Mohon tunggu...
Yohan Mataubana
Yohan Mataubana Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Menulis artikel

Selanjutnya

Tutup

Seni Pilihan

Mendesain Teater dan Mendesain Perasaanmu

4 Februari 2023   03:14 Diperbarui: 8 Februari 2023   07:03 316
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Komunitas Teater Aletheia berpose bersama Silvester Petara Hurit   dan Mario Nuwa di akhir diskusi. Dokpri

Cinta ditolak

Dukun bertindak

Kalau Aletheia bertindak

Ge dan Sil tidak bisa menolak

Malam itu, hujan membikin perasaan saya tak karuan, sebab waktu sudah pukul 20:15 Wita dan hujan masih  menjatuhkan tanda tanya bagi Komunitas Teater Aletheia Ledalero pada Jumat 3 Februari 2023. Ada berbagai pertanyaan muncul dibenak, apakah diskusi kita ditunda, atau kita harus menanti teman-teman ataukah kita berdiskusi saja? Namun kami memutuskan untuk menunggu, meski kata pepatah menunggu itu pekerjaan yang membosankan, tetapi jika menunggu itu membosankan, apakah berpindah hati itu menyenangkan?(Aduh jadi halu hahah)

Sejak sore, Pak Sil Jauh-jauh datang dari Larantuka ke Ledalero dengan basah kuyup dan tiba tepat waktu. Sedang Ge bertarung dengan hujan dari Wailiti menuju Ledalero dengan suatu keyakinan bahwa cinta butuh butuh pengorbanan.

Kami menghabiskan waktu 15 menit penantian, sampai akhirnya kami memutuskan untuk memulai diskusi. Saya melihat bahwa selain topik diskusi ini adalah Desain Teater Kontemporer, mungkin situasi menunggu itu bagian dari mendesain perasaan saya sebelum diri saya dihantar menuju Desain Teater ala Mario Nuwa, seorang pegiat seni dan literasi dari Komunitas KAHE dan Pak Silvester Petara Hurit, pendiri Komunitas Nara Teater, penulis dan  PNS di Larantuka.

Dibawa naungan  tema "Proses Kreatif untuk Desain Teater Kontemporer" Mario mengisahkan tentang bagaimana ia berproses menjadi seorang yang terlibat dalam dunia Teater. Latar belakang dibalik minatnya di Teater adalah relasi sosial. Ia membangun kualitas dirinya dari kehidupan berkomunitas.

Komunitas minat di Biara, di Kampus, dan komunitas sastra di sekitaran Maumere. Dari kehidupan komunitas itu, passion berkarya semakin kuat. Hingga suatu ketika, ia bertemu dengan teman-teman seminat di Komunitas KAHE, yang kemudian mendesain kualitas dirinya dan teman-teman dengan berteater, hingga saat ini. Jadi poin penting dari mendesain teater itu adalah kerja sama dalam komunitas.

Komunitas Teater Aletheia berpose bersama Silvester Petara Hurit   dan Mario Nuwa di akhir diskusi. Dokpri
Komunitas Teater Aletheia berpose bersama Silvester Petara Hurit   dan Mario Nuwa di akhir diskusi. Dokpri

Baca juga: Mama Filomena

Selain itu, Silvester Petara Hurit mengisahkan bagaimana dalam komunitas itu bisa hidup dengan teater. Silvester melihat bahwa teater di Timur, berbeda dengan teater di Jawa. Di Timur para seniman mengalami banyak keterbatasan. Silvester mengatakan bahwa banyak keterbatasan yang ia alami, mulai dari uang, peralatan lampu, kamera dan lain sebagainya. 

Tetapi  ada satu kekuatan di sana yakni kebersamaan. Silvester berkisah bahwa anggota di Nara Teater merupakan orang-orang yang datang dari berbagai kampung, ada yang harus mengendarai kapal selama 30 menit untuk bisa mengikuti Latihan, ada yang harus mengendarai motor dari tanjung selama kurang lebih 2 jam untuk bisa mengikuti latihan. Sehingga Silvester melihat bahwa ada rasa memiliki dalam komunitas.

Kata pak Sil "di tengah keterbatasan, teater harus hidup." Lebih lanjut, Silvester mengungkapkan bahwa Teater itu adalah tentang "memperlihatkan apa". Hal penting dari Teater adalah kerja sama. 

Di sini kita melihat sesuatu yang abstrak seperti, sedih, senang, keresahan-keresahan di sekitar lingkungan diangkat menjadi suatu pandangan baru, yang perlu dipertontonkan oleh masyarakat dengan tujuan untuk katarsis. Mengapa katarsis? Katarsis artinya pemurnian jiwa. Hadirnya Teater adalah untuk memperlihatkan dan menghantar orang pada kesadaran-kesadaran baru sebagai bentuk kepekaan akan situasi sekitar.

Akhirnya saya menyadari bahwa mendesain teater itu, selain mendesain keresahan dan kebersamaan untuk tujuan pemurnian. Tetapi juga mendesain perasaan saya untuk orang yang sedang peka membaca tulisan saya ini. (Yohan l) 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Seni Selengkapnya
Lihat Seni Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun