Pada zaman dahulu, keterbatasan akses informasi bagi seorang monolingual lokal mungkin tidak terasa. Namun pada masa kini, ketika bahasa nasional dan bahasa 'internasional' sudah merambah semua ranah kehidupan sosial, orang-orang yang monolingual merasa terdesak dan tersisih, bahkan kadang mereka menjadi rendah diri di tengah-tengah para penutur bilingual atau multilingual.Â
Dapat dibayangkan betapa terasingnya seorang ibu yang mempunyai anak-anak yang semuanya berpendidikan (tinggi) dan cenderung menggunakan bahasa Indonesia atau bahasa asing ketika berkumpul pada suatu acara keluarga. Menyadari keterbatasan seperti ini, banyak orang yang awalnya monolingual memotivasi diri untuk belajar bahasa kedua sehingga akhirnya menjadi bilingual juga. Kasus yang cukup menarik adalah di Timor-Leste.Â
Di sana, jarang sekali ditemukan orang yang monolingual karena selain berbicara bahasa daerah, setiap orang bisa berbicara bahasa Tetun (agar bisa berbicara dengan orang dari suku lain). Dan mereka juga bisa bahasa Indonesia dan bahasa Portugis (paling kurang secara pasif). Maklum, negara ini mempunyai dua buah bahasa resmi (Tetun dan Portugis).
Melihat kenyataan ini, kita dapat memperkirakan bahwa globalisasi (bukan gombalisasi!) dan konsep dusun global akan secara perlahan namun pasti mengurangi jumlah penutur monolingual lokal di Indonesia dan juga di belahan bumi yang lain. Perkiraan ini tidak berlebihan karena generasi-generasi belakangan ini lebih banyak yang bilingual dan bahkan multilingual.Â
Saya pikir, hal ini tidak perlu disesali apalagi ditangisi. Selama kita masih peduli terhadap bahasa-bahasa daerah kita yang memang terus-menerus memerlukan perhatian serius, terlebih pada masa sekarang, bilingualisme dan multilingualisme yang kita miliki justru akan menjadi teropong yang baik untuk mengamati secara akurat dan membantu pengembangan bahasa-bahasa daerah yang telah mengantarkan masyarakat kita ke pintu gerbang kemajuan. Ibarat bepergian dengan pesawat terbang, jangan kita membiarkan bahasa-bahasa daerah kita tinggal di landasan sedang kita kita secara acuh tak acuh tinggal landas dan lepas pergi.
Yogyakarta, 28 Juli 2008
--------------------------
*) Penulis dan penerjemah, tinggal di Yogyakarta. Beberapa di antara karya-karyanya adalah Kamus Indonesia-Tetun, Tetun-Indonesia (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2007), Kamus Portugis-Indonesia, Indonesia-Portugis (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2015), antologi puisi Dawan-Esperanto Feotnai Mapules-Princino Laudata (Antwerpen: Eldonejo Libera, 2016), dan antologi puisi Inggris-Prancis A Walk at Night (Une promenade de nuit) (Antwerpen: Eldonejo Libera, 2017).
Catatan penulis: Tulisan ini telah tersedia di http://ymanhitu.blogspot.com/2008/07/hidup-dengan-satu-bahasa-saja.html (sejak Juli 2008).
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H