Mohon tunggu...
Yohan Rush Sykes
Yohan Rush Sykes Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

Setiap hari dalam hidup, adalah anugerah besar yang telah aku peroleh

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Dokter, Jalan Kehidupan dan Bisnis

15 November 2012   22:19 Diperbarui: 24 Juni 2015   21:16 637
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Beberapa bulan yang lalu, saya masih masuk pembelajaran mengenai penyakit respirasi. Kuliah hari itu sebenarnya tidaklah terlalu banyak, hanya saja untuk menunggu satu dosen yang mengajar hari ini kira-kira butuh waktu 2 jam. Setelah menunggu lama, akhirnya nongol juga dosen ini. Seorang dokter spesialis sekaligus dosen saya, memberi mata kuliah kira-kira jam setengah tiga sore.

Sebenarnya dosen satu ini jarang sekali rela datang untuk memberi kuliah. Dengan perut kelaparan dan hari mulai sore, saya mengantuk mendengar ceramahnya. Toh dosen ini juga tidak terlalu peduli tentang apa yang diajarnya, yang dibukanya hanya slide-slide power point dan dibaca secara singkat. Terus terang slide kuliahnya banyak, sekitar 80 an slide ppt. Cara bicaranya yang tidak dimengerti oleh mahasiswa seperti saya, dan sering lompat-lompat slide agar cepat selesai ditambah dia hanya duduk manis di depan kelas. Maklum sudah ibu-ibu dan gemuk pula, mungkin dia berharap kuliah membosankan ini cepat selesai, toh tidak ada mahasiswa yang ngerti maksudnya.

Toh sepertinya dia ditunggu dari luar ruangan oleh sesosok sesuatu, mungkin sudah ngantuk juga menunggu dokter spesialis sekaligus dosen pakar ini.

Seiring berjalannya waktu selesai juga kuliahnya. Mungkin tidak sampai empatpuluh lima menit. Toh saya juga ingin segera mengakhiri kuliah kalau dosennya kayak gini. Selesai dia kasih kuliah tidak jelas, dia tidak langsung pulang ternyata. Kemudia bertanya pada seluruh mahasiswa, satu persatu.

“Kamu pengen jadi dokter spesialis apa?”

Tiba- tiba saya curiga akan tingkah laku dosen satu ini. Rata-rata menjawab spesialis kandungan, penyakit dalam, anak dan seabrek dokter spesialis lainnya. Sementara saya sendiri jawab ngawur, jadi dokter penyakit dalam. Toh pikiran saya ga nyampe segitu, jadi dokter aja belum. Eh, ini malah ditanya pengen jadi spesialis apa. Kayak nanya bocah aja yang ditanya mau jadi apa.

Kemudian dia menceritakan dongeng sebelum tidur. Dimana dia meceritakan ada seorang raja yang menyelenggarakan sayembara untuk menikahi putrinya. Syaratnya dia harus berenang melewati kolam dengan buaya kelaparan. Tidak ada satu orang pun yang berani melakukannya. Walaupun ada satu orang yang didorong dan berhasil melewatinya.

Rasa-rasanya saya tahu cerita ini. Saya pernah membacanya di buku The Power of Kepepet.

Dan ternyata .....

Aha!!!!!!!!!!!!!!!!!

Pasti dari bau-baunya saya sudah tahu mau dibawa kemana ceritanya.

Sedikit-sedikit dia mengarahkan kami mengenai biaya hidupnya sebagai dokter spesialis yang kayaknya memang perlu dikasihani. Gajinya sebagai PNS yang  katanya hanya 3 jutaan, ditambah biaya lainnya yang belum mampu mencukupi kebutuhannya sebagai dokter.

Akhirnya masuklah kedalam si penunggu setia yang saya ceritakan tadi, yang ternyata adiknya. Dengan panjang lebar dia memberikan penjelasan mengenai program asuransinya. Dalam keadaan seperti ini sepertinya saya lebih memilih tidur daripada mendengarkan promosi asuransi kesehatannya. Dengan semangat tahun 2000 dia menjelaskan keunggulan produknya. Kemudian saya berpikir, sebenarnya dia berniat memberikan kuliah atau promosi produk keuangan?

Tapi itu memang kenyataaan dokter sekarang, banyak dokter merasa serba kekurangan. Gaji pas-pasan, kerjanya susah, belum lagi mudahnya terjadi kelalaian jika pasien yang ditangani terlalu banyak hingga pasien menuntut dokter ke pengadilan. Pada awal ketika SMA tentu orangtua berharap anaknya bisa menjadi dokter walaupun masuk sekolah kedokteran sangat susah, saingan masuk banyak, biaya masuk yang tidak sedikit, pelajaran yang sangat banyak, dan lulusnya juga sangat lama.

Kelihatannya wajar jika dosen yang saya ceritakan tadi mencari penghasilan tambahan untuk menutupi  biaya hidupnya, mungkin ketika masuk sekolah kedokteran dulu dia juga harus mengeluarkan uang diatas 8 angka. Saya tidak tahu sejak kapan profesi kedokteran menjadi ajang bisnis yang menarik. Dalam beberapa media menyebutkan bahwa dokter sering melakukan kerjasama dengan perusahaan farmasi maupun laboratorium untuk mendapatkan tambahan komisi. Beberapa lainnya ada yang membuka praktik aborsi dan menggunakan identitas palsu agar bisa menjadi dokter. Kelihatannya pemerintah  harus segera menangani hal seperti ini.

Kedokteran adalah profesi yang mulia, profesi yang sudah ada sejak zaman Hipokrates atau sejak pertama manusia menjejakkan kehidupan di bumi. Menyembuhkan, menolong, dan hidup sebagai sahabat yang baik bagi pasien adalah jalan hidup seorang dokter. Hampir di berbagai kitab berbagai agama disebutkan orang-orang yang rela menolong orang sakit dan menderita.

Inilah sedikit yang saya tahu mengenai profesi kedokteran, walaupun saya sendiri baru mahasiswa kedokteran. Ada panggilan sendiri ketika  akhirnya masuk ke sekolah kedokteran.

Tentu berharap, seseorang lulus tidak untuk menjadi dokter abal-abal dengan gelar “dr” didepan nama seseorang. Melainkan kerelaan hati untuk menolong pasien dengan kemampuan dan kesungguhan sebagai seorang dokter. Mungkin inilah yang saya tahu tentang dokter dan tentu tidak berharap menjadi seperti dosen saya ceritakan tadi. Kalau ternyata menjadi dokter tidak bisa kaya, toh itu pilihan. “Siapa suruh jadi dokter?” kata dosen saya yang lain.

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun