Mohon tunggu...
yohanes januadi
yohanes januadi Mohon Tunggu... -

Yohanes januadi, lahir 9 januari 1990 di rembang jawa tengah, sekarang sedang mengenyam pendidikan d fakultas ilmu sosial dan politik atmajaya yogyakarta, selain aktif d bidang film juga menggeluti bidang jurnalistik dengan turut dalam pers kampus, TERAS pers.. Salah satu tulisannya menyangkut sisi lain sujud kendang sutrisno... Harapannya mendapat masukan dalam kecintaannya di bidang jurnalistik

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Bung, Komik Itu Milik Semua!

17 Maret 2011   01:46 Diperbarui: 26 Juni 2015   07:43 389
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pada suatu pameran terpampang beberapa komik yang asing di mata saya. Mata saya kemudian tertuju padabeberapa buku yang berjudul INSTING INSTAN, KUMENGOMIK, SUPERKONTIL dan beberapa judul lain yang belum pernah saya temui di toko buku manapun sebelumnya. Setelah saya baca beberapa halaman saya tertarik karena komik ini justru menceritakan realitas sehari-hari, dan tentu saja saya terkekeh karena cerita itu seakan sangat dekat dengan kehidupan kita.

Ya, beberapa komik tersebut adalah buah karya dari teman-teman Mulyakarya, sebuah komunitas komik indie yang mempunyai slogan “komik, seni dan propaganda”. Untuk sebuah komunitas mereka terbilang cukup lama menghiasi dunia komik indie. Komunitas ini lahir pada tahun 2007 lalu oleh inisiatif beberapa orang yang memang ingin menampung karya dari perupa komik untuk dipublikasikan kepada orang banyak. Tentu saja dengan tujuan untuk melanggengkan komik indie sekaligus berperan untuk pengarsipan karya mereka. Saya merasa beruntung bisa mampir ke studio mereka beberapa waktu lalu untuk melihat bagaimana proses lahirnya karya inspiratif ini, dan sudah bisa saya tebak disana suasana akrab menjadi sambutan yang hangat bagi saya.

Pagi itu, di sebuh rumah sederhana di daerah Timuran, Yogyakarta, saya disambut dengan akrab oleh seorang pria gondrong dan bertubuh kurus yang memang sudah saya kenal beberapa waktu lalu dalam workshop komik yang pernah saya ikuti. Dia adalah Yudha Sandy, seorang alumni Institut Seni Indonesia (ISI), merupakan salah satu pendiri Mulyakarya. Dan tanpa panjang lebar saya tertarik untuk bertanya tentang Mulyakarya dan latar belakangnya.

Mulyakarya sebenarnya adalah nama iseng yang diberikan oleh mereka untuk menamai komunitas ini. Saat ditanya apa arti nama tersebut Sandy menjawab itu merupakan nama pasangan pemilik kontrakan yang pernah komunitas ini tempati, dan tidak berarti apa-apa hanya mereka sepakat karena enak untuk didengar. Mulyakarya pada awal tahun 2007 berdiri hanya beranggotakan dua orang, Sandy sendiri, dan Danang (Danang Catur). Pada awal munculnya mereka hanya membuat karya pribadi serta kliping dari karya pribadi sebelumnya dan iseng-iseng dipublikasikan kepada teman-temannya. “Kami baru benar-benar aktif pameran dan lain-lain, awal 2008,” ujar Sandy menambahkan.

Tujuan dibentuknya Mulyakarya adalah untuk memfasilitasi Sandy dan teman-temannya yang gemar membuat komik dan didalam komunitas ini benar-benar tidak berorientasi pada keuntungan kalaupun ada pemasukan akan dikembalikan pada pemilik karya dan kelangsungan komunitas ini. Pada intinya Mulyakarya hanya membantu mendata dan mempromosikan komik-komik tersebut sekaligus membantu memanajemen komik indie agar bisa dinikmati masyarakat. Maka seringkali media publikasinyapun tidak semewah komik yang lainnya, dengan bermodalkan percetakan murah atau hanya sekedar fotokopian mereka berani bersaing di dunia komik, karena menurut mereka sebuah karya tidak harus terhalang oleh biaya yang penting kreatifitas dapat terus berkembang. “Sebenernya bisa saja teman-teman itu survive sendiri, tanpa perlu bergabung (dalam Mulyakarya)”. kata Sandy, menerangkan. Untuk anggota, Mulyakarya mempunyai sepuluh anggota antara lain Nurify, Iwank, Moki, Sulung, Danang Catur, Janu Satmoko, Ign Ade, Yudha Sandy, Abrams Gobrams B., dan Fida Irawanto. Menariknya mereka punya kekhasan sendiri dalam memvisualisasikan karyanya masing-masing.

Media Alternatif

Mulyakarya sendiri sebenernya bukan komunitas. Lebih tepat kalau disebut paguyuban dan media baca alternatif,” ujar Sandy. Mulyakarya tidak ingin menyangingi komik yang sudah beredar di pasaran, karena memang komik Mulyakarya merupakan media ekspresi dari masing-masing dari anggota komunitas ini. Bagaimanapun anggota Mulyakarya yakin bahwa mereka mempunyai cara tersendiri dan kekhasan tersendiri untuk berekspresi melalui komik. Sandy juga berflashback tentang semangat yang mencoba dibawa Mulyakarya, awalnya mereka hanya membuat katalog komik produksi anggota-anggotanya, dengan tujuan mempromosikan komik-komik tersebut. Seiring membesarnya kelompok ini, saat ini Mulyakarya juga bergerak dalam bidang studio annimasi dan pengadaan pameran. Semangat Mulyakarya tetap sama yaitu untuk menampung karya dan menjadi media alternatif di tengah gempuran budaya komik luar negeri.

Kami sering mengadakan pameran karya, baik di Jogja maupun Jakarta. Khusus di Jogja, sejauh ini masyarakat cukup welcome kok,” ujarnya. Menurut Sandy, dunia komik lokal saat ini masih terlalu dikuasai kelompok tertentu saja. Hanya yang mampu muncul ke permukaan yang mau dilihat oleh orang-orang, padahal para pengomik lokal juga banyak jumlahnya, dan mereka juga memiliki karya yang bagus serta juga dapat bersaing. Komunitas ini mau menunjukkan bahwa pengomik muda juga punya semangat untuk berkarya.

Walaupun hanya sebuah media alternatif namun Mulyakarya sangat selektif terhadap karya para anggotannya. Mereka sadar bahwa karyanya juga akan dinikmati oleh orang banyak maka secara tidak sadar para pengomik juga menerapkan sensor pada karyanya masing-masing. “Sejauh ini, anak-anak belum pernah mendapat masalah karena karya nya. Kami memang sebisa mungkin menyeleksi karya yang akan tampil. Yah, tapi pada dasarnya anak-anak memang tidak suka menyinggung masalah SARA dan yang sensitif lainnya,” ujar Sandy.

Mulyakarya seolah menerapkan sistem self-censorship terhadap karya mereka, demi menghindari permasalahan dengan pihak lain. “Barangkali yang paling provokatif ketika salah satu teman membuat komik yang temanya ganyang Malaysia. Selain itu, biasanya kritik sosial biasa,” tambahnya. Untuk soal tema, komik yang biasa diangkat adalah tema yang memang dekat dengan kehidupan para pembuatnya. Teman-teman Mulyakarya, tidak hanya sekadar ikut tren, apa yang sedang hangat di masyarakat. Masalah sosial yang dikritik biasanya dialami sendiri oleh pambuat komik, yang membuat karya-karya tersebut terasa lebih menjiwai. Harapan mereka dengan mengambil tema yang dekat dengan masyarakat komik lokal bisa diterima dan dipahami sebagai hasil karya oleh semua orang dan sekaligus menyuarakan kritik maupun sindiran terhadap situasi yang ada melalui media yang menyenangkan.

Mandiri

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun