah dengan jumlah kasus terbanyak. Sebaliknya, jika Jakarta tergesa-gesa menutup wilayah sejak awal, yang akan terjadi adalah kekacauan dan sebaran virus yang tak terkendali. Â
Sebagai penutup, sebagian orang menuduh pemerintah pusat lambat merespon pandemi Covid-19. Padahal, dari sudut pandang lebih jernih kita bisa melihat itu sebagai upaya konsolidasi seluruh kekuatan nasional untukmenghadapi pandemi. Semua negara mengakui, bahwa kesadaran warga menjadi faktor penentu menghadapi Covid-19. Itulah yang dikondisikan pemerintahan Jokowi secara betahap, karena tak ada kesadaran yang muncul secara instan.
Kita bisa lihat betapa pandemi ini membuat keteteran negara-negara maju seperti Amerika, Italia, Prancis, Spanyol. Indonesia mungkin belum sekaya negara-negara itu, tapi kita punya modal lain yang sangat kuat, yaitu: Gorong Royong. Modal dasar inilah, yang mulai terlihat geraknya.Â
Dan jika modal ini terkonsolidasi secara nasional, Covid-19 akan tertangani dengan baik di Indonesia. Saya sangat percaya, Jokowi adalah penghitung yang cermat dan tidak grusa-grusu menghadapi setiap keadaan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H