Mohon tunggu...
Yoga Mahardhika
Yoga Mahardhika Mohon Tunggu... Konsultan - Akademisi, Budayawan & Pengamat Sosial

Pembelajar yang ingin terus memperbarui wawasan, mempertajam gagasan, memperkaya pengalaman dan memperbesar manfaat untuk sesama.

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Ibu Kota Baru, Sebuah Patahan dari Sejarah Kolonial

26 Februari 2020   18:29 Diperbarui: 26 Februari 2020   18:36 106
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
foto: rmolbanten.com

Setelah Presiden Jokowi menyampaikan rencana pemindahan Ibukota Negara pada Agustus 2019 lalu, dunia internasional mulai merespon positif. 

Beberapa negara sepeti Jepang, Australia dan Korea Selatan menyampaikan ketertarikan untuk bekerja sama dalam pembangunan Ibu Kota baru di Kalimantan Timur ini. 

Ketertarikan itu tak lepas dari konsep smart metropolis yang membangun kota besar di tengah hutan, memadukan teknologi maju dan pendekatan ramah lingkungan. 

Tak heran, jika Ibukota baru ini disebut sebagai persembahan Indonesia untuk peradaban dunia. Dan bagi Indonesia sendiri, pemindahan Ibu Kota ini mengandung makna sangat penting bagi pembangunan dan kemajuan ke depan.

1. Lahirnya Kota-kota Nusantara

Sejarah mencatat, kelahiran setiap kota selalu mencerminkan latar ekonomi-politik tertentu. Di Indonesia, setidaknya ada 3 latar sejarah mempengaruhi terbentuknya kota-kota besar, yaitu posisi sebagai kota praja (pusat pemerintahan lama), sebagai bandar perdagangan, dan sebagai pusat kolonial. 

Posisi Nusantara sebagai pusat perdagangan internasional telah melahirkan banyak kota besar, yang umumnya berlokasi di kawasan pesisir, seperti: Medan, Semarang, Surabaya, Banda Aceh, dsb. Selain itu, situs kotapraja dari pemerintahan tradisional juga melahirkan kota-kota budaya seperti Yogyakarta, Surakarta, Denpasar, dst. 

Dan pada periode berikutnya, pemerintah kolonial juga membangun kota-kota baru untuk menopang kekuasaannya di bumi nusantara. Salah satu kota warisan VOC yaitu Batavia yang dibangun di pelabuhan Jayakarta setelah direbut dari Kesultanan Banten. Setelah kemerdekaan, Pemerintah RI menetapkan Batavia menjadi Ibu Kota negara, dengan nama DKI Jakarta.

2. Desain Kolonial di Jakarta

Setidaknya ada tiga motif yang mendorong VOC menetapkan Batavia menjadi pusat koloninya di bumi Nusantara. Pertama, Pulau Jawa merupakan kawasan pertahanan paling strategis dari persaingan antar negara kolonial. 

Posisinya di sisi selatan Hindia relatif aman, mengingat negara pesaing seperti Portugis, Spanyol, Inggris dan Perancis waktu itu sudah berada di sekitaran Makassar. Maka, VOC pun memindahkan pusat pemerintahannya dari Ambon ke Batavia. 

Kedua, populasi pulau Jawa yang padat dianggap sebagai modal penting untuk mendukung eksploitasi alam dan perdagangan rempah-rempah. Daripada mendatangkan buruh dari Eropa atau negara lain, bagi VOC lebih ekonomis untuk menggerakkan tenaga kerja hingga kerja paksa dari Indonesia. 

Ketiga, posisi Batavia memang dinilai sangat strategis untuk menghubungkan jalur eksploitasi dan perdagangan antar kawasan Nusantara, sebelum dipasarkan menuju bandar-bandar internasional.

3. Ibu Kota Baru, Lonceng Kemajuan Indonesia

Singkat kata, pembangunan Jakarta sejak era Batavia memang didesain untuk mengeksploitasi Indonesia, sekaligus untuk membatasi diri dari interaksi internasional yang sarat konflik waktu itu. Meskipun begitu, pemerintah RI yang baru lahir pada 1945 tak punya banyak pilihan. 

Membangun ibu kota baru sangatlah mahal, sehingga harus mengambil alih pusat pemerintahan Hindia Belanda, dengan mewarisi desain yang telah ada. Tak heran, Jakarta hari ini mengalami berbagai masalah pelik. 

Kemacetan parah, polusi akut, krisis air bersih adalah resiko yang tak terhindarkan. Maka, tak ada pilihan selain memindahkan ibu kota. Kawasan di Kalimantan Timur terpilih sebagai lokasi Ibu Kota baru yang lebih minim resiko bencana, lebih Indonesia sentris, dan lebih mendukung berbagai kebutuhan pembangunan dan kemajuan Indonesia secara merata. Sementara, Jakarta tetap menjadi lokus ekonomi yang sekaligus menjadi mitra bagi Ibu Kota baru.

Dengan pemindahan Ibu Kota ini, dalam 100 tahun kemerdekaan RI pada 2045 mendatang, kita sudah berhasil memutus warisan kolonial secara utuh. Pada Ratas tentang Pembangunan Ibu Kota Negara hari ini (26/02/2020), Presiden menyebut payung hukum pemindahan Ibu Kota sudah selesai, dan akan diserahkan ke DPR usai masa reses ini. Sebagai bagian dari rakyat Indonesia, tak berlebihan jika kita berharap Ibu Kota Negara yang baru ini menjadi lonceng pembuka tradisi baru yang futuristik, fleksibel, efektif dan efisien.

Dan sepeti disampaikan Jokowi, Ibu Kota baru ini adalah persembaran Indonesia untuk dunia, tentang kota smart metropolis berteknologi maju, sekaligus ramah lingkungan. Dunia selama ini dihadapkan kontradiksi antara kemajuan dan kelestarian lingkungan, dan Indonesia memberi solusi kepada dunia, dengan membangun Ibu Kota di tengah hutan, yang metropolis sekaligus ramah lingkungan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun