hukum bukanlah sesuatu yang asing. Individu-individu tertentu tampaknya mampu lolos dari jeratan hukum meskipun bukti pelanggaran jelas terlihat. Fenomena ini dapat dianalisis melalui filsafat kekuasaan Michel Foucault, yang memberikan wawasan mendalam tentang bagaimana kekuasaan bekerja dalam menciptakan dan memanipulasi hukum.
Dalam masyarakat modern, fenomena kebal
Kekuasaan sebagai Jaringan Relasi
Foucault memandang kekuasaan bukan sebagai sesuatu yang dimiliki oleh individu atau kelompok tertentu, melainkan sebagai jaringan relasi yang tersebar di seluruh struktur sosial. Dalam bukunya *Discipline and Punish*, Foucault menjelaskan bahwa kekuasaan modern beroperasi melalui pengawasan, norma, dan disiplin, yang secara halus mengontrol perilaku masyarakat.
Namun, jaringan kekuasaan ini juga memungkinkan adanya manipulasi. Orang yang kebal hukum sering kali adalah mereka yang berada di titik pusat jaringan kekuasaan, seperti pejabat tinggi, pemimpin perusahaan, atau tokoh berpengaruh. Mereka menggunakan posisi mereka untuk mendikte ulang aturan dan memengaruhi penegakan hukum demi keuntungan pribadi.
Hukum sebagai Alat Kekuasaan
Bagi Foucault, hukum tidaklah netral. Sebaliknya, hukum sering kali menjadi alat kekuasaan yang mencerminkan kepentingan kelompok dominan. Proses legislasi dan penegakan hukum tidak terjadi dalam ruang hampa; ia selalu dibentuk oleh konteks kekuasaan. Dengan kata lain, hukum cenderung berpihak pada mereka yang memiliki akses untuk memengaruhinya.
Orang yang kebal hukum menunjukkan bagaimana hukum digunakan untuk melanggengkan dominasi. Mereka memanfaatkan celah hukum, pengaruh politik, atau bahkan intimidasi untuk menghindari konsekuensi atas tindakan mereka. Fenomena ini menyoroti kesenjangan antara prinsip keadilan yang diidealkan dan realitas penerapannya.
Teknologi Kekuasaan dan Produksi Kebenaran
Foucault juga memperkenalkan konsep teknologi kekuasaan, yaitu cara-cara di mana kekuasaan menghasilkan dan menyebarkan "kebenaran". Dalam konteks kebal hukum, teknologi kekuasaan dapat dilihat dalam upaya menciptakan narasi publik yang mendukung orang-orang berkuasa. Media, lembaga hukum, atau bahkan pendidikan bisa menjadi alat untuk membangun citra tertentu, seperti menggambarkan pelaku kebal hukum sebagai korban, pahlawan, atau sekadar "salah paham".
Misalnya, seorang pejabat yang tertangkap melakukan korupsi mungkin saja dielu-elukan sebagai orang yang berjasa bagi negara. Narasi ini dibangun melalui kontrol atas media, manipulasi opini publik, atau penggunaan lembaga hukum untuk melindungi mereka dari pertanggungjawaban.
Resistensi terhadap Kekuasaan