Pikiranku masih diselimuti kekalutan yang teramat dalam. Hatiku gundah gulana. Masih sangat sulit untuk melupakan bayangan Endang yang selalu hinggap di benakku. Wajahnya masih hadir di setiap waktu. Aku merasa pilu, bersalah, dengki, benci, marah, kecewa, ya semua perasaan bercampur aduk menjadi satu.Â
Aku terpuruk dalam lingkaran asmara yang baru saja mulai mekar. Entah sudah berapa banyak cewek kampus yang kutolak cintanya demi engkau Endang. Kau tak pernah tahu itu, lagi pula untuk apa kau harus tahu!
 Bahkan mbak Siti, etnis keturunan yang konglomerat itu pernah menawariku bekerja di salah satu perusahaannya demi meraih cintaku. Semua itu kutolak, kutolak mentah-mentah. Demi si gadis desa lugu yang sedang menunggu, Endang Kusuma. Kini apa dayaku, Kau lebih memilih dr. Budiman sebagai tambatan hatimu. Tempat kau peroleh kebahagiaan. Sungguh kau tak miliki rasa empati! kau benar-benar egois!
Aku harus pergi dari desa ini. Aku tak  ingin melihat panoramanya yang selalu mengingatkan kisah persahabatanku denganmu Endang. Biarlah kukubur dalam-dalam wajah desa ini. Di setiap sudut desa, di setiap jengkal tanah dan rerumputannya, bayang-bayang Endang ada di sana.
Amat sulit untuk melupakannya. Bunga-bunga jalang di kaki gunung yang selalu mengeluarkan aroma khasnya, menandakan kehadiran aku dan dia di bawah surau bambu, bercerita, canda, tawa menatap sore bersama alunan jangkrik dan riak sungai yang tak bernada.
Aku berjalan perlahan-lahan keluar teras. Aku ingin berkeliling desa, melihatnya sekali saja. Besok, aku akan meninggalnya. Ya, aku berjanji tak ingin melihatnya lagi.  Angin sore terasa menerpa tubuhku, aku berjalan pelan menyusuri jalan setapak desa menuju kaki gunung. Surau  itu masih ada. Meski termakan usia, ia masih tetap kokoh. Â
Aku menatapnya dengan mata berkaca-kaca, aku lantas masuk dan merebahkan pantatku di lantai bambunya. Tiba-tiba aku mencium aroma itu, bunga jalang yang tumbuh lebat di kaki gunung. Aku merasa benar-benar bayangan Endang berada di sampingku.
 Baunya kian menyengat diterpa angin gunung. Bayangan wajahnya terasa seolah makin nyata di depan mataku. Sekonyong-konyong dari sudut mataku, terlihat sesosok wanita yang sedang berjalan ke arah surau ini. Wanita itu berdandan bak seorang bidadari.Â
Ia mengenakan gaun pengantin berwarna putih. Wajahnya sangat paras. Makin lama ia kian dekat ke arahku dan tak terasa kini hanya beberapa jejak di depan surau ini. Mentari sore makin  merayap di balik gunung. Warnanya memerah jingga.Â
Pantulan berkas-berkas sinarnya membias pada gaun pengantin wanita ini, menghasilkan perpaduan warna yang sungguh menarik, dikombinasikan dengan paras wajahnya yang ayu menawan.