Nusalaut, saya langsung teringat dengan Martha Christina Tiahahu. Tidak hanya dikenal oleh orang Maluku saja, Christina telah dikenal oleh masyarakat Indonesia sebagai pahlawan nasional karena kegigihannya melawan penjajahan. Selain di pusat Kota Ambon, di Nusalaut ini juga terdapat patung sosok’nya yang  berdiri gagah sebagai memorial site di tanah kelahirannya.
Mendengar kataMasuk diantara gugusan Pulau-Pulau Lease; Nusalaut secara administratif berada dalam wilayah Kabupaten Maluku Tengah. Untuk mengunjunginya, saya harus menyeberang menggunakan Kapal Ferry (ASDP) selama kurang lebih enam jam dari Ambon. Kedatangan saya ke pulau anyo-anyo ini tidak untuk mengulik sejarah perjuangan sang Srikandi dari Timur, namun saya berniat mengunjungi beberapa gereja bersejarah yang berada di pulau ini. Setidaknya terdapat tujuh gereja tua yang tersebar di seluruh desa / negeri diantaranya adalah sebagai berikut :
Gereja Eben Haezer (1715) jemaat Desa Sila dan Leinitu.
Gereja Sion (1820) di Desa Nalahia
Gereja Beth Eden (1817) di Desa Ameth
Gereja Irene (1895) di Desa Abubu
Gereja Eben Haezer (1826) di Desa Titawaai
Gereja Sion (1820) di Desa Nalahia
Gereja Bethesda (1900) di Desa Akoon
Karena keterbatasan waktu, saya hanya berkesempatan untuk mengunjungi tiga diantaranya saja. Pastinya setelah melalui proses perizinan dari Pendeta maupun pengurus gereja yang bertugas saat itu.
Gereja Eben Heazer (1715) – Desa Sila-Leinitu
Gereja pertama yang saya kunjungi adalah Gereja Tua di Desa Sila dan saya bersyukur bisa beribadah di Gereja ini.  Saat renovasi, ditemukan prasasti pada sebilah kayu tua berangka tahun 1731 menjadikannya gereja ter-tua di Provinsi Maluku sampai sat ini.  Jika sekarang saja  tahun 2022, artinya gereja ini sudah berdiri lebih dari tiga abad lamanya. Dari eksterior dan interior,  tidak banyak perubahan dari gereja ini. Namun cat, lantai dan beberapa renovasi fisik (termasuk atap gereja yang awalnya dari daun sagu) dilakukan beberapa kali  untuk memenuhi kebutuhan / kenyamanan jemaat dalam beribadah.
Gereja Irene (1895) – Desa Abubu
Megah, kesan pertama yang saya rasakan saat memasuki gereja tua ini. Tembok dengan ketebalan lebih dari 60cm lebih cocok saya sebut sebagai benteng dari pada sebuah gereja. Mimbarnya juga nampak berwibawa dengan detail ornament geometris yang sekitas terlihat seperti rasi bintang. Dari yang saya ketahui, rata-rata gereja di Maluku memiliki tempat duduk utama yang biasa dikhususkan untuk raja / orang penting di desa tersebut. Pun di Gereja Irene inilah terdapat "kursi VIP" dengan dominasi warna pastel lembut yang sangat menarik perhatian saya.
Gereja Beth Eden (1817) – Desa Ameth
Dari ketiga gereja yang saya kunjungi, Gereja Beth Eden inilah yang saya rasa masih cukup otentik; baik dari segi fasad bangunan hingga interior dan lantainya masih sangat terawat dengan baik. Ornament floral'nya teraplikasi di setiap sudut furniture; Â walaupun motifnya sederhana, namun menambah estetika dan keindahan ruangan. Pintu dan jendela tinggi dengan partisi kayu adalah ciri khas bangunan tropis kolonial yang hampir bisa kia temukan di seluruh Indonesia.
Bagi yang berjiwa petualangan, terus terang masih banyak yang bisa dieksplore di Nusalaut. Bagi penikmat diving, pulau ini menawarkan pesonannya tersendiri. Dari keterangan masyarakat lokal, penyelam asing sering berkunjung ke sini untuk mengamati spesies makro yang indah. Alam’nya yang masih asli dan vegetasinya yang rapat, menjadikan Nusalaut pilihan yang pas untuk menjauh sesaat dari kebisingan kota dan bersahabat sejenak dengan alam. Walaupun tidak sepopuler Banda Naira, Nusalalut bisa anda sisipkan sebagai destinasi alternatif saat mengunjungi kepulaun rempah-remah di Maluku.
*Artikel ini saya rangkum dari blog pribadi saya, untuk selengkapnya (akses menuju Nusalaut) anda dapat mengunjungi : www.jejakakibeta.blogspot.com
Terimakasih
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H