Lebih baik punya karya kurang menarik daripada bagus tapi mengambil punya orang lain.
Pernyataan itu akan selalu ku ingat dan aku jalankan sampai akhir hayatku. Namaku adalah John, seorang mahasiswa tingkat akhir yang sedang magang di salah satu media online hiburan di Indonesia.
Pekerjaanku di tempat magang ini adalah menulis artikel sebanyak mungkin dan mencari informasi hiburan.
Masalah dinaikkan atau tidaknya tulisanku itu urusan nanti, yang penting aku menjalankan tugasku dengan baik dan tidak mencuri karya orang lain.
Dan yang lebih penting adalah bagaimana caranya agar aku baik di mata seluruh jajaran redaksi agar aku bisa mendapatkan nilai yang tinggi.
BACA JUGA: Ketika Baper Hancurkan Magis: Maaf, Tolong, dan Terima Kasih
BACA JUGA:Â Kombinasi Starting XI Semifinalis Liga Champions 2021: Dream Team?
"John, tolong buat beberapa puisi menarik yang bisa menyentuh hati pembaca kita. Buatlah tiga puisi agar bisa kita pilih nanti," tegas Pak Ridwan, selaku pimpinan redaksi.
"Aku tahu tugas untuk membuat puisi biasanya dibuat oleh Eddy, tapi belakangan puisi kita mendapat kritik pedas dari pembaca."
"Aku juga heran kenapa kualitas tulisan Eddy menurun, biasanya dia sangat bagus dan beberapa kali pernah mendapat penghargaan dari sejumlah organisasi," lanjut Pak Ridwan.
"Baik pak, aku akan berikan yang terbaik walaupun kualitasku sangat jauh di bawah dari Pak Eddy yang sudah sangat senior," jawabku ke pak Ridwan.
Batas waktu penulisan diberikan ke Pak Ridwan kepadaku selama tiga hari dan ternyata ada satu tulisan puisiku yang mendapat kesan di mata sang pimpinan redaksi.
Judul puisi itu tentang Ibu yang mengisahkan seorang anak merindukan ibunya yang sudah lama meninggal karena sakit.
Namun, agar tidak ada kesalahan kata atau agar ada bentuk tatanan kata yang lebih menarik, tulisanku diserahkan ke Pak Eddy yang jauh lebih profesional dan senior untuk dirapikan atau diedit.
"Tulisanmu sangat bagus, aku saja yang sudah senior dan mendapat banyak penghargaan tersentuh membacanya," puji Pak Eddy terkait tulisanku.
BACA JUGA: Cerpen: Tak Mudah Katakan, Jangan Lihat dari Fisik
BACA JUGA:Â Servis Septic Tank, Pekerjaan Kotor yang Mulia
"Nanti tulisanmu ini akan kuberikan ke bagian editor lainnya, si Anwar agar bisa langsung dinaikkan. Aku tidak bisa menaikkan tulisan mu langsung karena itu adalah hak editor, selamat ya John!" tutup Pak Eddy.
Mendapat pujian dari senior yang sudah sangat berpengalaman dan terkenal di dunia puisi Tanah Air tentu sangat membanggakan hati bagiku.
Tak lama kemudian, Pak Eddy bertemu dengan Anwar yang juga namanya sedang naik daun, namun dalam penulisan cerpen di media ini.
Aku tak bisa mendengar pembicaraan mereka dan juga pastinya tak berani untuk ikut nimbrung. Hanya bisa berharap tulisanku segera dinaikkan dan bisa membantu kanal puisi di media ini naik lagi.
Selang dua hari, aku melihat puisiku banyak yang baca dan ternyata viral dan menjadi tulisan terpopuler di media tempat aku magang.
Pastinya saya sangat merasa bangga, jadi kuputuskan untuk melihat lagi tulisanku apakah banyak yang diedit atau tidak.
Nyatanya, tulisanku tidak ada sama sekali yang diganti hingga membuatku sangat merasa senang.
Namun saat melihat bagian akhir, yaitu nama karya yang tertera bukanlah namaku. Lebih menyakitkan dan menyebalkan lagi, nama itu langsung mendapat penghargaan dan diapresiasi oleh para pembaca.
Jelas hal ini membuat ku bertanya-tanya. Padahal, meski aku hanya anak magang tapi setidaknya puisi itu adalah karyaku, itu adalah tulisanku, mengapa bukan aku yang mendapat penghargaan?
BACA JUGA: Termasuk Persija Vs Persib, Ini Laga Sepak Bola Terpanas di Dunia
BACA JUGA: Asal Muasal Lahirnya Nama Indonesia (YMK 4)
Keesokan harinya, aku memutuskan untuk menemui orang yang namanya tertulis dalam karya puisiku itu.
"Pak, apa boleh tahu mengapa bukan nama aku yang ditulis dalam puisi itu? Kenapa nama Anda? Itu adalah karyaku, tulisanku, dan kisah nyata dalam hidupku pak, bisa tolong jelaskan," tanyaku sambil menahan emosi.
"Katakan padaku, kalau aku menulis namamu, siapa yang peduli? Siapa yang kenal kamu? Kamu di sini hanya anak magang, kalo tulis namamu belum tentu puisinya juga viral seperti sekarang!" jawab orang yang ingin aku tendang ini.
"Sudahlah, nanti tulisanmu ini juga masuk dalam penilaian kami. Itu kan yang terpenting buatmu? Namaku bakal jauh lebih membantu di media ini daripada namamu, sudah kerjakan tugasmu yang lain saja! Jawab orang itu sambil pergi.
"Pak, bagaimanapun juga itu adalah tulisanku. Aku tidak peduli nantinya bakal viral atau bakal popular atau tidak, aku hanya ingin namaku tertera disana. Mungkin bisa ditulis juga nama Anda sebagai editornya," jawabku lagi.
"Cukup! Jangan sampai aku mencoret namamu agar kamu tidak bisa magang di sini lagi," ujarnya.
"Ada apa nih pagi-pagi kok udah ribut-ribut? Kamu kenapa John? Bukannya senang tulisanmu viral kok malah mengeluh?" tanya Pak Ridwan kepadaku.
"Maaf pak, mungkin bapak hanya melihat judulnya saja yang viral di media ini, tapi apakah bapak sudah melihat nama dari penulisnya?" tanyaku.
"Coba dijelaskan dengan baik dan alasan kenapa kamu setega itu ke anak ini, wahai temanku Anwar?" tanya Pak Eddy dengan tegas dan tatapan tajam yang langsung membuka tulisan puisiku ketika mendengar keluhanku.
BACA JUGA: Cerpen: Pura-pura Bodoh demi Terlihat Pintar
BACA JUGA: Tips Merawat dan Memelihara Landak Mini yang Baik
"Saya hanya bisa bilang, kalo ditulis nama dia, belum tentu puisi ini bakal populer dan banyak yang dibaca. Tadinya, saya mau menempatkan namamu, Pak Eddy yang sudah terkenal," jawab Anwar.
"Tapi nama Anda sedang menjadi sorotan, jadi biar ada kelihatan proses, saya taruh saja nama saya yang juga lagi meningkat di media ini, toh demi media ini juga," tutup Anwar.
"Sekarang juga! Kamu buat artikel klarifikasi dan permohonan maaf, lalu kamu edit ulang dan tempatkan nama John dalam puisi itu," seru Pak Ridwan.
"Ya! Aku juga sepakat, biar dia hanya anak magang, bagaimanapun juga itu adalah tulisan dia dan hasil karyanya, jangan kau ambil hak orang lain," tambah Pak Eddy.
"Mohon maaf pak, dari awal aku menulis memang tidak akan menyangka dan tidak memasang target agar tulisanku ini bisa populer. Tapi tolong, jangan ambil tulisanku!" jawabku lagi.
Akhirnya, Anwar meminta maaf kepadaku dan juga kepada Pak Eddy serta Pak Ridwan.
Ia pun sudah mengganti nama karya puisi itu dengan namaku dan dia juga sudah membuat klarifikasi permohonan maaf.
BACA JUGA: 15 Game Playstation 1 yang Bikin Kangen Part 1
BACA JUGA: Nyatanya, Jadi Tukang Parkir Tak Semudah yang Dibayangkan
Moral: Dalam menjalani hidup ini, termasuk dunia kerja, persaingan bakal selalu ada.Â
Alangkah baiknya kita hadapi persaingan itu dengan cara yang sehat dan tidak mengambil karya orang lain, sekalipun orang itu adalah bawahan kita.
Dan yang terpenting, kita harus berani bersikap dewasa dan mengaku jika dalam persaingan itu kita kalah. Ingatlah, tua itu pasti, tetapi dewasa itu adalah pilihan.
Semoga cerpen yang saya buat ini bermanfaat :D
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H