Terpancar jelas di mataku guratan lelah wajah ayah. Ia baru saja membersihkan kelapa-kelapa muda yang akan dibawanya jual ke pantai wisata. Menyeruput segelas kopi kemudian pamit. "Ayah pergi dulu ya, sebelum maghrib pasti ayah balik,"suara khas ayah menyapa dari sela-sela batang pohon, di belakang rumah.
"Ya, hati-hati di jalan pak!"sambung ibu yang tengah membuat dadar gulung di dapur.
Dengan gerobak rakitan sendiri, ayah membawa kelapa itu ke pantai untuk dijual. Kadang laris, kadang juga ada yang dibawa pulang. Beginilah pekerjaan ayahku sehari-hari yang hanya 'tamat' kelas tiga sekolah dasar
Namun aku bangga. Pekerjaan ayah sudah mengantarku ke kelas dua Sekolah Menengah Atas. Setahun lagi aku sudah lulus SMA.
Walau penghasilannya pas-pasan, ayah tak pernah mengeluh. Apalagi kecewa. Hidup ini kalau sudah susah janganlah kita berpikir yang muluk-muluk, jangan pernah mengeluh, jangan pernah menyesal dengan apa yang kita hadapi. Kita harus jalani hidup ini tanpa beban. Itulah teori dan doktrin yang diajarkan ayah padaku. Berbeda dengan apa yang diajarkan guru ekonomi di sekolah bahwa kita harus bermimpi untuk meraih cita-cita dan kehidupan yang lebih baik. Tapi itulah ayahku. Jebolan sekolah dasar dengan prinsip ekonomi yang tak pernah kubaca di dalam buku mana pun.
Sering aku baca di surat kabar atau menonton tayangan TV bahwa banyak pejabat yang ditangkap karena masalah korupsi, suap-menyuap dan lain sebagainya. Uang berlimpah, rumah mewah, mobil mewah tapi banyak pula beban hidup yang dihadapi. Kadang terbesit dibenakku kata-kata ayah,"Kita harus jalani hidup ini tanpa beban." Banyak pula orang yang menaruh harapan dan target yang tinggi, kemudian tidak tercapai, lantas mereka mengeluh dan kecewa. So, walau pendidikanku lebih tinggi dari ayah, namun prinsipnya masih kupegang hingga sekarang.
Aku berjalan menuju warung kedua. Di warung pertama tadi bu Henny mengatakan titipan dadar gulung ibuku belum laku terjual sehingga belum bisa droping. Di warung kedua ini sudah ada yang terjual sehingga aku titip dagangan ibu disini. "Terima kasih bu, aku pulang dulu ya," aku pamit pada bu Ani, si empunya warung. Aku melewati jalan batas kampung menuju rumah.
Sekonyong-konyong aku merasa dunia berputar, kepalaku pusing, pohon-pohon seperti bergerak maju-mundur. Tubuhku seperti digoyang-goyang. Aku jatuh, tergeletak di tanah. Tolong!...Tolong!...teriakan terdengar di mana-mana. Gempa!...Gempa!...Gempa!... suara terdengar mengalun di setiap rumah penduduk. Suara tangisan berhamburan di jalan, di sawah, di rumah dan dimana saja. Aku baru sadar kalau yang kuhadapi tadi adalah gempa. Dengan sekuat tenaga aku berlari menuju rumah.
Ibu!...Ibu!...aku teriak sekuat-kuatnya ketika melihat dapur kami telah ambruk setara dengan tanah. Aku masuk melalui ruang tamu. Ibu tidak ada di kamarnya. Di kamarku juga tidak ada. Pasti ibu di dapur. Aku memecahkan atap dapur supaya bisa lolos ke dalam dapur yang telah rata di tanah. Bu!...Ibu ! .... Oh! Ibu tertimpa rangka atap dapur. Oh.. ibu!... ibu tak bisa bergerak. Tak bisa bersuara. Tubuhnya kaku dan pingsan. Rangka dapur ini lumayan berat, mustahil jika aku mengangkatnya seorang diri. Aku beranjak mencari pertolongan. Semua orang sibuk menyelamatkan diri dan anggota keluarganya. Kepada siapa harus kuminta bantuan. kepada pihak berwajib? kepada SAR?
Lalu di mana ayahku? Aku berlari kalang kabut menuju pantai wisata. Dari kejauhan terlihat orang-orang berkejaran mencari tanah kering. Gelombang zunami mengejar dan melahap apa saja yang berada di pesisir pantai. Terpampang jelas di bola mataku puluhan atau bahkan ratusan orang yang diseret gelombang untuk di bawa ke laut. "Oh ayah...!"aku makin panik. Aku menyisir sepanjang pantai mencari ayah. Sudah dua kali bolak-balik, ayah tidak ada. Gerobaknya juga tiada. Hatiku seperti diiris-iris. Langkahku yang kokoh kini gemetar layu. Tubuhku lesu. Ohhh ibu...! Oh, ayah....! Tubuhku ambruk ke tanah. Aku tak mampu melangkah lagi. Tangan dan tubuhku gemetar. Pikiranku hampa. Tiba-tiba aku tak bisa melihat dunia.