Oleh: Yohanes Manhitu*
BULAN ini bangsa Indonesia kembali memperingati hari Sumpah Pemudasalah satu peristiwa terpenting dalam sejarah perjuangan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) tercinta ini, karena ia menjadi momentum kelahiran persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia, yang pada masa itu amat membutuhkan kebulatan tekad dalam upaya melepaskan diri dari belenggu penjajahan Belanda.Â
Tanpa peristiwa yang terjadi pada tanggal 28 Oktober 1928 tersebut, kita, bangsa Indonesia, barangkali tak akan pernah dapat mewujudkan persatuan dalam bertumpah darah, berbangsa dan berbahasa.
Bertepatan dengan bulan Sumpah Pemuda, seperti biasanya bangsa kita juga merayakan Bulan Bahasa, yang secara khusus menyoroti salah satu pokok penting dari Sumpah Pemuda itu sendiri, yaitu menjunjung tinggi bahasa persatuan: bahasa Indonesia.Â
Kegiatan tahunan ini berlandaskan kenyataan sejarah bahwa secara sosiologis dapat dikatakan bahwa bahasa Indonesia baru dianggap "lahir" pada hari Sumpah Pemuda. Dan baru diakui secara yuridis pada tanggal 18 Agustus 1945, sehari setelah proklamasi kemerdekaan NKRI oleh Sukarno-Hatta (Kamus Besar Bahasa Indonesia/KBBI, 1999).
Pada bulan ini Sumpah Pemuda telah mencapai usianya yang ke-79, seusia dengan bahasa Indonesia. Jika dibandingkan dengan seorang manusia, maka bahasa persatuan kita telah menginjak usia uzur dan sudah kenyang dengan asam-garam kehidupan.Â
Nah, pada hari ulang tahunnya yang ke-79 ini penulis ingin mengajak pembaca untuk mengamati apa yang telah dicapai bahasa pemersatu kita ini dengan menggunakan indikator-indikator martabat bahasa yang digariskan Soepomo Poedjosoedarmo dalam bukunya yang berjudul "Filsafat Bahasa" (Muhammadyah University Press, 2001), yaitu kemampuan, pemakaian dan kreativitas, peradaban bangsa, sistem tulis, pembakuan, kaya, dan jumlah penutur.
Kemampuan
Ditinjau dari segi kemampuan, kita patut "angkat topi" bahwa bahasa Indonesia yang pada mulanya hanya merupakan salah satu dialek temporal dari bahasa Melayu (KBBI, 1999) kini telah mampu menopang kehidupan bangsa Indonesia dan sanggup memenuhi kebutuhan para penuturnya dalam mewujudkan cipta, rasa dan karsanya sebagai bangsa yang beradab.Â
Bahasa Indonesia terbukti mampu menjadi sarana penyampaian pesan lisan dan tertulis dan hal-hal yang bersifat religius, literer, ilmiah, politis, dan yudikatif (Soepomo Poedjosoedarmo, 2001). Akan tetapi kemampuannya masih perlu terus ditingkatkan guna memenuhi tuntutan zaman yang semakin besar dan mendesak.
Pemakaian dan Kreativitas
Soepodomo Poedjosoedarmo berpendapat bahwa pemakaian bahasa sebetulnya berarti kreativitas. Jadi, suatu bahasa harus digunakan secara aktif sehingga dapat menimbulkan kreativitas. Hal ini telah lama dialami bahasa Indonesia dalam perjalanan panjangnya. Karena kedudukannya sebagai bahasa resmi nasional, maka pemakaian bahasa Indonesia makin meluas.Â