Mohon tunggu...
Yohanes Tola
Yohanes Tola Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Aku Yonas, Bisa menjadi teman mu, Aku menulis agar kepalaku tidak pecah

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud Pilihan

Merekam Suara Tak Terdengar

10 November 2022   19:39 Diperbarui: 10 November 2022   19:54 159
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Tanggal 10 November menjadi hari yang penting untuk selalu dimaknai sebagai sebuah kehadiran masyarakat Indonesia di masa lalu yang memberi diri sebagai pengabdi masyarakat dan tanah air melalui perjuangan-perjuangan yang mereka pilih hingga akhir hayat. 

Mereka yang mendedikasikan hidup nya untuk kebaikan bersama atau bonum Commune di masa lalu. Hari ini, setiap tanggal 10 November dikenang sebagai Pahlawan tanpa tanda jasa. Yaaa, para pahlawan melakukan perjuangan kemerdekaan  masyarakat Indonesia untuk lepas dari kolonialisme penjajah saat itu. 

Hal ini dilakukan semata mata karena situasi pejuang yang menyadari fenomena penindasan dan ketidakadikan yang dilakukan kolonial.

Peringatan 10 November akrab dengan situasi menghidupkan kembali sejarah agar terus hidup dalam kehidupan generasi anak muda yang menjadi penerus perjuangan yang dimaksud, meskipun hari ini tentu harus diakui bahwa perjuangan merubah konteks nya sesuai dengan realitas dan hambatan hambatan baru yang muncul. Dulu melawan penindasan kolonialisme, sekarang melawan siapa?

Hari ini kembali lagi 10 November dilihat kembali oleh pemuda untuk mengenang, memaknai, merayakan kemenangan. Apakah juga termasuk memulai keterlibatan dalam realitas permasalahan sosial?. Pahlawan nasional tidak pernah disebut pahlawan jika mereka memulianya tanpa tanpa sebuah keterlibatan. 

Mereka hidup bersama masyarakat dan mendengarkan suara masyarakat yang buntu diujung pergerakan. Ini tugas mereka dahulu. Menyambung suara itu dan merubahnya dengan bentuk perlawanan bedil atau senjata dan upaya diplomasi seperti yang dilakukan Sultas Syahrir, Soekarno, Hatta dan sesama rekan perjuangan mereka.

Sekarang, peringatan hari pahlawan selalu merujuk pada sosok sosok di masa lalu yang menyerahkan hidup mereka bagi perjuangan pembebasan tanah air dari penjajahan.

Rasa rasanya ini terlalu jauh untuk memakai 10 November secara terus menerus dengan cara tersebut dalam konteks hambatan dan zaman hari ini, dimana tentu selalu diharapkan pahlawan pahlawan baru muncul untuk hadir memperjuangkan penindasan yang merubah bentuknya. 

Dulu Indonesia dijajah Belanda, sekarang Negara atau kekuasaan yang antipati menjajah rakyat nya sendiri. Anda bisa memastikan ini dengan membaca berita berita di Internet. 

Tentang dampak Food Estate terhadap rusaknya ekologis di Kalimantan dan pulau besar lainya, tentang perjuangan masyarakat adat terhadap tahan adatnya yang akan dibangun Embung, Tambang, atau Jalan jalan layang proyek pemerintah. Atau anda perlu melihat bagaimana ketimbang pendidikan di negara Pancasila ini (Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia). 

Hari ini situasi ketertindasan dapat kita lihat bersama dan mungkin kita sebagau pribadi sedang mengalami kolonialisme bentuk baru ini. Pembaca tentu mampu menerjemahkan itu.

Legitimasi Pahlawan di Zaman Baru. 


Setelah kita melihat situasi diatas, sepertinya pantas untuk menanyakan kembali tentang sebuah hal penting; bagaimana tanggapan kita?. Di zaman ini sosok kepahlawanan tentu dapat diidentifikasikan dengan cara yang sama dengan cara masyarakat kita di era kolonialisme. 

Pahlawan ataupun pejuang diidentifikasi sebagai orang yang dengan nyata berdiri mendahului keresahan hati masyarakat dan menentang penindasan atau ketidakadilan yang terjadi. Kerja kerja itu kemudian memberi dampak besar bagi masyarakat; terutama tentang bagaimana masyarakat menemukan kesadaran baru dalam merespon ketidakadilan.

Dulu, mereka menanggapinya dengan curahan hati dan keluh kesah diruang-ruang tertutup namun tidak beranjak dari ruang-ruang itu untuk melakukan cara baru perlawanan. Kehadiran pejuang dimasa itu menawarkan sebuah perubahan pikiran dan tindakan masyarakat yang harus dilakukan untuk menuai kebebasan atau keadilan yang diharapkan. 

Menjadi pejuang adalah tentang kemampuan menggerakkan dengan cara baru yang efektif dan memicu semangat sosial untuk hidup.

Dimasa sekarang, tentang pejuang sosial kemasyarakatan diidentifikasi dengan cara yang sama. Pahlawan dizaman ini adalah mereka (individu atau kelompok) yang terus melakukan pengabdian pada masyarakat dengan cara nya masing-masing. 

Ada yang memilih melakukanya melalui cara-cara perlawanan dengan menulis, berdemonstrasi, atau menantang bedil bedil aparat saat upaya pembebasan lahan oleh pemerintah dilakukan. Namun pada intinya mereka bergerak dengan kebutuhan masyarakat yang tidak sempat atau tidak mampu masyarakat itu terjemahankan. 

Pejuang dizaman ini adalah mereka yang mencoba menahan ego dalam melihat diri sendiri sebagai pribadi yang harus terus diperkaya. Pahlawan dizaman ini adalah mereka yang mendedikasikan kemampuan dan anugrah untuk melakukan bonum commune dengan cara perjuangan yang mereka bidangi. Hari ini, kita sering kita mendengar tanaga kesehatan, Guru, dan Petani sebagai pahlawan dizaman ini. 

Apakah kita semua setujua atas itu?. Hal ini tentu datang dari bagaimana masyarakat melihat kehadiran mereka disaat saat masyarakat benar-benar membutuhkan itu. 

Perawat atau Dokter yang sungguh mendedikasikan diri dalam menangani membeludaknya korban atau pasien yang terpapar Virus Covid-19. Mereka sungguh dibutuhkan dalam periode itu, situasi masyarakat yang mengalami wabah virus yang menjangkiti banyak masyarakat dan mengancam nyawa. 

Tenaga kesehatan menempatkan diri sesuai kemampuan ini dengan sungguh sungguh mengorbankan waktu, tenaga dan mungkin saja keluarga yang lebih sering ditinggalkan. Hal seperti ini juga dialami oleh pejuang dimasa lalu. Mereka mengalami hal yang sama. Dalam konteks yang berbeda.

Lalu mengenai Guru. Hidup di negara yang membohongi rakyat dengan Pancasila yang jadi tidak bermakna lagi karena tidak ditunaikan dengan sungguh sungguh. Sila kelima Pancasila mengenai Keadilan sungguh menjadi narasi bualan karena dijalankan oleh pejabat pejabat korup yang kemudian mendapatkan remisi saat tertangkap. 

Ini sungguh petugas negara yang benar benar sedang membual. Kembali lagi, kita bisa memastikan dengan mudah betapa pendidikan belum bertumbuh di nagara ini dari segi asas keadilan nya. Pendidikan yang digeneralisir menjadikan ketimpangan terus berlanjut. 

Bagaimana kita menanggapi keadaan dimana siswa di Jawa belajar menggunakan Labtob dan jaringan yang baik dan membandingkan itu dengan siswa di Papua/NTT atau daerah ujung Sumatera yang berjalan melintasi semak-semak sambil menangkap capung yang menjadi permainan mereka, lalu belajar dengan terbatas karen mereka belum mengenal atau akrab dengan teknologi yang sejujurnya membantu mereka mengetahui luasnya dunia?. 

Ditengah situasi itu, Guru menjadi sosok yang terus melawan arus realitas yang memperihatinkan. Guru terus memberi gambaran dan mengajar semampu mereka, dengan pantikan pantikan utopia masa depan yang cerah walaupun sebenarnya mereka tahu bahwa siswa nya tentu tidak tau apa itu masa depan yang cerah. 

Guru menampakan diri pada posisi yang paling penting, mereka memberi kesadaran, memantik kepekaan dan merubah impan lama generasi penerus dengan impian baru yang lebih nyata. Pahlawan tanpa tanda jasa. Predikat ini layak mereka dapatkan.

Siapa yang mampu membeli cita cita yang mulai tumbuh?, siapa yang mampu membeli bekal pengetahuan pada masing-masing pribadi yang dimiliki sejak seragam merah putih dikenakan?. Sungguh tidak ada yang mampu. 

Guru hadir memberi sesuatu yang tak terhingga nilainya. Ilmu sebagai bekal memulai zaman ini. Apa yang dilakukan itu adalah rekaman kebutuhan masyarakat yang tidak pernah sampai pada telinga pemimpin besar di senayan sana. 

Dalam iklas dan pasrah Guru memulai menerjemahkan itu dalam upayanya mengajar dan mendampingi. Hal yang sama juga kita maknai dari kisah kisah mereka yang terus menanam ditengah ruihnya impor beras yang ditunaikan pemerintah. Ya, Petani. Penopang Tanah air Indonesia.

Tulisan ini bermaksud semata mata untuk memulai pendangan baru bahwa kita dan generasi kita dapat menjadi pejuang pejuang itu. Dalam konteks kita dan kemampuan kita yang sesungguhnya sebagai pribadi yang masih kuat raganya. Pemuda.

Tidak harus menjadi tenaga kesehatan, tidak harus menjadi Guru atau tidak harus menjadi Petani. Ini tensu sesuatu sayng kita semua sadari. Kita bisa menjadi rakyat Indonesia yang sungguh-sungguh lahir dari rekaman rekaman kebutuhan masyarakat atau sesama yang membutuhkan kita untuk terus mengisi disana. 

Kita bisa menjadi diri kita sendiri, namun dengan dedikasi dan arah pergerakan yang jelas pada kebaikan bersama atau bonum commune (yang telah tiga kali saya sebutkan dalam tulisan ini). Menjadi Psikolog, Politisi, Dosen, Pengusaha, Astronot, dan cara cara lain. 

Profesi ini adalah senjata dizaman kita. Zaman dimana penindasan berubah bentuk, zaman dimana kita tidak lagi sedang berhadapan dengan Kolonialisme Belanda yang angkuh. Kita menghadapi bangsa kita sendiri.

Kita Semua Bisa

Akhir kata, tulisan ini memberi kepercayaan bagi pembaca untuk memulai langkah gerak perjuangan nya yang utuh dan populis. Tulisan ini tidak akan pernah berarti ketika tidak ada semangat baru yang lahir setelah membacanya. 

Kita menjadi bibit pejuang yang nyata. Ini adalah periode kita, jangan mau ini terlewatkan. Ayo ambil alih dan memulai gerakan kejujuran dan terbuka bagi perbedaan. Ini menunjukkan kita sungguh sungguh masyarakat Pancasila. Kita terbuka dan berkolaborasi dalam pengabdian. Pergilah kita diutus.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun