Tragedi Kanjuruhan pasca laga Arema FC vs Persebaya Surabaya masih terus dibicarakan, mengingat kejadian ini benar-benar mengguncang seluruh dunia.
Menyaksikan pertandingan sepak bola yang seharusnya adalah hiburan berubah menjadi kuburan massal karena banyaknya nyawa yang terbuang sia-sia.
Jika sudah seperti ini, maka tidak akan mengherankan jika banyak pihak, terlebih mereka yang awam akan sepak bola menilai jika menonton pertandingan bola langsung adalah haram hukumnya, karena yang menjadi taruhannya adalah nyawa.
Siapa yang seharusnya disalahkan dalam Tragedi Kanjuruhan ini? Jika bersikap netral, mungkin jawabannya adalah tidak. Karena namanya menonton pertandingan sepak bola yang mempertemukan dua tim besar apalagi bertajuk Derby Jatim, pasti ada yang harus diribut atau dipermasalahkan.
Namun, jika melihat dalam Tragedi Kanjuruhan yang terjadi pada Sabtu, 1 Oktober 2022 kemarin, maka saya pribadi lebih menyoroti bagaimana kinerja dari pihak panitia pelaksana.
Sebelum pertandingan digelar, saya yang seorang mantan jurnalis yang bekerja di media online olahraga pasti sudah paham betul, jika pertandingan antara Arema FC vs Persebaya Surabaya ini punya potensi besar terjadi kerusuhan.
Terlepas dari tidak adanya Bonek (fans Persebaya), pendukung Arema FC sendiri pasti bisa berulah, entah itu menyerang pemain Persebaya, maupun pemain Arema.
Jika sudah seperti ini, maka lebih baik pertandingan digelar dengan jumlah penonton yang dibatasi atau kalaupun mau penonton penuh, maka pertandingan digelar pada siang atau sore hari, dan pihak keamanan pun harus diturunkan dua hingga tiga kali lipat dari biasanya.
Bahkan, saya sempat membaca berita ada imbauan dari pihak kepolisian agar jam pertandingan dimajukan dari yang semestinya pukul 20:00 WIB menjadi 15:00 WIB dengan alasan keamanan dan pengendalian supporter lebih mudah terkendali.
Pihak kepolisian bahkan sempat tak lagi mengimbau, melainkan meminta secara langsung kepada panitia pelaksana dan PT. LIB agar pertandingan benar-benar dimundurkan melalui surat resmi.