Kisah heroik superhero lokal kembali mewarnai perfilman di Indonesia. Tokoh Gatotkaca sebagai tokoh pewayangan yang populer di kalangan masyarakat Indonesia, dihadirkan secara modern dalam film Satria Dewa: Gatotkaca (2022). Namun, meskipun menghadirkan kisah yang relevan dengan masyarakat Indonesia, film ini memunculkan berbagai kontroversi.
Film Satria Dewa: Gatotkaca akan menjadi awal dari delapan film dari Satria Dewa Universe. Film ini termasuk dalam kategori film blockbuster karena menelan biaya produksi senilai 24 miliar. Sayangnya, film ini pamit undur diri dari bioskop Indonesia dengan ditonton kurang dari 200 ribu penonton.
Mengapa film ini tak dapat meraup kesuksesan seperti Gundala (2019)? Padahal, dari segi cerita, film Satria Dewa: Gatotkaca terasa lebih dekat dengan msayrakat Indonesia. Sederet fakta kontroversial tampak dalam film ini. Namun, sebelum mengungkap fakta-fakta kontroversial tersebut, berikut adalah sinopsis singkat dari film ini.
Sinopsis Film
Â
Film ini mengisahkan tokoh Yuda (Rizky Nazar) yang memerankan tokoh Gatotkaca. Ia tinggal bersama Ibunya Arimbi (Sigi Wimala) di sebuah kota bernama Astina. Â Ia ditinggalkan oleh sang ayah Pandega (Cecep Arif Rahman) yang menghilang ketika ia masih kecil. Yuda memiliki sahabat bernama Erlangga (Jerome Kurnia) yang tewas akibat serangan kelompok Kurawa tersebut. Ia bersama Agni (Yasmin Napper) lalu bertekad untuk mencari siapa pembunuhnya.
Keduanya mendapatkan serangan dari kelompok Kurawa dan diselamatkan oleh Dananjaya (Omar Daniel) dan adiknya, Gege (Ali Fikry). Hingga Dananjaya mengungkapkan bahwa Yuda mempunyai darah Pandawa, khususnya Gatotkaca dan memiliki kekuatan untuk mengalahkan Kurawa.
Setelah mengetahui kekuatannya yang besar, Yuda bertekad untuk melakukan perlawanan pada Kurawa yang berusaha membangkitkan Aswatama. Kisah perlawanan ini diwarnai dengan drama keluarga dan percintaan antara Yuda dan Agni.
Fakta Kontroversial di Balik Film
Untuk mengungkap fakta-fakta kontroversi yang ada dalam Film Satria Dewa: Gatotkaca, penulis mewawancarai tiga orang penonton yang telah menonton film ini. Tiga orang tersebut yaitu Emanuel, Dika, dan Siska.
Emanuel adalah karyawan perusahaan swasta. Ia sejak kecil sudah akrab dengan kisah-kisah pewayangan dan bahkan menghafalkan dengan baik. Salah satu motivasi utama menonton film ini yaitu kekagumannya pada tokoh Gatotkaca.
Penonton lainnya, Dika adalah mahasiswa yang berasal dari pulau Sumatera. Ia sama sekali tidak mengetahui kisah pewayangan di Indonesia. Namun, ia adalah penonton sejati film superhero. Sedangkan, Siska adalah mahasiswa yang berasal dari Pulau Jawa, namun tidak mengetahui kisah pewayangan secara detail. Ia hanya sebatas mengetahui nama-nama wayang yang terkenal saja.
Ketiga penonton ini mengakui bahwa film Satria Dewa: Gatotkaca terasa cukup kontroversial. Salah satu fakta yang paling dominan dari respon ketiga penonton ini adalah mengenai alur cerita yang terkesan berantakan. Dika mengatakan bahwa film ini terlalu memaksakan untuk bercerita banyak hal mengenai Satria Dewa Universe.
"Menonton film ini rasanya seperti mengikuti perkuliahan dosen di kelas. Materi yang diberikan sangat padat di setiap scene nya. Padahal kalau alur nya dibuat sederhana dan materi yang banyak itu dibagi ke dalam film selanjutnya, film ini akan jauh lebih menarik," jelas Dika.
Siska juga menambahkan alur yang tidak jelas itu semakin diperparah dengan product placement yang sangat dipaksakan. Ia mencontohkan scene dimana karakter Petruk, Gareng, Bagong, dan Romo yang ditampilkan secara mendadak.
Siska memang menangkap bahwa adegan itu dimunculkan untuk mencairkan suasana dari ketegangan yang berusaha dibangun. Sayangnya, alih-alih membuat penonton tertawa, scene ini malah terkesan gatot alias gagal total. Kegagalan komedi ini diperparah dengan munculnya promosi produk.
"Film ini benar-benar ternodai sama promosi produk yang terang-terangan dan terkesan sama sekali tidak ada niatan untuk diperhalus kemunculannya. Itu paling keliatan di scene Petruk, Gareng, Bagong. Mereka tidak muncul sebelumnya, tapi tiba-tiba promosi salah satu e-commerce. Kan menyebalkan ya," tegas Siska.
Terkait product placement, Emanuel juga memberikan komentar. Meskipun ia tidak terlalu sering menonton film, promosi produk di film ini sangat mengganggu.
"Promosi produk ini sangat mengganggu. Kenapa pembuat film mengambil keuntungan secara langsung seperti ini? Padahal semestinya sajikan film yang bagus dulu, maka keuntungan akan mengikuti. Kalau ini malah dibalik. Yang penting sponsor banyak, masalah kualitas belakangan," kata Emanuel.
Gatotkaca, Superhero Lokal di Dunia Modern
Meskipun banyak fakta kontroversial di balik film ini, Hanung Bramantyo sebagai sutradara bersama tim lainnya perlu mendapatkan apresiasi. Melalui alur cerita yang disajikan, mereka tampak sekali melakukan riset yang mendalam terkait kisah Mahabharata.
Emanuel sebagai seseorang yang paham betul mengenai kisah pewayangan merasa bahwa karakter dan simbol-simbo lain yang dimunculkan sangat dengan kisah sesungguhnya.
"Karakter pewayangan dalam film ini digambarkan dengan sangat tepat. Misalnya  karakter yang lekat dengan tokoh Gatotkaca yaitu 'Otot kawat, tulang besi' juga dimunculkan dalam film ini. Kisah kebangkitan Aswatama juga digambarkan dengan sangat tepat, meskipun ada beberapa adaptasi di sana-sini," terang Emanuel.
Film Satria Dewa: Gatotkaca juga berusaha menghadirkan kisah pewayangan dalam konteks abad ke-21. Â Kondisi abad-21 yang dimunculkan misalnya seperti penggunaaan bahasa gaul, kehadiran teknologi modern, bahkan sampai kondisi pandemi Covid-19.
"Ini yang menurutku perlu diapresiasi. Aku jadi merasa dekat dan relate banget dengan kehidupan sehari-hari. Apalagi ada bumbu cinta antara Yuda dan Agni. Kisah pewayangan yang aku gak ngerti sama sekali, dikit-dikit jadi lebih mudah dipahami dengan konteks yang modern ini," jelas Dika.
Sika memiliki pendapat lain. Ia malah sedikit kecewa dengan kesan superhero yang dimunculkan dalam film ini. Ia merasa kisah superhero yang ditampilkan kurang heroik. Misalnya saja tampak dari adegan perkelahian.
"Aku kurang puas dengan adegan perkelahian. Semua adegan perkelahian terasa canggung dan kurang bisa dinikmati. Tokoh Gatotkaca yang kuat juga jadi sedikit terabaikan karena kurang ditonjolkan kekuatannya. Harusnya superhero Indonesia lebih keren dari superhero Marvel atau DC," tegas Siska.
Makna dari Film
Sebagai anak muda yang sebelumnya tidak pernah mengetaui kisah pewayangan, Dika merasa dapat belajar banyak mengenai kisah pewayangan yang ditampilkan dalam film ini.
"Bagiku, film ini tidak hanya tentang pertarungan pandawa dan kurawa, atau yang baik dan jahat aja. Film ini mengajarkanku untuk berani mengenali potensi diri dan menggunakannya untuk kebaikan orang banyak. Yuda awalnya tidak sadar memiliki kekuatan yang besar. Namun setelah menyadarinya, ia menggunakannya dengan baik. Ia tidak hanya menggunakan untuk kepentingan dirinya sendiri," kata Dika.
Emanuel memiliki pandangan lain. Ia merasa kisah pewayangan yang telah lama ia ketahui mendapatkan pemaknaan ulang melalui film ini. Ia menjadi semakin tahu bagaimana kontekstualisasi kisah tersebut dalam kehidupan sehari-hari saat ini.
"Film ini membuat kita dapat menerapkan makna kisah pewayangan ke dalam kehidupan sehari-hari. Aku menangkapnya, kisah pewayangan bukan lagi jadi hal yang jauh atau dongeng penghantar tidur saja. Film ini menjelaskan bahwa kisah pewayangan sebenarnya dekat dengan kita. Tokoh-tokoh pewayangan dapat kita temui dalam pribadi di sekitar kita. Maka penting sekali untuk belajar dan mengenai siapa musuh dan siapa kawan," terang Emanuel terkait makna dari film ini.
Siska menambahkan makna yang ia dapatkan dari film ini. Ia lebih menyoroti latar belakang Gatotkaca yang ditampilkan dalam film ini.
"Aku malah tertarik dengan latar belakang Gatotkaca yang ditampilkan. Ia bukan berasal dari keluarga kaya raya. Ia dari keluarga miskin dan bahkan dikeluarkan dari universitas. Dari sini, aku belajar bahwa untuk menjadi pahlawan kita tak perlu punya banyak materi. Siapapun kita dan berasal dari latar belakang apapun dipanggil untuk menjadi pahlawan dalam kehidupan sehari-hari," tegas Siska.
Terlepas dari fakta kontroversial di balik Film Satria Dewa: Gatotkaca, film ini tetap dapat dimaknai secara positif. Terdapat pesan-pesan positif yang dapat diterima oleh penonton. Harapannya, film dengan genre superhero Indonesia dapat semakin baik dan belajar dari kesalahan. Maju terus perfilman Indonesia!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H