Selain kegagalan memahami konten OL Ciptaker, penolakan juga didasari oleh ego sektoral jangka pendek. Para penolak kerap menyuarakan protesnya terhadap OL Ciptaker dalam kacamata ketenagakerjaan kontemporer.Â
Sudut pandang mereka didominasi oleh perspektif jangka pendek untuk mengoptimalkan kepentingan para buruh yang saat ini sudah bekerja.
Padahal, OL Ciptaker didesain tidak hanya untuk para buruh yang sudah bekerja, tapi juga untuk 7 juga pengangguran yang belum terserap lapangan kerja; serta untuk angkatan kerja baru yang bertambah sebanyak 2 juta setiap tahunnya.
Jika hanya memprioritaskan para buruh yang saat ini sudah bekerja, memang OL Ciptaker tak perlu diadakan. Tapi ingat, dengan perijinan yang berbelit, tak akan ada lagi investor yang membuka lapangan kerja baru di Indonesia.
Dengan begitu, angka pengangguran akan terus bertambah, karena tenaga kerja baru yang muncul setiap tahun tidak lagi terserap lapangan kerja. Dan perubahan ketentuan melalui UL Ciptaker inipu sudah dipertimbangkan secara masak.
Presiden dan DPR sama-sama sependapat, bahwa ketentuan baru OL CIptaker tidak akan mengurangi pendapatan para buruh yang saat ini sudah bekerja. Lebih dari itu, pemerintah dan DPR juga sepakat untuk melibatkan seluruh komponen masyarakat, termasuk kelompok buruh untuk terlibat dalam pembahasan.Â
Aspirasi mereka bisa disampaikan dalam pembahasan di DPR, baik untuk mengoreksi, menambah, dan sebagainya. Jadi, kelompok buruh yang masih menolak OL Ciptaker sebenarnya lebih dipengaruhi oleh ego jangka pendek, yang hanya berkonsentrasi pada kepentingan buruh hari ini, tapi kurang peka terhadap kebutuhan pekerja Indonesia di masa depan.
3. Paham Kolot Anti Investasi
Faktor lain yang turut mempengaruhi penolakan OL Ciptaker, yaitu paham kolot yang menolak atau curiga berlebihan terhadap investasi. Pandangan ini menilai bahwa investasi, khususnya yang berasal dari luar negeri adalah ancaman bagi kedaulatan bangsa.Â
Pandangan ini dipengaruhi phobia post-kolonial yang sarat pertentangan antara kaum pribumi dan bangsa asing. Negara-negara berkembang yang belum lama merdeka, masih dibayangi kekhawatiran terhadap segala yang berbau asing. Tak urung, kelompok ini pun mendukung model negara proteksionis yang membatasi pergaulan dengan negara asing.
Padahal, kondisi saat ini sudah sangat berbeda dengan situasi 70 tahun lalu ketika Indonesia belum lama merdeka. Saat ini, dunia sudah saling terhubung, hampir tidak ada sekat antar negara.Â