Persoalan covid-19 yang terjadi selama kurang lebih dua tahun belakangan ini merupakan salah satu topik hangat untuk diperbincangkan. Bagaimana tidak? Kehadirannya sebagai sebuah pandemi banyak memberi perubahan yang significant bagi kehidupan manusia. Hampir di setiap lini kehidupan manusia turut dipengaruhi olehnya, tidak terkecuali media sosial.
Jauh sebelum pandemi covid-19 melanda dunia, dunia sudah terlebih dahulu mengenal media sosial. Pada tahun 1997 dunia diperkenalkan dengan sebuah situs jejaring sosial pertama yakni, sixdegrees.com. Situs ini memiliki aplikasi untuk membuat profil, menambah teman, dan mengirim pesan. Lalu pada tahun 1999 dan 2000, muncul situs sosial lunarstrom, live jurnal dan cyword yang berfungsi untuk memperluas informasi ke satu arah. Pada tahun 2001, Ryze.com muncul, perannya untuk memperluas jaringan bisnis. Pada tahun 2002 juga hadir sebuah situs yang dipergunakan sebagai "panggung pencarian jodoh", yakni friendster. Seiring berjalannya waktu situs ini kemudian mendapat perhatian lebih dari kaum muda, sehingga mereka pun menggunakan situs ini untuk membangun relasi yang lebih luas. Hingga pada tahun 2009, Facebook dan Twitter hadir di tengah masyarakat sebagai sarana untuk berkomunikasi dan mencari informasi yang dibutuhkan. Media-media sosial tersebut kemudian bermetamorfosis menjadi platform yang menyediakan sarana bagi komunitas pembelajaran yang kuat, meningkatkan keterampilan intelektual dan praktis untuk semua jenis bidang profesional dan yang terkait dengan pekerjaan, menawarkan peluang membangun kelompok dan komunitas untuk dukungan dan penyelesaian masalah bagi jutaan bisnis teknis dan khusus. Juga diantaranya menyediakan sarana bagi semua orang untuk membangun segala jenis bisnis online (daring) mereka.
Dari data yang ditampilkan menunjukkan bahwa media sosial selalu mengalami perkembangan yang sangat signifikan. Tidak hanya itu, peminat media sosial pun turut berjalan beriringan bersama dengan perkembangannya. Bahkan dapat dikatakan bahwa media sosial sudah menjadi suatu kebutuhan mendasar bagi masyarakat pada umumnya. Hal ini tidak dapat disangkal, sebab kemajuan teknologi zaman ini memberikan banyak kemudahan bagi manusia dalam merealisasikan apa yang menjadi kebutuhan hidupnya. Ditambah lagi dengan hadirnya pandemi covid-19 yang menghantui bumi, membuat eksistensi dari media sosial semakin "diagung-agungkan" oleh para penghuni planet bumi ini.
Maka dari fakta ini muncul satu persoalan besar yang hendaknya diperhatikan, jika ditinjau dari sudut manusia, ialah apakah kehadiran media sosial yang super canggih yang banyak memberi tawaran kemudahan bagi para penggunanya dapat membuat manusia menjadi sungguh-sungguh manusia? Jika ia, lantas muncul suatu pertanyaan baru: apa arti "menjadi manusia yang sungguh-sungguh manusia" dan bagaimana cara menjadi manusia yang sungguh-sungguh manusia?
Eksistensi adalah Aku
Pandangan tentang eksistensi aku, bukanlah suatu hal yang simple untuk dipikirkan. Seperti halnya memandang tentang asal usul seseorang, hobi yang ia geluti, atau nama lengkap, maupun tentang apa pekerjaannya. Mendalami eksistensi aku, berarti usaha untuk mencari tahu sesuatu apa yang benar-benar hanya dimiliki oleh "Aku" manusia ini. Eksistensi Aku berarti berkaitan dengan keuniversalitasan manusia yang tidak dimiliki oleh makhluk lain selain manusia itu sendiri.
Dalam buku Relasionalitas Filsafat Fondasi Interpretasi : Aku, Teks, Liyan, Fenomen yang digubah oleh Armada Riyanto, Sokrates berkata manusia adalah jiwanya. Aristoteles mendeklarasikan, manusia adalah makhluk ber-akalbudi. Renatus Cartesius merevolusi gagasan baru pada zamannya dengan memproklamasikan, manusia adalah cogito (saya berpikir) atau res cogitans, yang memaksudkan kesadaran rasional subjektif-nya. Dan Armada Riyanto sendiri berpendapat bahwa manusia pertama-tama adalah "Aku"-nya. Aku merepresentasi secara menyeluruh manusia.
Dalam perpesktif para filsuf di atas. Saya mengambil kesimpulan bahwa eksistensi manusia itu dilihat dari sesuatu yang tidak terlihat secara kasat mata, namun dampaknya cukup terasa. Ketika orang sadar akan jiwanya serentak pula ia sadar akan kehadiran akal budinya maka ia akan menggunakan akal budinya untuk berpikir. Saya berpikir maka saya ada, artinya bahwa ketika aku mampu menggunakan akal budi itu untuk berpikir, maka tindakan dan perlakuanku yang keluar dari pikiran ku itu pun akan menampilkan eksistensi diriku yang semestinya. Inilah eksistensi "Aku".
Kebenaran sebagai landasan dalam Bermedia Sosial
Dalam upaya menyoal media sosial, para penonton akan disuguhkan dengan berbagai macam peristiwa yang unik dan menarik. "Pertunjukan-pertunjukan yang ditampilkan sungguh menyajikan kejutan yang mempesona, pemandangan yang menggetarkan dan juga pengalaman yang bisa membuat orang merinding dan takut. Ya, mulai dari peristiwa yang bernuansa "ramah" sampai pada peristiwa yang berujung "amarah". Di sana orang bisa saling bela, namun di saat yang sama orang juga bisa saling "belah". Semua ada di media sosial.
Semua paradoksitas itu timbul bukan karena ulah dari hadirnya sebuah media sosial. Lebih dari itu, padadoksitas ini timbul pertama-tama karena ulah si pengguna media sosial itu sendiri. Media sosial hanyalah alat. Ia tidak dapat disalahkan. Alat akan menunjukkan nilai gunanya yang positif hanya apabila si pengguna tahu bagaimana menggunakan cara yang benar. Kebenaran dalam menggunakan media sosial perlu ditekankan. Sebab cara yang benar akan menghantar si pengguna pada hasil yang benar pula. Sehingga bukan lagi aktivitas ekspoloitasi yang ditonjolkan dalam bermedia sosial, tetapi lebih luhur dari itu adalah aktivitas memberdayakan manusia.