Manusia adalah makhluk yang bertanya. Manusia mampu bertanya karena ia mempunyai akal budi. Selain sebagai makhluk bertanya, manusia disebut juga sebagai makhluk eksentris yang membuka diri pada seluruh realitas. Keterarahan budi manusia pada seluruh realitas memampukannya untuk bertanya dan menemukan jawaban tentang apa yang mendasari adanya di dunia ini. Ia sampai pada 'ada' absolut yang disebut sebagai dewa-dewa dan makhluk-makhluk ajaib. Hakekat dewa-dewi dan makhluk-makhluk ajaib itu dilukiskan dalam mitos. Mitos merupakan cerita atau kisah dari zaman arkais tentang pahlawan dan para dewa, tentang asal-usul manusia dan bangsanya serta asal-usul semesta alam. Mitos tentang keberadaan manusia tersebar luas di setiap kebudayaan.Â
Mitos dilukiskan oleh setiap kultur secara berbeda menurut kekhasan budayanya sendiri. Salah satu kebudayaan yang melukiskan tentang asal-usul manusia adalah budaya Batak Toba. Mitos eksistensi manusia dalam budaya Batak Toba diwariskan secara turun-temurun secara lisan dalam sebuah turi-turian (cerita dongeng) oleh orang tua yang paham akan hal itu kepada orang yang lebih muda atau anak-anak. Pada saat ini, ada berbagai versi mitos yang dimiliki oleh budaya Batak Toba meskipun memiliki pola yang sama. Hal ini disebabkan oleh penyampaian cerita itu menggunakan komunikasi lisan secara turun-temurun dan tidak pernah didokumentasikan dalam sebuah buku. Hingga pada tahun 1851, seorang bangsa Belanda yang bernama Van Der Tuuk mengumpulkan semua mitos asal-usul manusia dalam budaya Batak Toba dalam bentuk yang lebih sempurna.Â
Teori Asal-Usul Manusia dalam Budaya Batak TobaÂ
Mitos penciptaan mula-mula dilakukan di banua ginjang oleh Mulajadi Nabolon. Ia menciptakan sebuah pohon mitis (Tumburjati) sebagai pohon kehidupan dan menempatkannya di banua ginjang pada tingkat kedua. Kemudian Mulajadi Nabolon menciptakan burung mitis bernama Manuk-manuk Hulambujati. Badannya sebesar kupu-kupu raksasa mempunyai moncong dan kuku yang terbuat dari besi dan tembaga. Bulunya mengkilat dan wajahnya bagaikan bintang kejora. Mulajadi Nabolon menempatkan burung mitis ke salah satu cabang pohon kehidupan. Tiba waktunya, burung mitis bertelur sebanyak tiga butir dan menetaskan tiga orang manusia yang disebut Debata na Tolu yakni Debata Bataraguru, Debata Soripada dan Debata Mangalabulan. Setelah mereka dewasa, burung mitis berseru kepada Mulajadi Nabolon untuk meminta perempuan sebagai isteri Debata na Tolu. Mulajadi Nabolon memberi perempuan bagi mereka agar berpasang-pasangan. Siboru Pareme sebagai pasangan Debata Bataraguru, Siboru Parorot sebagai pasangan Debata Soripada dan Siboru Panuturi sebagai pasangan Debata Mengalabulan. Perkawinan mereka menghasilkan keturunan sebagai penerusnya.Â
Dari perkawinan Debata Bataraguru dengan Siboru Pareme, lahirlah dua orang anak laki-laki yang diberi nama Tuan Sori Muhammad dan Tantan Debata Guru Mulia. Kemudian dua orang puteri kembar yang diberi nama Siboru Sorbajati dan Sibori Deakparujar. Hasil perkawinan Debata Soripada dengan Siboru Parorot, lahirlah Tuan Sorimangaraja dan Siraja Enda-enda . Hasil perkawinan Debata Mangalabulan dengan Siboru Panuturi, lahirlah seorang anak laki-laki yang diberi nama Dipampat Tinggi Sambulan. Setelah dewasa, Siraja Enda-Enda hendak dikawinkan dengan diboru sobarjati sebagai kerabat dekat dalam kerangka adat, namun Siboru Sobarjati menolak tawaran itu karena Siraja Enda-Enda tidak memiliki rupa yang elok. Saudaranya Tantan Debata Guru Mulia membujuk bahkan memaksa Siboru Sobarjati agar mau dikawinkan dengan Siraja Enda-Enda. Akhirnya, Siboru Sobarjati meminta agar digondangi dan tarian agar ia bersedia. Siboru Sobarjati pun menari ke atas para-para dihadapan orang tua dan sanak saudaranya. Ia pun beranjak ke pinggir anjungan lalu mencemplungkan diri ke tengah halaman. Maka dia tenggelam dan tidak nampak lagi.Â
Kemudian Debata Bataraguru membujuk Siboru Deakparujar dengan bahasa isyarat yakni dengan gondang dan tarian agar ia mau dikawinkan dengan Siraja Enda-Enda. Hal ini dilakukan agar tidak memalukan keluarga dari Debata Bataraguru. Siboru Deakparujar pun ikut menari dalam rangkaian gerak tor-tor membentuk suatu keterpaduan sebagai ungkapan bahwa ia bersedia terhadap permintaan orang tuanya. Rupanya, gerakan yang ditampilkan olehnya bukan sebagai ekspresi kegembiraan melainkan hanyalah pura-pura. Buktinya, menjelang pagi hari ia pun melompat ke halaman sebagai tanda penolakan terhadap permintaan orang tuanya. Ia jatuh dalam 'paradis bahari' yang kemudian dinamakan banua tonga. Siboru Deakparujar telah berada dalam banua tonga di tengah lautan, hanya onggokan batu sebagai tempat berpijak. Ketika Leang-Leang Mandi lewat, Siboru Deakparujar menyuruhnya meminta segenggam tanah kepada Mulajadi Nabolon untuk tempat berpijak. Setelah Leang-Leang Mandi membawa tanah itu kepadanya, yang diberikan oleh Mulajadi Nabolon, Siboru Deakparujar mulai menempah segenggam tanah itu untuk dijadikan sebagai daratan. Namun, tanah yang dibawa oleh Leang-Laeang Mandi itu dihancurkan oleh Naga Padoha. Akhirnya, Siboru Deakparujar melemahkan Naga Padoha dengan pedang ajaib yang diberikan oleh leluhurnya (Mulajadi Nabolon dan Dewa Trimurti). Siboru Deak Parujar menempah kembali tanah yang diberikan Mulajadi Nabolon, lalu menimbuninya dengan tanah. Dari situ, terciptalah banua tonga yang menjadi tempat manusia berada. Mulajadi Nabolon melihat begitu tertata indah dan apik banua tonga yang diciptakan Siboru Deakparujar. Namun, Mulajadi Nabolon mengetahui bahwa Siboru Deakparujar tentunya mengalami kesepian di banua tonga, maka ia menyuruh Siraja Enda-Enda untuk menemui dan menemani Siboru Deakparujar.Â
Perjumpaan mereka berdua serta bujukan dari Siraja Enda-Enda akhirnya meluluhkan hati Siboru Deakparujar. Mereka membentuk ikatan suami isteri sebagaimana layaknya perkawinan insani. Mereka memilih tempat di kaki gunung Pusuk Buhit yang disebut Sianjur Mula-mula. Beberapa bulan setelah mereka kawin, Siboru Deakparujar pun mengandung. Setelah tiba waktunya, ia melahirkan sesuatu yang aneh dan berbentuk benda "gumul" yaitu semacam tembuni yang masih terbungkus dalam selaput dan belum menjadi bayi. Bentuknya bulat serta tidak mempunyai kaki, tangan dan kepala. Kekhawatiran Siboru Deakparujar timbul melihat bayi itu. Kemudian ia ingin menyerahkan bayi itu kepada Mulajadi Nabolon untuk diasuh-Nya. Tetapi datanglah suara menggema dan berkata kepadanya, " Hai... Deakparujar! Jangan engkau cemas dan takut melihat keadaan bayimu itu. Saran-Ku kepadamu, tanamkanlah bayi itu ke tanah yang engkau ciptakan." Dengan segera Siboru Deakparujar menuruti perintah-Nya, karena takut tentang hal yang buruk terjadi terhadap bayi itu. Setelah tujuh hari tujuh malam ditanam, maka pecahlah bayi yang tidak sempurna itu. Bersamaan dengan itu tumbuhlah segala macam bentuk tanam-tanaman dan rumput-rumputan di tanah yang diciptakan Siboru Deakparujar. Setelah itu, Siboru Deakparujar mengandung lagi.Â
Ia pun melahirkan bayi kembar yaitu seorang laki-laki dan seorang perempuan. Laki-laki diberi nama Raja Ihat Manisia dan perempuan diberi nama Boru Ihat Manisia. Insan perdana ini mendapat privelese Ilahi. Mereka bebas bergaul dengan penghuni banua ginjang termasuk Debata na Tolu dan para hamba Mulajadi Nabolon. Ketika Raja Ihat Manisia dan Boru Ihat Manisia sudah mulai beranjak dewasa, tergeraklah hati Siboru Deakparujar memanjatkan doa restu kepada Mulajadi Nabolon agar turun ke banua tonga memberkati kedua anak itu. Maka turunlah Mulajadi Nabolon bersama Debata Bataraguru, Debata Soripada dan Debata Mangalabulan untuk mengunjungi mereka bereempat di banua tonga. Mulajadi Nabolon memberkati Raja Ihat Manisia dan Boru Ihat Manisia menjadi suami-istri. Dalam pemberkatan perkawinan itu, Mulajadi Nabolon menyampaikan dua ayat berupa pesan (tona) kepada mereka untuk diamalkan dan menyampaikannya kepada keturunannya sampai akhir jaman. Dua ayat itu adalah, "Na jadi dohot naso jadi" (yang boleh dan tidak boleh dikerjakan).Â
Bersamaan dengan itu pula, Mulajadi Nabolon berpesan kepada mereka berdua tentang jalan yang harus dilalui dalam mengarungi bahtera kehidupan yakni, Asa saor hamuna parbanua tonga tu hami parbanua ginjamg, ingkon marisi pelean tanganmu. Ingkon ias do pelean i bahenon mu. Na ma melehon i pe ingkon ias jala malim. (Agar terjadi hubungan yang akrab antara kalian yang berada di bumi dengan kami yang berada di Banua Ginjang, hendaklah dilakukan pemberian sesaji dalam setiap upacara ritual, dan yang mempersembahkan persembahan sesaji itu harus bersih dan suci). Setelah Mulajadi Nabolon menyampaikan pesannya yang harus diamalkan oleh Raja Ihat Manisia dan Boru Ihat Manisia serta seluruh keturunannya kelak, Mulajadi Nabolon bersama Debata Na Tolu kembali ke Banua Ginjang. Mereka diantar oleh Siraja Enda-Enda dan Siboru Deakparujar. Setelah mengantar para Debata, Siraja Enda-Enda memilih berdiam di matahari. Sementara itu, Siboru Deakparujar tinggal di bulan. Raja Ihat Manisia dan Boru Ihat Manisia melanjutkan kehidupannya di Sianjur Mula-mula. Demikianlah kisah penciptaan manusia dalam mitologi budaya Batak Toba.Â
Kritik Teks: Konsep Allah Dalam budaya Batak Toba
Konsep Allah disebutkan dengan nama Mulajadi Nabolon. Secara etomologis, nama Mulajadi Nabolon terdiri dari tiga suku kata, yakni Mula artinya awal, Jadi artinya pencipta, Nabolon artinya sang agung. Mulajadi Nabolon berarti awal penciptaan yang agung atau dewa tertinggi yang menjadikan segala yang ada baik manusia maupun dunia. Pengertian kata "menjadikan" dapat dipahami secara rinci dalam empat kata yakni manjadihon (menjadikan), manompa (menciptakan), manopa (menempa) dan mambahen (membuat). Ditegaskan bahwa manopa dan mambahen dapat dikenakan kepada tindakan Allah dan manusia. Sementara manjadihon dan manompa hanya dapat dikenakan kepada tindakan Mulajadi Nabolon yang disebut dengan creatio. Daya mencipta Mulajadi Nabolon ini boleh mengandaikan penciptaan dari ketiadaan (creatio ex nihilo), namun tidak secara eksplisit melainkan secara implisit. Hal ini tampak dalam ungkapan, "Boi do bahenonna adong na so adong hian, holan marhite sian hatana." (Ia dapat mengadakan yang tidak ada sebelumnya, hanya mengandalkan kata).Â
Dengan demikian, Mulajadi Nabolon merupakan Allah pencipta segala sesuatu, termasuk para dewa sendiri yang berdiam di puncak kayangan dan kepadanya dikenakan sifat immortalitas dan kemahakuasaan. Kitab Kejadian melukiskan beragam konsep Allah sesuai dengan dua tradisi yakni tradisi Priester dan tradisi Yahwis tentang kisah penciptaan. Orang Yahudi memberi konsep Allah dengan nama Elohim (P) dan YHWH (Y) yang selalu diucapkan dengan Adonay. Katekismus Gereja Katolik menjelaskan bahwa Allah dalam mencipta segala sesuatu tidak membutuhkan sesuatu yang sudah ada lebih dahulu dan tidak membutuhkan bantuan apapun. Allah mencipta dengan bebas dari 'ketidakadaan'(creatio ex nihilo). Karya penciptaan ini diungkapkan dengan kata Ibrani bara yang hanya dipakai sehubungan dengan apa yang dikerjakan Allah untuk membedakan karya Allah dengan karya "penciptaan" manusia. Dengan demikian, konsep Allah dalam budaya Batak Toba dan konsep Allah dalam kitab kejadian memiliki kemiripan dalam hal mencipta dari ketiadaan.Â
Konsep Dosa Dalam Mitologi Budaya Batak TobaÂ
Konsep tentang dosa tidak tampak di dalamnya. Manusia dilahirkan lewat seorang dewi yang bernama Siboru Deakparujar, dan bumi yang menjadi tempat tinggal manusia adalah hasil "ciptaan" dari dewi tersebut. Namun, setelah kedua insan pertama itu mempunyai keturunan hingga beberapa generasi, mereka mulai tidak menepati dan mengamalkan pesan dari Mulajadi Nabolon. Puncaknya, pada masa itu manusia mengalami krisis moral. Banyak manusia yang berbuat dosa seperti membunuh, berzinah, merampok dan perbuatan lainnya yang dikategorikan sebagai perbuatan jahat. Mulajadi Nabolon pun sangat murka dan meluapkan kemarahannya dengan mendatangkan suatu peristiwa yang dashyat yaitu menurunkan hujan yang lebat berkepanjangan disertai dengan petir sehingga terjadilah banjir besar (aek na sumar). Akibatnya, banyak manusia yang mati dan hanya sebagian kecil yang hidup.Â
Mereka yang hidup diartikan sebagai orang yang masih tetap patuh dan taat kepada aturan (patik) dan hukum, sedangkan yang lainnya dimaknakan sebaliknya. Sementara dalam kisah penciptaan, tampak dengan jelas keberdosaan manusia pertama. Adam dan Hawa memakan buah pengetahuan yang diperintahkan Allah untuk tidak dimakan buahnya. Itu adalah suatu pemberontakan manusia secara konkrit kepada Allah yang disebabkan oleh kesombongan manusia yang ingin serupa dengan Allah. Konsekuensi dari perbuatan manusia pertama adalah mereka diusir dari taman Eden. Kedua teori ini menjelaskan tentang konsep dosa dengan cerita yang berbeda. Pada teori budaya, manusia berdosa adalah keturunan dari beberapa generasi manusia pertama. Mereka mengalami hukuman dari Mulajadi Nabolon lewat bencana alam dan memusnahkan sebagai besar manusia yang tidak taat kepada Debata. Sementara pada teori penciptaan dari kita Kejadian dilukiskan tentang manusia pertama yang jatuh ke dalam dosa karena sikap sombong yang ingin seperti Allah yang mahatahu. Akhirnya, mereka diusir oleh Allah dari taman Eden.Â
Persamaan Kisah Penciptaan Teori Budaya dengan Teori Penciptaan dan Teori EvolusiÂ
Persamaan dari antara ketiga teori ini, karena ketiganya memiliki dan mengalami proses penciptaan yang terjadi. Proses itu memang berbeda, karena ketiga teori itu menunjukkan tentang penciptaan dengan cara pandang yang berbeda. Kisah penciptaan dalam teori budaya Batak Toba dilukiskan tentang manusia yang dilahirkan dari sepasang dewa/i dan kemudian menempatkan manusia itu ke tempat ciptaan pasangan itu sendiri. Dalam kisah penciptaan pada kitab Kejadian dilukiskan tentang penciptaan yang dilakukan Allah secara sistematis. Artinya, Allah mencipta pada hari pertama hingga hari selanjutnya dan puncaknya adalah penciptaan manusia. Sementara dalam teori evolusi, setiap makhluk termasuk manusia mengalami proses perkembangan dalam mempertahankan kehidupannya.Â
Perkembangan yang dialami ini menunjukkan bahwa adanya dorongan untuk suatu perubahan yang dilandasi dari dalam dan luar dirinya. Berdasarkan hal inilah, setiap makhluk dapat hidup dalam situasi dan kondisi ruang yang dihadapi. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa persamaan ketiga teori ini adalah karena ketiganya memiliki proses. Selain itu, persamaan ketiganya adalah mampu menjawab tentang asal-usul manusia sesuai dengan sudut pandang dan nilai yang ingin disampaikan oleh pengarang atau yang berkompeten. Dapat diketahui bahwa teori penciptaan menjawab dan menampilkan tentang asal-usul manusia secara teologis. Teori evolusi menjawab asal-usul manusia secara historis dan ilmiah, sedangkan teori budaya menjawab asal-usul manusia dalam bentuk mitos.
PenutupÂ
Budaya Batak Toba menjawab asal-usul manusia dengan sebuah mitos yang sampai kini masih diyakini oleh orang Batak. Kisah asal-usul manusia dalam budaya Batak Toba itu dapat dipahami dengan baik, walaupun di berbagai daerah sekitar tanah Batak memiliki beragam cerita rakyat tentang penciptaan dan asal-usul manusia. Diyakini bahwa manusia pertama dilahirkan dari perkawinan dewa dan dewi di pusuk bukhit. Mitos yang disampaikan itu menunjukkan eksistensi suku Batak yang telah lama ada sampai saat ini. Cerita rakyat tersebut, sebenarnya berisi wejangan yang berisikan pesan-pesan khusus bagi generasi penerus suku Batak. Kiranya mitos tentang penciptaan manusia ini sebagai cerminan identitas orang Batak untuk menghargai tanah leluhur suku Batak di Pusuk Bukhit sebagai awal mula lahirnya orang Batak, sehingga budaya Batak dapat lestari dan terus dipertahankan, begitu juga dengan bona pasogit (kampung halaman) orang Batak tidak mengalami kekaburan.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H