Mohon tunggu...
Yohanes Maharso
Yohanes Maharso Mohon Tunggu... Lainnya - Communers'19

Mahasiswa Program Studi Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Atma Jaya Yogyakarta

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Merayakan Natal Melalui Jalan Lain

26 Desember 2022   11:18 Diperbarui: 26 Desember 2022   11:20 323
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Natal tahun ini adalah Natal terbaik dalam hidup saya. Sama seperti para majus yang memilih jalan lain, saya merayakan Natal di pedalaman Kalimantan. Tentu saja, jauh dari kemegahan perayaan dan terang benderang lampu natal. Penuh dengan keterbatasan, kesederhanaan, dan ketidaknyamanan. Yang jelas, sukacita Natal terasa lebih mendalam. Perayaan Natal tak lagi hanya menjadi seremonial belaka.

Perayaan Natal tahun ini bertepatan dengan pelaksanaan Kuliah Kerja Nyata yang saya jalani di Paroki Balai Semandang, Keuskupan Ketapang. Saya bersama dua teman lainnya menemani Romo bermisi ke stasi-stasi di paroki ini. Umat biasa menyebutnya kegiatan ini dengan sebutan 'Turney'.

Ada empat stasi yang kami kunjungi yaitu Setarah, Gebok, Kenanga, dan Sungai Nibung. Perjalanan antar stasi beragam, mulai dari setengah jam sampai dua jam.

Jalan yang ditempuh tentu saja tidak mudah. Kami melewati bukit, sungai, dan perkebunan sawit. Tanah merah dan berlumpur menyertai perjalanan kami. Untung saja, hujan tak ikut menyertai.

Beberapa kali motor kami tersangkut. Kami harus turun untuk mendorong. Tak jarang, kaki kami harus bergulat dengan lumpur yang seakan menarik masuk ke dalam tanah.

Pengalaman mengunjungi stasi yang paling berkesan adalah mengunjungi Setarah.

Perjalanan yang cukup menguras tenaga terbayar dengan sapaan hangat umat Setarah. Dengan penuh sukacita mereka memenuhi kapel.

Tak tampak baju baru sepatu baru. Semua tampak biasa saja. Hanya satu yang mencolok, rambut dengan cat baru. Katanya, ini yang khas dari Semandang. Menyambut Natal, banyak orang mengecat rambutnya. Ada yang pink, hijau, kuning, dan banyak warna lainnya.

Misa belum dimulai, tapi fokus saya langsung teralihkan ke gua natal yang dibuat di dekat altar. Dalam kertas semen yang dibiarkan dengan warna aslinya, tampak patung Bunda Maria. Tak tampak bayi Yesus atau Bapa Yosef.

Yang tampak adalah badak, macan tutul, harimau, jerapah, dan singa. Mereka seakan hendak menyerang Bunda Maria. Tapi kalau dilihat dari sisi lain, nampaknya binatang buas itu lebih digambarkan sedang menyembah Bunda Maria.


Kata Romo, kebetulan Bapa Yosef sedang memandikan bayi Yesus di belakang Gua Natal. Sehingga, tak tampak di dalam Gua.

Bagi saya, ini pengalaman iman yang luar biasa. Dalam keterbatasannya, umat tetap berusaha mengupayakan untuk mengenang kelahiran Yesus melalui Gua Natal yang mereka buat.

Mereka tak terlalu peduli dengan patung, karena memang hanya benda mati saja. Mereka jauh lebih peduli bagaimana memastikan Betlehem hadir di tengah hati.

Misa berlangsung dengan khidmat. Umat semangat bernyanyi. Bahkan 8 bait dalam satu lagu pun dinyanyikan semua, dan diulang beberapa kali. Sekilas, tempo lagu yang dinyanyikan juga jadi sangat lambat. Tapi, tidak ada yang mempermasalahkan hal itu. Semua larut dalam pujian untuk menyambut Yesus yang lahir.

Ini pemandangan baru bagi saya. Selama 22 tahun saya hidup, saya merasa orang-orang di sekitar saya termasuk saya sendiri terlalu sibuk mengurusi hal-hal yang tampak saja. Seringkali, kita terjebak pada seremonial saja, dan mengabaikan makna Natal sesungguhnya.

Kita terlalu mengurus bagaimana desain Gua Natal yang terbaik, hiasan yang menarik, dan lagu-lagu Natal yang meriah dan dinyanyikan harus benar. Tata cara misa juga tak boleh ada yang terlewatkan, semua harus sesuai. Tak jarang, kita berkonflik dengan orang lain hanya karena masalah itu.

Pesan Natal untuk pulang melalui jalan lain sangat berkesan bagi saya. Kita diajak untuk tidak lagi fokus pada hal-hal yang tampak saja. Kita tidak boleh terjebak pada rutinitas, apalagi seremonial belaka.

Kita harus memaknai Natal melalui cara yang baru, melalui jalan lain. Bagi saya, pengalaman natal di Ketapang ini menjadi tamparan sekaligus peringatan agar saya lebih memaknai Natal sebagai Yesus yang hadir ke dunia. Bukan lagi peringatan untuk menghadirkan dekorasi Natal yang istimewa, atau juga lagu-lagu meriah.

Ini jalan lain yang saya pilih. Apakah kita sudah mengikuti para majus untuk memilih jalan lain? Lalu, apa jalan lain yang Anda pilih?

Selamat Natal, Tuhan Memberkati.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun