Meskipun kekuasaan tampak dominan, Foucault percaya bahwa resistensi selalu ada di setiap relasi kekuasaan. Resistensi ini muncul dari kesadaran akan bagaimana kekuasaan bekerja dan bagaimana ia memengaruhi kehidupan sehari-hari. Dalam konteks kebal hukum, resistensi dapat berupa gerakan sosial, advokasi, atau tekanan publik untuk mendorong akuntabilitas.
Sebagai contoh, banyak kasus kebal hukum yang akhirnya terungkap berkat investigasi jurnalis independen, tekanan dari masyarakat sipil, atau gerakan sosial yang menuntut transparansi. Resistensi ini menunjukkan bahwa meskipun kekuasaan berusaha mengontrol, ia tidak pernah absolut.
Refleksi: Apa yang Bisa Kita Lakukan?
Melalui kerangka pemikiran Foucault, kita dapat memahami bahwa fenomena kebal hukum adalah manifestasi dari relasi kekuasaan yang timpang. Untuk mengatasinya, penting bagi masyarakat untuk memahami bagaimana kekuasaan bekerja, mengkritisi narasi yang ada, dan membangun solidaritas untuk melawan ketidakadilan.
Foucault mengajarkan bahwa perubahan hanya mungkin terjadi jika kita mampu melihat dan menantang struktur kekuasaan yang ada. Dengan menyadari bahwa hukum tidak selalu netral, kita dapat mendorong sistem yang lebih adil, di mana tidak ada individu yang berada di atas hukum.
Referensi:
1. Foucault, M. (1977). Discipline and Punish: The Birth of the Prison. New York: Pantheon Books.
2. Foucault, M. (1980). Power/Knowledge: Selected Interviews and Other Writings, 1972-1977. New York: Pantheon Books.
3. Garland, D. (2014). What is "Critical" about Critical Criminology?. Annual Review of Criminology, 1(1), 1-17.
4. Mills, S. (2003). Michel Foucault. London: Routledge.
5. Ball, S. J. (2013). Foucault, Power, and Education. New York: Routledge.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H