Mohon tunggu...
Yohanes Harry Sirait
Yohanes Harry Sirait Mohon Tunggu... -

a journalist

Selanjutnya

Tutup

Politik

Generasi Baru Politisi (Korup)

20 Januari 2012   06:42 Diperbarui: 25 Juni 2015   20:39 347
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Organisasi mahasiswa, organisasi kepemudaan dan organisasi masyarakat pun setali tiga uang. Banyak anggota organisasi ini tampak idealis kala belum memasuki ranah politik praktis. Namun, saat terjun ke dunia politik praktis, idealisme dikubur dalam-dalam. Bahkan para jebolan organisasi tersebut lebih mahir dalam melakukan praktek korupsi. Memang, hampir seluruh sistem politik penuh dengan praktek korupsi. Namun, jika pengkaderan dilakukan dengan kuat, maka, para politisi muda hasil cetakan organisasi tersebut tidak akan terkontaminasi, melainkan akan menjadi perkecualian di tengah sistem yang korup itu.

Ketiga, pengaruh dan dominasi senior. Meski para politisi muda memperoleh kursi di Senayan, namun hal itu bukanlah sebuah jaminan bagi kiprah mereka. Kuatnya peran parpol yang masih dikuasai generasi tua mau tidak mau mempengaruhi jejak langkah para politisi muda. Menurut anggota Komisi III DPR dari Fraksi Partai Demokrat, Pieter Zulkifli, politisi senior telah gagal mewariskan keteladanan dan membangun kader parpol yang idealis dan berdedikasi pada kepentingan umum. Bahkan, beberapa politisi senior menjadi mentor bagi politisi muda dalam melakukan praktek korupsi. Ambil contoh kala Nazaruddin disebu-sebut melakukan korupsi, dia segera menunjuk beberapa rekan dan seniornya di Partai yang disebutnya juga melakukan korupsi.

Keempat, besarnya biaya politik. Proses demokratisasi Indonesia yang tidak diikuti dengan proses pendidikan politik masyarakat, membawa Indonesia kepada sistem politik berbiayai tinggi. Akibatnya, untuk menduduki jabatan-jabatan politik, orang harus memiliki pundi-pundi uang yang besar. Memang ada sejumlah tokoh yang berhasil meraih jabatan politik sebagai gubernur, bupati, dan wakil rakyat dengan biaya rendah dan tak tergoda korupsi. Namun, jumlah tersebut amatlah sedikit. Untuk politisi muda yang tidak memiliki modal finansial yang cukup, maka pilihannya adalah mendapatkan dana dari pemodal yang memiliki kepenetingan bisnis lewat kebijakan politik, sebab budaya fundrising dari masyarakat biasa belum tumbuh di Indonesia. Hal ini mengakibatkan politisi muda memiliki utang moral kepada pemodal dan akan memuluskan kebijakan politik yang mendukung pemodal, demikian juga sebaliknya.

Selain dari pemodal, tekanan juga didapat dari partai. Sejumlah LSM yang menaruh perhatian pada korupsi anggaran negara mengungkapkan bahwa hasil praktek mafia anggaran yang dilakukan para politisi juga diperuntukkan membiayai jalannya roda organisasi partai. Jadi, partai, bukan saja membiarkan kadernya melakukan korupsi, melainkan mendorong kadernya untuk melakukan korupsi. Dalam praktek ini, para politisi muda pun ikut menjadi alat partai untuk menangguk dana.

Kelima, gaya hidup hedonis. Hampir semua politisi, utamanya yang berusia muda, memiliki gaya hidup hedonis. Meski berstatus sebagai wakil rakyat dan kepala daerah yang notabene adalah pelayan publik, namun gaya hidup politisi bak kaum selebritas. Tolak ukur keberhasilan dalam politik bukan lagi produk-produk kebijakan yang pro rakyat, tetapi dari kemampuan mengakumulasi kapital lewat kekuasaan yang ada di tangan mereka.

Karenanya, tak heran jika banyak politisi muda bukannya berlomba untuk menghasilkan kebijakan-kebijakan progresif, namun justru berlomba membeli mobil mewah dan membangun rumah. Banyak politisi muda yang baru saja menjabat sudah hidup bergelimang harta di atas istana baru yang dibangunnya. Padahal, jika dibandingkan dengan penghasilan yang diperoleh, tak ada rumusan yang menunjukkan kesesuaian gaya hidup dan pendapatan mereka.

Sejumlah alasan tersebut tidaklah menjadi rasionalisasi dari perilaku koruptif politisi muda. Di berbagai belahan dunia, terdapat banyak politisi muda yang menolak untuk berlaku korup. Barack Obama memulai kampanyenya untuk menjadi Presiden Amerika Serikat dengan mengatakan tidak pada bantuan keuangan pengusaha-pengusaha dan para peloby kebijakan. Hasilnya, Obama menjadi Presiden Amerika saat usianya baru 48 tahun.

India yang terkenal dengan politisinya yang korup kini sedang membangun harapan. Sejumlah politisi muda semacam Agatha Sangma, Jyotiraditya Scindia, Sachin Pilot, Naveen Jindal dan sejumlah politisi lainnya kini mewarnai parlemen dan cabinet India. Mereka muncul menjadi pembaru dalam kehidupan politik India yang korup.

Di berbagai penjuru Nusantara masih terdapat sejumlah politisi muda yang menjadi perkecualian dari sistem yang korup ini. Mereka menjadi wakil rakyat, bupati, walikota, dan gubernur dengan menekan biaya politik dan menolak korupsi. Bahagianya, rakyat memberi kesempatan kepada mereka. Karenanya, harapan belumlah sirna. Politisi muda masih dibutuhkan untuk menjadi pembaru, pendobrak, dan pembela rkayat. Namun, yang dibutuhkan bukan hanya usia yang muda, tetapi semangat juang, dedikasi dan idealisme dari kepemudaan itu.

#Dimuat di Suara Pembaruan 2-3 September 2011, halaman 2

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun