Mohon tunggu...
Yohanes FDR Lagadoni
Yohanes FDR Lagadoni Mohon Tunggu... Mahasiswa - AM✒️ - Yohanes Filioenis de Res Lagadoni (Jo Filio), lahir di Samarinda, 30 Juli 1999. Giat menulis Puisi, opini dan artikel di beberapa media. Sekarang sedang menjalani masa pendidikan S1 Filsafat di salah satu Sekolah Tinggi yang ada di Jawa Timur.

Mengejar Langit Yang Tak Kunjung Amin

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Pemahaman tentang "Aku" sebagai Sarana Menjadi Pengguna Yang Nice Dan Anti-Noise Dalam Bermedia Sosial

19 Maret 2022   21:15 Diperbarui: 19 Maret 2022   22:17 304
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Persoalan covid-19 yang terjadi selama kurang lebih dua tahun belakangan ini merupakan salah satu topik hangat untuk diperbincangkan. Bagaimana tidak? Kehadirannya sebagai sebuah pandemi banyak memberi perubahan yang significant bagi kehidupan manusia. Hampir di setiap lini kehidupan manusia turut dipengaruhi olehnya, tidak terkecuali media sosial. 

Jauh sebelum pandemi covid-19 melanda dunia, dunia sudah terlebih dahulu mengenal media sosial. Pada tahun 1997 dunia diperkenalkan dengan sebuah situs jejaring sosial pertama yakni, sixdegrees.com. Situs ini memiliki aplikasi untuk membuat profil, menambah teman, dan mengirim pesan. Lalu pada tahun 1999 dan 2000, muncul situs sosial lunarstrom, live jurnal dan cyword yang berfungsi untuk memperluas informasi ke satu arah. Pada tahun 2001, Ryze.com muncul, perannya untuk memperluas jaringan bisnis. Pada tahun 2002 juga hadir sebuah situs yang dipergunakan sebagai "panggung pencarian jodoh", yakni friendster. Seiring berjalannya waktu situs ini kemudian mendapat perhatian lebih dari kaum muda, sehingga mereka pun menggunakan situs ini untuk membangun relasi yang lebih luas. Hingga pada tahun 2009, Facebook dan Twitter hadir di tengah masyarakat sebagai sarana untuk berkomunikasi dan mencari informasi yang dibutuhkan. Media-media sosial tersebut kemudian bermetamorfosis menjadi platform yang menyediakan sarana bagi komunitas pembelajaran yang kuat, meningkatkan keterampilan intelektual dan praktis untuk semua jenis bidang profesional dan yang terkait dengan pekerjaan, menawarkan peluang membangun kelompok dan komunitas untuk dukungan dan penyelesaian masalah bagi jutaan bisnis teknis dan khusus. Juga diantaranya menyediakan sarana bagi semua orang untuk membangun segala jenis bisnis online (daring) mereka.

Dari data yang ditampilkan menunjukkan bahwa media sosial selalu mengalami perkembangan yang sangat signifikan. Tidak hanya itu, peminat media sosial pun turut berjalan beriringan bersama dengan perkembangannya. Bahkan dapat dikatakan bahwa media sosial sudah menjadi suatu kebutuhan mendasar bagi masyarakat pada umumnya. Hal ini tidak dapat disangkal, sebab kemajuan teknologi zaman ini memberikan banyak kemudahan bagi manusia dalam merealisasikan apa yang menjadi kebutuhan hidupnya. Ditambah lagi dengan hadirnya pandemi covid-19 yang menghantui bumi, membuat eksistensi dari media sosial semakin "diagung-agungkan" oleh para penghuni planet bumi ini.

Maka dari fakta ini muncul satu persoalan besar yang hendaknya diperhatikan, jika ditinjau dari sudut manusia, ialah apakah kehadiran media sosial yang super canggih yang banyak memberi tawaran kemudahan bagi para penggunanya dapat membuat manusia menjadi sungguh-sungguh manusia? Jika ia, lantas muncul suatu pertanyaan baru: apa arti "menjadi manusia yang sungguh-sungguh manusia" dan bagaimana cara menjadi manusia yang sungguh-sungguh manusia?

Eksistensi adalah Aku

Pandangan tentang eksistensi aku, bukanlah suatu hal yang simple untuk dipikirkan. Seperti halnya memandang tentang asal usul seseorang, hobi yang ia geluti, atau nama lengkap, maupun tentang apa pekerjaannya. Mendalami eksistensi aku, berarti usaha untuk mencari tahu sesuatu apa yang benar-benar hanya dimiliki oleh "Aku" manusia ini. Eksistensi Aku berarti berkaitan dengan keuniversalitasan manusia yang tidak dimiliki oleh makhluk lain selain manusia itu sendiri.

Dalam buku Relasionalitas Filsafat Fondasi Interpretasi : Aku, Teks, Liyan, Fenomen yang digubah oleh Armada Riyanto, Sokrates berkata manusia adalah jiwanya. Aristoteles mendeklarasikan, manusia adalah makhluk ber-akalbudi. Renatus Cartesius merevolusi gagasan baru pada zamannya dengan memproklamasikan, manusia adalah cogito (saya berpikir) atau res cogitans, yang memaksudkan kesadaran rasional subjektif-nya. Dan Armada Riyanto sendiri berpendapat bahwa manusia pertama-tama adalah "Aku"-nya. Aku merepresentasi secara menyeluruh manusia.

Dalam perpesktif para filsuf di atas. Saya mengambil kesimpulan bahwa eksistensi manusia itu dilihat dari sesuatu yang tidak terlihat secara kasat mata, namun dampaknya cukup terasa. Ketika orang sadar akan jiwanya serentak pula ia sadar akan kehadiran akal budinya maka ia akan menggunakan akal budinya untuk berpikir. Saya berpikir maka saya ada, artinya bahwa ketika aku mampu menggunakan akal budi itu untuk berpikir, maka tindakan dan perlakuanku yang keluar dari pikiran ku itu pun akan menampilkan eksistensi diriku yang semestinya. Inilah eksistensi "Aku".

Kebenaran sebagai landasan dalam Bermedia Sosial 

Dalam upaya menyoal media sosial, para penonton akan disuguhkan dengan berbagai macam peristiwa yang unik dan menarik. "Pertunjukan-pertunjukan yang ditampilkan sungguh menyajikan kejutan yang mempesona, pemandangan yang menggetarkan dan juga pengalaman yang bisa membuat orang merinding dan takut. Ya, mulai dari peristiwa yang bernuansa "ramah" sampai pada peristiwa yang berujung "amarah". Di sana orang bisa saling bela, namun di saat yang sama orang juga bisa saling "belah". Semua ada di media sosial.

Semua paradoksitas itu timbul bukan karena ulah dari hadirnya sebuah media sosial. Lebih dari itu, padadoksitas ini timbul pertama-tama karena ulah si pengguna media sosial itu sendiri. Media sosial hanyalah alat. Ia tidak dapat disalahkan. Alat akan menunjukkan nilai gunanya yang positif hanya apabila si pengguna tahu bagaimana menggunakan cara yang benar. Kebenaran dalam menggunakan media sosial perlu ditekankan. Sebab cara yang benar akan menghantar si pengguna pada hasil yang benar pula. Sehingga bukan lagi aktivitas ekspoloitasi yang ditonjolkan dalam bermedia sosial, tetapi lebih luhur dari itu adalah aktivitas memberdayakan manusia.

Lalu pertanyaan selanjutnya, mengapa aspek kebenaran itu penting dalam penggunaan media sosial? Saya bertolak dari tiga aspek kebenaran yang pernah diteliti oleh seorang filsuf kontemporer, Jurgen Habermas (1995), yakni: kebenaran sebagai fakta, sebagai moralitas dan sebagai autentisitas. Pertama, kebenaran sebagai fakta. Adalah benar bahwa media sosial adalah bukan media privat. Eksistensinya adalah untuk segala keperluan sosial. Dikatakan sebagai media sosial, berarti mensiratkan akan sebuah pengertian bahwa media ini adalah sarana sosial, bukan sarana privat. Seorang Filsuf perempuan abad ke-20 asal Jerman, Hannah Arendt (2012) meyakini bahwa ruang privat merujuk pada hubungan dalam rumah tangga dimana orang-orang hidup tanpa distingsi dan diperlakukan secara seragam satu sama lain. Di dalamnya memuat hubungan ketergantungan di mana satu kepala keluarga secara despotic mengatur seluruh anggota keluarga. Dalam tatanan keluarga ini, kepala rumah tangga memonopoli kekuasaan dan pemaksaan terhadap anggota keluarga. Maka adalah keliru jika para pengguna media sosial menuangkan hal-hal yang privat seperti halnya menguasai individu lain dengan pemikirannya semata. Sebab dalam ruang privat memuat unsur kehendak pribadi. Komentar-komentar eksklusif, postingan-postingan fulgar, serta berita-berita hoax yang diadakan demi kepentingan pribadi atau kelompok tertentu yang pada dasarnya masuk dalam ranah privat, tidaklah pantas ditempatkan dalam media sosial. Jika diteruskan, maka yang lahir adalah fanatisme, kebencian bahkan burnout.

Alasan kedua mengapa aspek kebenaran itu penting dalam penggunaan media sosial adalah karena media sosial memuat unsur kebebasan. Sebagai sarana public, media sosial mesti memberikan kebebasan bagi siapapun yang menggunakannya. Kebebasan yang dimaksud bukanlah kebebasan yang mengutamakan kebebasan yang satu dan mengabaikan kebebasan yang lain. Kebebasan yang dimaksud di sini adalah kebebasan yang tidak memerintah atau diperintah oleh orang lain, serta tidak menjadikan orang lain sebagai objek kebutuhan hidup. Sebagai sarana public, media sosial mesti digunakan sebagai sarana untuk menyetarakan semua pengguna tanpa terkecuali. Bukan malah sebaliknya, menjadi panggung pamer kekayaan, kecantikan, kekuasaan dan lain sebagainya. 

Yang ketiga, tentang autentisitas. Fakta menunjukan betapa mirisnya situasi yang terjadi di dalam media sosial. Dalam arena media sosial terlihat jelas ada banyak keaslian juga kepalsuan. Yang asli bisa dianggap palsu dan yang palsu bisa dianggap asli. Informasi yang diterima oleh para pengguna media sosial pun tidak lagi berdasarkan fakta yang sebenarnya.  

Kesimpulan 

Media sosial adalah sarana yang disediakan untuk kepentingan sosial/public. Informasi-informasi yang ditayangkan dalam media sosial harus bisa menjawab apa yang dibutuhkan oleh public. Tak ada lagi kenyamanan dalam bermedia sosial jika segala hal yang privat dimasukan ke dalam sarana sosial (media sosial) dan segala yang palsu ditempatkan di sana. Mencampuradukkan urusan privat dan kepalsuan ke dalam ruang public hanya akan melahirkan fanatisme, kebencian bahkan burnout baru bagi orang lain bahkan diri sendiri. Media sosial mesti dipandang sebagai suatu sarana yang digunakan secara bersama-sama. Ia bukan "milik-ku" semata. Ia digunakan oleh semua orang dari segala kalangan. Maka penting membangun kesadaran untuk mengontrol sikap sikap noise dari diri serta mau bersikap lebih nice demi kebaikkan bersama. Sebab sikap-sikap noise itulah yang menjadi biang masalah dari segala masalah yang ada di media sosial. 

Hal tersebut sangat berkaitan erat dengan apa yang pernah dikumandangkan oleh Descartes, cogito ergo sum (aku berpikir maka aku ada). Membangun kesadaran untuk mengontrol sikap-sikap noise dari diri serta mau bersikap lebih nice demi kebaikkan bersama hanya akan terwujud apabila "aku" menggunakan akal budiku. Aku berpikir maka aku ada, mengandaikan keterlibatan akal budi dalam setiap tindakan yang aku perbuat. Bahwa ketika aku terlibat di dalam media sosial, maka segala yang aku tuangkan harus sudah terlebih dahulu aku pikirkan apa pengaruh akhirnya. Inilah Eksistensi "Aku". 

Hal ini penting untuk dilakukan. Mengapa? Terbersit dalam ingatan saya akan suatu hal yang pernah diungkapkan oleh Platon bahwa pada dasarnya di dalam diri manusia memuat unsur-unsur ilahi/Logos, maka seorang manusia ketika berhadapan dengan manusia yang lain mestinya ia pun sedang berhadapan dengan dirinya sendiri dan juga yang ilahi itu. Sebab dalam diri "aku" juga memuat unsur Ilahi, dan Ilahi itu sendiri ada di dalam diri "aku" manusia. Lalu bagaimanakah sikap yang tepat bagi manusia ketika menyadari akan realita ini? 

Manusia perlu membangun sikap hormat yang baik terhadap manusia yang lain. Ia mesti menjadi sahabat bagi manusia yang lain. Sahabat berarti dia yang bersedia melakukan segala sesuatu yang berguna atau penting bagi sahabatnya. Ia tidak pernah perhitungan dengan waktu dan tenaganya. Bahkan dapat dikatakan bahwa ia bisa sampai pada "kelupaan" akan dirinya sendiri demi sahabatnya. Sahabat adalah dia yang menaruh kasih setiap waktu. Dan itulah kasih. Sesuatu yang dapat menembus ruang dan waktu, tanpa batas. Kasih bisa menembus keterbatasan media sosial. Kemajuan teknologi bukan menjadi penghalang untuk berbuat kasih. Ataupun sebaliknya sebagai alasan untuk tidak berbuat kasih. Media sosial harus dijadikan sebagai sarana kasih bagi siapapun, kapanpun dan dimana pun manusia berada. Aktif di media sosial bisa menjadi jalan untuk berbagi dan berbuat baik di masa sulit, lebih-lebih di masa pandemi covid-19 ini. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun