Aku bertekad menulis di bubungan awan
agar surga bisa susuri bukit dan ngarai sajakku
dengan sinar mentari pagi sebagai lenteranya.
Di sana, setiap bait sajakku yang menari-nari
dilumuri madu rimba perawan berahmat
dan diperciki wewangian padma eden,
yang di matanya, asing kelayuan.
Dan kemudian butir-butir kataku
'kan kurangkai serupa kuntum melati dini
dan kukalungkan di lehermu, wahai kekasih,
yang telah serahim dengan pualam bumiku
agar kau dan aku senapas hirup udara firdaus.
Pugeran Timur, Yogyakarta, 21 Agustus 2004
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H