Upaya pemerintah dalam menciptakan rantai pengelolahan sampah yang terpadu kini terlihat atas dukunganya pada perusahaan bisnis sampah yang kian marak bermunculan. Di kota Jogja sendiri, diketahui memiliki 565 bank sampah yang aktif beroperasi. Selain itu, kemunculan perusahaan bisnis sampah seperti RAPEL (Rakyat Peduli Lingkungan) memberi banyak perhatian terhadap adaptasi penanganan sampah berbasis teknologi. Kerja konket seperti ini diharapkan menjadi konsentrasi pemerintah yang juga memberi rujukan pada pemanfaatan masyarakat dalam pemberdayaan SDM untuk pengiolahan sampah dengan pendekatan ekonomi.
Industri daur ulang menjadi kunci
Pengelolahan sampah dengan metode 3R kerap kali tidak memberi banyak kontribusi perubahan yang besar karena dijalankan dalam skala yang kecil melalui rumah tangga, sekolah, kantor dll. Dalam keadaan yang mendesak seperti TPST Piyungan, pemerintah diharapkan mampu menghadrkan solusi yang mengafirmasi segala kebutuhan penanganan sampah. Pendekatan ekonomi, sosial, budaya, dan kelestarian lingkungan menjadi rujukan penting yang harus difasilitasi pemerintah dalam penanganan masalah smapah di DIY secara terpadu.
Dalam beberapa kesempatan berdiskusi dengan pihak pemerintah dan stakeholder masyarakat yang memiliki konsentrasi yang sama dalam upaya penanganan sampah di DIY, ditemukan fakta tentang jumlah industri daur ulang yang terbatas menjadi faktor mandeknya pengolahan sampah terpadu di DIY. RAPEL misalnya, sampah yang dikumpulkan melalui masyarakat tidak sepenuhnya diolah dan didistribusikan ke industri daur ulang. Hal tersebut dikarenakan kapasitas industri daur ulang yang terbatas untuk mengelola sampah yang terkumpul menjadi sampah layak guna atau barang jadi.
Selain itu, industri daur ulang dengan teknologi maju diharapkan menjadi prioritas pemerintah. Manajemen sampah sejauh ini masih menerapkan pola konvensional, yakni diangkut ke Tempat Pembuangan Sementara (TPS) menuju ke Tempat Pembuangan Akhir (TPA). Pengolahan sampah yang belum efektif inilah yang akan memicu masalah lingkungan, kesehatan masyarakat, sampai pada persoalan sosial. Di beberapa negara seperti Jepang, jerman, Belanda dan negara maju lainya telah menerapkan industri daur ulang berbasis teknologi maju. Hal inilah yang kemudian menyebabkan sampah yang dihasilan masyarakat dapat diolah secara menyeluruh dengan teknologi maju yang mampu mengidentifikasi jenis dan karakteristik sampah yang diolah dengan sempurna.
Namun, efektifitas keberadaan industri daur ulang ini tidak semerta merta dapat dicapai dalam upaya sekejap. Pemerintah melalui DPR atau DPRD perlu menyediakan suplay anggaran yang tentu tidak sedikit untuk pengadaan industri daur ulang ini. Dilansir dari pemberitaan media online, anggaran Rp.54 Miliar disiapkan pemerintah untuk memperpanjang usia TPST Piyungan. Perpanjangan usia TPST ini dilakukan dengan penataan ulang timbunan dan penambahan lahan transisi untuk sampah baru yang akan masuk.
Jika melihat kebijakan tersebut, dapat dilihat bagaimana pemerintah memberti prioritas penanganan masalah sampah di DIY terkhususnya TPST Piyungan dari sisi penanganan perpanjangan usia TPST. Cukup disayangkan jika masalah sampah di DIY dipandang sebagai proses penyelesaian akhir seperti yang dilakukan. Prioritas masalah yang selama ini menjadi rujukan berbagai pihak terhadap keberadaan industri daur ulang sampah dengan skala besar dan berbasis teknologi diharapkan menjadi persinggungan yang akan diambil pemerintah dalam menyelesaikan masalah sampah dan TPST Piyungan.
DIY sekiranya dapan menjadikan kota kota lain sebagai laboratorium belajar dan riset ketika berbicara mengenai penanganan sampah. Surabaya misalnya, belum lama ini menjadi role model negara-negara di Asia Pasifik. Melalui sejumlah keberhasilan di bidang kebersihan yang berhasil diraih, Surabaya menjadi tuan rumah Forum Regional 3R atau The 5th Regional 3R Forum in Asia & The Pacific bertema Multilayer Partnership & Coalitions as the Basic for 3R's Promotion in Asia & The Pacific, yang digelar di Hotel Shangri-La Surabaya.
Surabaya juga memiliki industri daur ulang sampah yang beroperasi secara efektif mengelolah sampah warga. Hal inilah yang kemudian menyebabkan manajemen pengolahan sampah di Surabaya dapat dilakukan secara terpadu dan terhubung antara masyarakat sebgai sumber sampah dan stakeholder serta pemerintah sebagai fasilitator pengolahan sampah.
Selain itu, Surabaya kini memberlakukakan kebijakan Surabaya tanpa sampah plasik. Pusat perbelanjaan di Surabaya tidak menyediakan plasik bagi para pembeli. Kebijakan ini dirasa sangat  efektif dan berani untuk menekan intensitas sampah yang dihasilakan dari aktifitas sosial masyarakat. Kedepanya, Pemerintah DIY diharapkan mampu untuk segera mengambil langkah strategis dan konkret untuk menekan intensitas sampah di DIY. Kebijakan kebijakan konkret ini, diharapkan diimbangin dengan upaya pengelolahan sampah yang terpadu melalui industri daur ulang yang memadai dalam mengelolah sampah.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H