Mohon tunggu...
Yohanes Harry Sirait
Yohanes Harry Sirait Mohon Tunggu... -

a journalist

Selanjutnya

Tutup

Politik

Generasi Baru Politisi (Korup)

20 Januari 2012   06:42 Diperbarui: 25 Juni 2015   20:39 347
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Pemilu 2009 lalu menjadi momentum munculnya generasi baru politisi Indonesia. Penerapan sistem suara terbanyak dalam Pemilu 2009 menghasilkan perubahan wajah parlemen. 70 persen anggota legislatif yang duduk di DPR RI adalah wajah baru yang mayoritas diisi politisi muda. Tak hanya sekedar duduk manis di Senayan, sejumlah politisi muda pun mencuri perhatian media dan publik. Dari sembilan inisiator Hak Angket Kasus Bank Century, hanya Lili Wahid yang bisa disebut sepuh, sementara delapan lainnya adalah politisi muda.

Para politisi muda tak hanya menjadi anggota biasa di parlemen. Beberapa di antara mereka menduduki jabatan penting seperti pimpinan DPR, pimpinan komisi dan pimpinan alat kelengkapan DPR. Contohnya saja pimpinan DPR. Dari lima pimpinan DPR, hanya Ketua DPR, Marzuki Alie yang berusia di atas 50 tahun, selebihnya baru berusia 40-an tahun. Belum lagi jika melihat komposisi pimpinan fraksi, komisi dan alat kelengkapan DPR, mayoritas diisi oleh politisi muda. Mereka juga dipercaya partai untuk mengisi pos-pos yang dinilai stategis, seperti badan anggaran yang kini hangat diperbincangkan.

Tak berhenti di situ, para politisi muda pun mulai menduduki sejumlah jabatan penting dalam partai politik. Dari sembilan partai politik yang lolos ke senayan, delapan partai memiliki Sekjen di bawah usia 50 tahun. Hanya PDI Perjuangan yang masih mempercayakan jabatan Sekjen kepada politisi senior. Bahkan Edhie Baskoro Yudhoyono, Sekjen partai pemenang pemilu, Partai Demokrat, belum genap berusia 30 tahun saat terpilih menjadi Sekjen. Bahkan, bukan hanya pada posisi Sekjen, tiga partai parlemen yakni, Partai Demokrat, PKS dan PKB memiliki Ketua Umum yang berusia muda.

Kehadiran para politisi muda tersebut memberikan harapan yang besar pada masyarakat bahwa akan terjadi perbaikan. Politisi muda digambarkan masih memiliki idealisme serta gagasan-gagasan baru yang membuat mereka tampak lebih progresif. Berbekal energi muda yang dimiliki masyarakat berharap mereka mampu memperjuangkan nasib rakyat. Berdasarkan harapan itulah, rakyat memilih mereka untuk menjadi wakilnya di Senayan.

Sayang, dua tahun periode politik berlalu harapan rakyat tak kunjung terjawab. Alih-alih melakukan perubahan, para politisi muda justu terbawa arus dan terlibat dalam praktek korupsi. Idealisme yang dulu tampak pada masa kampanye kini telah tergerus oleh pragmatisme. Sosok pemimpin masa depan yang dulu tampak jelas, kini buram dibalur opurtunisme. Oleh sejumlah kasus yang kini menyeruak, mata publik dibelalakkan akan praktek kotor para politisi muda. Seorang politisi senior berkata, "Dulu kita membutuhkan waktu lama untuk bisa 'bermain' seperti itu. Tapi sekarang, tak butuh waktu lama mereka telah 'lincah bermain', bahkan lebih 'lihai' dari kita," ucapnya.

Generasi baru politisi muda yang mayoritas merupakan angkatan 98, melakukan kesalahan yang sama seperti pendahulunya, angkatan 66. Mereka berjuang menumbangkan rezim Orde Baru yang korup, namun perilaku korup tersebut kini mereka lakoni. Para politisi muda telah berubah menjadi generasi baru politisi koruptor. Fakta ini sesuai dengan ungkapan pengamat politik, Eep Saefullah Fatah,"regime changes, elite continues" artinya rezim berganti, tapi elite berlanjut.

Banyaknya politisi muda yang muncul saat ini hampir sama dengan yang pernah terjadi pada zaman perjuangan kemerdekaan dulu. "Secara usia ada banyak kesamaan antara politisi muda sekarang dengan zaman kemerdekaan dulu. Tetapi secara prilaku dan integritas jauh sekali berbeda," ucap Sejarawan UI, Anhar Gongong kepada SP, di Jakarta, Kamis (1/9). Disampaikan Anhar, perjalanan sejarah Indonesia dipenuhi peranan generasi muda yang revolusioner. "Misalnya, Bung Karno sudah menjadi pemimpin saat berusia 24 tahun, dan Bung Hatta saat berusia 23 tahun. Mereka juga menjadi presiden dan wakil presiden saat umurnya belum genap 45 tahun. Sjahrir menjadi Perdana Menteri saat usianya baru 36 tahun," ujar Anhar.

Para tokoh muda tersebut, menurut Anhar, bukan hanya tampil menjadi politisi muda. "Mereka bukan hanya politisi, tetapi pemimpin," tutur Anhar. Soekarno, Hatta, Sjahrir dan sejumlah politisi muda lainnya kala itu, dinilai Anhar, menjadi pemimpin nasional dengan integritas yang terus terjaga. Integritas tersebut, menurut Anhar, tak hilang karena kekuasaan dan terus terjaga, paling tidak hingga awal dekade 60-an.

Kepemimpinan Soekarno yang semakin otoriter memasuki dekade 60-an dan kemudian dilanjutkan kepemimpinan diktator ala Soeharto, dipandang Anhar sebagai awal hilangnya nilai-nilai idealisme dan kepemimpinan. Indonesia, setelah tahun 1966, dipenuhi banyak politisi namun minim kepemimpinan. "Apalagi pada masa Orde Baru jenjang dan posisi politik semuanya harus dari Golkar," ucap Anhar. Hal itu, memunculkan banyaknya politisi tanpa nilai, politisi opurtunis yang memandang jabatan sebagai cara memperkaya diri.

Sejumlah faktor menjadi penyebab para politisi muda terkontaminasi oleh perilaku koruptif. Pertama, ideologi yang dibunuh pragmatisme. Hampir semua partai politik di Indonesia, mengaku memiliki ideologi. Namun, ideologi tersebut hanya bergema dalam tataran diskusi. Ideologi tak mengejawantah dalam praktik berpolitik. Sebut saja, partai politik yang berlandaskan pada ideologi keagamaan. Fakta menunjukkan, politisi muda partai tersebut pun melakukan tindakan korupsi. Itu menunjukkan, ideologi tak kuasa melawan kuatnya pengaruh prgamatisme dalam praktek berpolitik saat ini. Ideologi, dalam praktik politik saat ini, sudah terbunuh oleh pragmatisme.

Kedua, lemahnya pengkaderan. Proses kaderisasi sesungguhnya, hanya mencapai tujuan kala masih ada ideoligi yang diajarkan. Jika tidak ada ideologi, maka tak ada pengkaderan. Kalaupun parpol membuat program kaderisasi, maka itu tak lebih dari sekedar kursus keterampilan berpolitik. Lemahnya pengkaderan dalam partai politik nampak nyata saat ini. Dalam pemilu, pilkada dan pemilihan presiden, jarang sekali partai mengusung kadernya. Partai lebih memilih orang-orang yang memiliki dana dan kepopuleran dibanding mencetak kader berkualitas. Hal ini mengakibatkan munculnya kader karbitan, yang kebanyakan adalah politisi muda.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun