Belajar dari Sejarah
Konflik Laut China Selatan saat ini merupakan sebuah pemandangan dimana perlombaan senjata dan aliansi militer memainkan peran krusial dalam menentukan dinamika geopolitik.Â
Pengamatan sejarah mengajarkan kita bahwa perlombaan senjata dan aliansi militer seringkali lebih banyak memperumit daripada menyelesaikan konflik. Melalui pengkajian ulang terhadap peristiwa-peristiwa sejarah sebelum perang dunia 2 dan konflik-konflik setelah perang dunia 2, kita dapat memperoleh pemahaman yang lebih dalam mengenai bagaimana dinamika tersebut mungkin mempengaruhi penyelesaian konflik di Laut China Selatan.
Pertama, tahun-tahun menjelang Perang Dunia II, kita menyaksikan inovasi signifikan dalam teknologi militer. Negara-negara besar seperti Jerman, Inggris, dan Uni Soviet semuanya mengalami modernisasi besar-besaran dalam angkatan bersenjata mereka. Jerman, di bawah kepemimpinan Nazi, memulai rearmament besar-besaran yang melanggar Perjanjian Versailles. Ini termasuk pembangunan ulang Luftwaffe (angkatan udara) dan peningkatan drastis dalam produksi kapal perang dan tank.
Kedua, Setelah perang dunia II, kita masuk dalam era perang dingin. Selama Perang Dingin, kita menyaksikan salah satu perlombaan senjata terbesar dalam sejarah antara Amerika Serikat dan Uni Soviet, dimana kedua negara terus memperkuat arsenal nuklir mereka hingga mencapai kapasitas penghancuran timbal balik atau Mutual Assured Destruction (MAD). Situasi ini menciptakan ketegangan global yang sangat tinggi dan menunjukkan betapa berbahayanya perlombaan senjata. Krisis Misil Kuba tahun 1962 adalah contoh nyata dari risiko yang terjadi, dimana hampir terjadi perang nuklir yang berhasil dihindari melalui diplomasi langsung dan komunikasi antar kedua superpower tersebut. Selanjutnya, perjanjian seperti Non-Proliferation Treaty (NPT) dan Strategic Arms Reduction Treaty (START) menunjukkan bahwa kerjasama internasional dapat mengurangi senjata nuklir dan membantu mencegah konflik.
Implikasi sejarah perlombaan senjata dan Aliansi terhadap konflik Laut China Selatan
Negara-negara yang terlibat dalam konflik Laut China Selatan, seperti Indonesia, China, Filipina, Vietnam, Malaysia, Brunei, dan Taiwan, telah meningkatkan aktivitas militer mereka sebagai respons terhadap klaim teritorial yang saling bertentangan. Perlombaan senjata di kawasan ini termasuk modernisasi angkatan laut, penambahan kapal perang, dan pengembangan infrastruktur militer di pulau-pulau yang diperebutkan. Sementara itu, Amerika Serikat telah memperkuat aliansi militernya dengan beberapa negara ASEAN dan meningkatkan kehadiran militernya di kawasan sebagai bagian dari strategi "Pivot to Asia." Aliansi-aliansi militer tumbuh dan berkembang, salah satu yang terpenting adalah AUKUS. Â Dalam konteks Laut China Selatan, inisiatif seperti AUKUS menambah dimensi baru dalam perlombaan senjata dan aliansi militer. Meskipun pembentukan AUKUS meningkatkan kapabilitas militer anggotanya dan mengirimkan pesan geopolitik yang kuat, sangat penting bagi AUKUS untuk memperkuat upaya diplomatik dan memastikan bahwa semua tindakan militernya dikomunikasikan secara transparan dan dilaksanakan sesuai dengan hukum internasional. Dengan pendekatan seperti ini, AUKUS tidak hanya akan berkontribusi pada stabilitas regional tetapi juga mendukung upaya mencari solusi damai untuk konflik yang berkepanjangan di Laut China Selatan. Pembentukan dan penguatan aliansi militer ini, sementara dimaksudkan untuk menjamin keamanan bagi negara-negara anggotanya, juga dapat dilihat sebagai provokatif oleh pihak lain, terutama China, yang menganggap ini sebagai upaya untuk mengandung pengaruhnya. Hal ini meningkatkan risiko kesalahpahaman dan miscalculations yang bisa memicu eskalasi konflik. Untuk mengurangi risiko dan mencari solusi damai, beberapa langkah dapat diambil berdasarkan pelajaran dari sejarah, pertama, memperkuat diplomasi dan dialog melalui platform seperti ASEAN dapat membantu mengurangi kesalahpahaman dan membangun kepercayaan; kedua, menekankan pada hukum internasional, seperti UNCLOS, untuk menyelesaikan sengketa secara adil dan objektif; ketiga, membuat perjanjian untuk membatasi militerisasi di wilayah yang diperebutkan dapat mengurangi risiko insiden dan eskalasi; keempat, pelaksanaan inisiatif kepercayaan-bangunan, seperti latihan militer bersama yang tidak agresif atau pertukaran informasi maritim, dapat mempromosikan transparansi dan memperkuat hubungan.
Kesimpulan
Pendekatan terhadap Laut China Selatan harus berhati-hati dan terinformasi oleh pelajaran dari sejarah. Perlombaan senjata dan aliansi militer, meskipun mungkin memberikan jaminan keamanan jangka pendek, seringkali tidak menyelesaikan konflik pada akhirnya dan dapat menimbulkan risiko yang lebih besar. Solusi jangka panjang lebih cenderung dicapai melalui diplomasi, penghormatan terhadap hukum internasional, dan kerjasama antarnegara. Memilih pendekatan yang mendorong dialog dan kerjasama, daripada konfrontasi dan persaingan, akan memastikan stabilitas yang lebih besar dan perdamaian yang berkelanjutan di kawasan Laut China Selatan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H