Dalam praktik kehidupan sehari-hari, kadang-kadang kita masih memandang dengan sebelah mata hal-hal yang "berbau" lokal, seolah-olah segala sesuatu yang baik hanya ada dalam dan satu paket dengan hal-hal yang bersifat nasional dan internasional. Patut disadari bahwa setiap gerak maju sekaligus bisa merupakan kemunduran. Jadi, kita bisa maju selangkah dan pada saat yang sama, kita mundur dua langkah atau lebih.
Dan kehadiran rublik "Tapaleuk", walaupun belum merupakan solusi final, menunjukkan bahwa kita masih terus mengapresiasi hal-hal baik yang kita miliki sambil berusaha menimba dengan tekun yang positif dari tempat lain guna memperkaya milik kita sendiri.
Sebagai orang yang melek sejarah, kita tentu tidak akan mengatakan bahwa bahasa yang digunakan dalam rubrik ini adalah bahasa Indonesia rusak atau hancur, karena kenyataannya bahasa Kupang dan bahasa Indonesia adalah dua bahasa yang berbeda (terpisah), namun bersaudara (sama-sama Melayu).
Kemungkinan besar karena "persaudaraan" mereka itulah kita terkadang tanpa berpikir panjang terlanjur memvonis bahasa Kupang sebagai bahasa rusak dari bahasa Indonesia.
Saya tidak tahu bagaimana perkembangan saat ini, semoga sudah jauh lebih baik, tetapi beberapa puluh tahun silam ada orang tua tertentu melarang anak-anak mereka menggunakan bahasa Kupang, karena khawatir bahwa bahasa Indonesia mereka akan "rusak" atau "hancur" gara-gara berbicara bahasa Kupang. Dapat diduga bahwa kelalaian kitalah yang menimbulkan "ketidaknyamanan" ini.
Perbedaan antara bentuk ini hari (bahasa Kupang) dan hari ini (bahasa Indonesia) terbilang di antara pokok-pokok yang perlu disadari sejak dini. Di kemudian hari, ketika anak-anak mulai belajar bahasa Inggris, penting untuk membiasakan mereka menggunakan frasa-frasa yang sederhana dengan tepat, misalnya padanan frasa this book dalam bahasa Kupang adalah ini buku dan dalam bahasa Indonesia adalah buku ini. Hal ini penting untuk mencegah kebingungan bahasa sejak dini.
Semoga perbedaan-perbedaan seperti ini dapat diperjelas oleh rubrik "Tapaleuk" dan juga karya lain yang lebih serius dan memiliki "otoritas", seperti Tuhan Allah Pung Janji Baru (Alkitab Perjanjian Baru dalam bahasa Kupang) yang sudah diluncurkan pada tanggal 7 September 2007.
Yang terakhir ini adalah suatu karya besar yang patut disambut dengan gembira dan dapat dibaca sebagai kitab suci sekaligus referensi sastra tulis bahasa Kupang.
Sehubungan dengan apa yang telah disinggung di atas bahwa bahasa Kupang berbeda dari bahasa Indonesia dan secara historis sudah ada di Kupang dan sekitarnya sebelum bahasa Indonesia yang kita cintai ini lahir, baik de facto maupun de jure, saya ingin mengutip secara langsung beberapa baris kalimat dari buku Malay, World Language: a short history (Bahasa Melayu, Bahasa Dunia: Sejarah Singkat) karya James T. Collins yang diterjemahkan oleh Alma Evita Almanar dan diterbitkan Penerbit Obor (2005:89).
Kutipan tersebut adalah sebagai berikut, "Pada tahun 1857, Alfred R. Wallace yang terkenal sebagai pemula life science dan teori evolusi terlibat dalam suatu percakapan ilmiah dengan menggunakan bahasa Melayu. Di tempat terpencil di Kupang, Timor, dia dan seorang pejabat kesehatan Jerman, Dr. Arndt.
Pada mulanya (mereka) mengadakan pembicaraan dalam bahasa Prancis, namun tidak lama kemudian segera beralih memakai bahasa Melayu dan berbincang-bincang lama serta berdiskusi tentang sastra dan pertanyaan-pertanyaan ilmiah dan filsafat."