Mohon tunggu...
Yohanes FDR Lagadoni
Yohanes FDR Lagadoni Mohon Tunggu... Mahasiswa - AM✒️ - Yohanes Filioenis de Res Lagadoni (Jo Filio), lahir di Samarinda, 30 Juli 1999. Giat menulis Puisi, opini dan artikel di beberapa media. Sekarang sedang menjalani masa pendidikan S1 Filsafat di salah satu Sekolah Tinggi yang ada di Jawa Timur.

Mengejar Langit Yang Tak Kunjung Amin

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Pemahaman tentang "Aku" sebagai Sarana Menjadi Pengguna Yang Nice Dan Anti-Noise Dalam Bermedia Sosial

19 Maret 2022   21:15 Diperbarui: 19 Maret 2022   22:17 304
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Lalu pertanyaan selanjutnya, mengapa aspek kebenaran itu penting dalam penggunaan media sosial? Saya bertolak dari tiga aspek kebenaran yang pernah diteliti oleh seorang filsuf kontemporer, Jurgen Habermas (1995), yakni: kebenaran sebagai fakta, sebagai moralitas dan sebagai autentisitas. Pertama, kebenaran sebagai fakta. Adalah benar bahwa media sosial adalah bukan media privat. Eksistensinya adalah untuk segala keperluan sosial. Dikatakan sebagai media sosial, berarti mensiratkan akan sebuah pengertian bahwa media ini adalah sarana sosial, bukan sarana privat. Seorang Filsuf perempuan abad ke-20 asal Jerman, Hannah Arendt (2012) meyakini bahwa ruang privat merujuk pada hubungan dalam rumah tangga dimana orang-orang hidup tanpa distingsi dan diperlakukan secara seragam satu sama lain. Di dalamnya memuat hubungan ketergantungan di mana satu kepala keluarga secara despotic mengatur seluruh anggota keluarga. Dalam tatanan keluarga ini, kepala rumah tangga memonopoli kekuasaan dan pemaksaan terhadap anggota keluarga. Maka adalah keliru jika para pengguna media sosial menuangkan hal-hal yang privat seperti halnya menguasai individu lain dengan pemikirannya semata. Sebab dalam ruang privat memuat unsur kehendak pribadi. Komentar-komentar eksklusif, postingan-postingan fulgar, serta berita-berita hoax yang diadakan demi kepentingan pribadi atau kelompok tertentu yang pada dasarnya masuk dalam ranah privat, tidaklah pantas ditempatkan dalam media sosial. Jika diteruskan, maka yang lahir adalah fanatisme, kebencian bahkan burnout.

Alasan kedua mengapa aspek kebenaran itu penting dalam penggunaan media sosial adalah karena media sosial memuat unsur kebebasan. Sebagai sarana public, media sosial mesti memberikan kebebasan bagi siapapun yang menggunakannya. Kebebasan yang dimaksud bukanlah kebebasan yang mengutamakan kebebasan yang satu dan mengabaikan kebebasan yang lain. Kebebasan yang dimaksud di sini adalah kebebasan yang tidak memerintah atau diperintah oleh orang lain, serta tidak menjadikan orang lain sebagai objek kebutuhan hidup. Sebagai sarana public, media sosial mesti digunakan sebagai sarana untuk menyetarakan semua pengguna tanpa terkecuali. Bukan malah sebaliknya, menjadi panggung pamer kekayaan, kecantikan, kekuasaan dan lain sebagainya. 

Yang ketiga, tentang autentisitas. Fakta menunjukan betapa mirisnya situasi yang terjadi di dalam media sosial. Dalam arena media sosial terlihat jelas ada banyak keaslian juga kepalsuan. Yang asli bisa dianggap palsu dan yang palsu bisa dianggap asli. Informasi yang diterima oleh para pengguna media sosial pun tidak lagi berdasarkan fakta yang sebenarnya.  

Kesimpulan 

Media sosial adalah sarana yang disediakan untuk kepentingan sosial/public. Informasi-informasi yang ditayangkan dalam media sosial harus bisa menjawab apa yang dibutuhkan oleh public. Tak ada lagi kenyamanan dalam bermedia sosial jika segala hal yang privat dimasukan ke dalam sarana sosial (media sosial) dan segala yang palsu ditempatkan di sana. Mencampuradukkan urusan privat dan kepalsuan ke dalam ruang public hanya akan melahirkan fanatisme, kebencian bahkan burnout baru bagi orang lain bahkan diri sendiri. Media sosial mesti dipandang sebagai suatu sarana yang digunakan secara bersama-sama. Ia bukan "milik-ku" semata. Ia digunakan oleh semua orang dari segala kalangan. Maka penting membangun kesadaran untuk mengontrol sikap sikap noise dari diri serta mau bersikap lebih nice demi kebaikkan bersama. Sebab sikap-sikap noise itulah yang menjadi biang masalah dari segala masalah yang ada di media sosial. 

Hal tersebut sangat berkaitan erat dengan apa yang pernah dikumandangkan oleh Descartes, cogito ergo sum (aku berpikir maka aku ada). Membangun kesadaran untuk mengontrol sikap-sikap noise dari diri serta mau bersikap lebih nice demi kebaikkan bersama hanya akan terwujud apabila "aku" menggunakan akal budiku. Aku berpikir maka aku ada, mengandaikan keterlibatan akal budi dalam setiap tindakan yang aku perbuat. Bahwa ketika aku terlibat di dalam media sosial, maka segala yang aku tuangkan harus sudah terlebih dahulu aku pikirkan apa pengaruh akhirnya. Inilah Eksistensi "Aku". 

Hal ini penting untuk dilakukan. Mengapa? Terbersit dalam ingatan saya akan suatu hal yang pernah diungkapkan oleh Platon bahwa pada dasarnya di dalam diri manusia memuat unsur-unsur ilahi/Logos, maka seorang manusia ketika berhadapan dengan manusia yang lain mestinya ia pun sedang berhadapan dengan dirinya sendiri dan juga yang ilahi itu. Sebab dalam diri "aku" juga memuat unsur Ilahi, dan Ilahi itu sendiri ada di dalam diri "aku" manusia. Lalu bagaimanakah sikap yang tepat bagi manusia ketika menyadari akan realita ini? 

Manusia perlu membangun sikap hormat yang baik terhadap manusia yang lain. Ia mesti menjadi sahabat bagi manusia yang lain. Sahabat berarti dia yang bersedia melakukan segala sesuatu yang berguna atau penting bagi sahabatnya. Ia tidak pernah perhitungan dengan waktu dan tenaganya. Bahkan dapat dikatakan bahwa ia bisa sampai pada "kelupaan" akan dirinya sendiri demi sahabatnya. Sahabat adalah dia yang menaruh kasih setiap waktu. Dan itulah kasih. Sesuatu yang dapat menembus ruang dan waktu, tanpa batas. Kasih bisa menembus keterbatasan media sosial. Kemajuan teknologi bukan menjadi penghalang untuk berbuat kasih. Ataupun sebaliknya sebagai alasan untuk tidak berbuat kasih. Media sosial harus dijadikan sebagai sarana kasih bagi siapapun, kapanpun dan dimana pun manusia berada. Aktif di media sosial bisa menjadi jalan untuk berbagi dan berbuat baik di masa sulit, lebih-lebih di masa pandemi covid-19 ini. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun