Sepanjang perjalanan berangkat bekerja, saya disuguhi begitu banyak peristiwa dan realitas di lapangan yang mengajak saya untuk fokus pada satu titik. Revolusi Mental. Itu kira-kira benang merah yang menghubungkan begitu banyak kejadian dan peristiwa yang disuguhkan pada saya pagi ini. Realitas di jalanan. Bagi kita yang tinggal di daerah Jakarta dan sekitarnya mungkin sudah tidak asing sebenarnya dengan pengalaman yang saya alami pagi ini.Â
Peristiwa pertama; Ketika saya tengah bermenung sembari menunggu lampu rambu jalan berwarna hijau, tiba-tiba dari belakang berkelebat sebuah sepeda motor dengan kecepatan cukup kencang, menerjang dan tidak mengindahkan lampu lalu lintas yang saat itu sedang merah. Yang sangat membuat saya terpukul adalah, pengendara sepeda motor itu seorang ibu, tidak memakai helm dan berpakaian dinas yang menunjukan bahwa dia adalah seorang guru.Â
Peristiwa kedua; ketika saya diperempatan jalan, jalanan semrawut tidak ada yang mau mengalah. Saya mencoba bersabar untuk memberikan jalan untuk pengendara yang akan memotong di hadapan saya. Sudah cukup lama dan kondisi sudah memungkinkan untuk saya mulai jalan. Tapi tiba-tiba saya harus kembali menginjak rem, karena ada pengendara sepeda motor yang tiba tiba memaksa melintas dan memotong jalan saya. Yang membuat saya semakin tidak habis pikir, pengendara adalah seorang lelaki kira-kira berusia 12 tahun, berseragam sekolah SMP dan membonceng 2 temannya yang juga mengenakan seragam sekolah dan mereka bertiga pun tanpa mengenakan helm.Â
Peristiwa ketiga; jam tangan yang melekat di tangan kiri saya menunjukkan pukul 06.45 dan jalanan mulai dipadati kendaraan dan didominasi anak sekolah dan orang tua yang mengantarkan mereka ke sekolah. Tidak ada yang istimewa, tetapi ada yang menarik bagi saya. Sebagian besar orang tua yang mengantar anak mereka ke sekolah dengan mengendarai sepeda motor, tidak mengenakan helm.
Peristiwa keempat: Posisi kantor saya ada di Sepatan, Kabupaten Tangerang. Setelah mengantar anak saya sekolah di Karawaci, maka saya segera menuju tempat kerja di sepatan. Saat itu jalanan arah sepatan cenderung sepi, tetapi sebaliknya begitu padat yang arah Tangerang kota. Saat itulah saya menyaksikan bagaimana jalan raya yang sebenarnya adalah dua arah, "seolah-olah" menajdi satu arah. Jalur mobil sudah menjadi 2 baris dan itu sudah memenuhi setengah badan jalan. Kondisi tersebut diperparah dengan kendaraan roda 2 yang tetap memaksa melaju di samping 2 jalur mobil tersebut, sehingga jalut arah sepatan tertutup dengan kendaraan roda dua. dengan pelan, saya harus sedikit memaksa mobil saya membuka jalan yang telah dipenuhi kendaraan roda 2.
Dari beberapa peristiwa itu saya belajar apa?
Pendidikan karakter atau bahasa yang lagi hangat diingatan kita revolusi mental, harus dimulai dari akar rumput yakni keluarga. Keluarga memiliki peran penting, karena seorang anak belajar bersosialisasi, belajar adaptasi dan lain sebagainnya adalah dari keluarga. Seorang anak akan melihat tingkah laku orang-orang disekelillingnya dan merekamnya dan akhirnya menjadi sebuah nilai yang nantinya akan ia pegang dalam hidupnya. Dengan relitas yang saya temui pagi ini misalnya, orang tua yang tidak memberikan teladan kepada anaknya tentang kedisiplinan. Anak secara normatif diajarkan untuk mematuhi peraturan dan lain sebagainya, tetapi dalam realitas keseharian yang ia temui, sama sekali terbalik 180 derajat. Anak-anak akan lebih melihat kepada realitas yang ada disekitarnya dan itu yang akan lebih tertanam dalam diri mereka. Keluarga adalah dasar, fondasi bagi setiap pribadi dalam peetumbuh kembangannya di tengah masyarakat dan bangsa, maka keluarga memegang peran penting.
Elemen kedua adalah sekolah. Anak-anak kita setelah mencapai usia tertentu dan bahkan dikebanyakan kota besar, karena kesibukan orang tua mereka, sejak usia 2 tahun sudah menghabiskan waktu mereka di sekolah. Di sekolah mereka bertemu dengan banyak karakter dan yang terpenting adalah guru. Guru katanya kepanjangannya adalah Di Gugu dan ditiRU (Dipercaya dan diikuti). Jika guru yang seharusnya memberi teladan dan panutan kepada anak didiknya, tetapi disatu sisi dia juga memberikan contoh  yang sama sekali bertentangan dengan norma hukum dan disiplin, maka anak-anak yang dari keluarga menemukan kenyataan dari orang tuannya yang drmikian, pengalaman tersebut semakin diteguhkan bahwa apa yang mereka lihat itu memang sesuatu yang bisa dan boleh dilakukan.Â
Elemen ketiga adalah lingkungan dan masyarakat: Pengalaman di keluarga di teguhkan dengan pengalaman di sekolah dan semakin diteguhkan dengan realitas masyarakat yang "sama sekali" tidak ada lagi toleransi dan saling menghormati. Kepentingan diri sendiri adalah yang paling penting. Hak individu di atas kepentingan yang lain. Dan itu berbanding terbalik dengan norma dan ajaran yang sebenarnya. Realitas keseharian memiliki peran besar dalam pembentukan karakter dan mental generasi muda kita.
Saya bisa berbuat apa?
Langkah awal adalah kesadaran diri, saya bertekat membanguan buda tertib di keluarga saya. Kedua, saya menulis dan akan membagikan pengalaman ini di meda sosial. Satu atau dua orang yang menyempatkan diri membaca tulisan saya, semoga juga akan memiliki niat dan tekad yang sama. Ketiga, saya akan menjadi pelopor disiplin di tempat kerja sama dan lingkungan dimana saya tinggal. Semoga dengan langkah-langkah kecil ini saya memberikan sumbangan bagi pembanguan mental dan karakter bangsa kita.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H