Mohon tunggu...
Yohanes Eki
Yohanes Eki Mohon Tunggu... Ilmuwan - Statistisi di Badan Pusat Statistik

Penulis angin-anginan

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Nawacita dan Kesenjangan Antar Daerah

30 November 2019   12:00 Diperbarui: 30 November 2019   12:11 171
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: Kementerian Komunikasi dan Informatika

Rencana pemindahan ibukota dari Jakarta menuju Kalimantan Timur banyak menyita perhatian masyarakat beberapa waktu yang lalu. Menurut Kepala Bappenas saat itu, Bambang Brodjonegoro, salah satu alasan kuat mengapa ibukota harus dipindah adalah untuk mengurangi kesenjangan antardaerah. (Kompas, 10 Juli 2019) Namun, bila melihat ke belakang, sebenarnya permasalahan kesenjangan antardaerah sudah menjadi lagu lama yang dinyanyikan sejak jaman dulu namun belum kunjung tuntas hingga saat ini.

Kesenjangan antardaerah sebenarnya merupakan hal yang alamiah dan terjadi di setiap negara. Gregory Mankiw, seorang ahli ekonomi makro asal Amerika Serikat dalam artikelnya yang berjudul "Defending the One Percent" berpendapat bahwa kesenjangan antardaerah merupakan hal yang wajar dan harus dibayar sebagai bagian dari proses pembangunan karena setiap daerah memiliki potensi yang berbeda-beda.

Tentunya kesenjangan antardaerah yang ideal adalah yang sekecil mungkin. Artinya, setiap daerah mengalami tingkat pembangunan yang hampir sama. Semakin besar tingkat kesenjangan antardaerah akan berpotensi menimbulkan persepsi 'ketidakadilan' di tengah masyarakat. Persepsi negatif ini terbukti mampu membawa situasi yang tidak kondusif seperti peristiwa kerusuhan di Papua yang terjadi beberapa waktu yang lalu dan harus bisa segera diminimalkan agar tujuan pembangunan menjadi lebih tepat sasaran.

Pemerintah sebenarnya telah berupaya secara serius untuk mengurangi kesenjangan antardaerah. Hal ini tercermin pada salah satu program prioritas "Membangun Indonesia dari Pinggiran" dalam Nawacita ketiga. Implementasi nyatanya adalah pemberian dana desa untuk membiayai penyelenggaraan pemerintahan, pelaksanaan pembangunan, pembinaan kemasyarakatan, dan pemberdayaan masyarakat desa.

Jumlahnya pun tidak sedikit, pada tahun 2019 setiap desa rata-rata mendapat sekitar 900 juta rupiah. Implementasi nyata lainnya adalah pembangunan infrastruktur besar-besaran yang dilakukan pemerintah di daerah perbatasan. Namun, apakah usaha yang dilakukan pemerintah sudah berhasil? Naskah RPJMN 2015-2019 memberikan beberapa indikator sebagai penilaian apakah target sudah terpenuhi atau tidak.

Sumber : Okezone.com
Sumber : Okezone.com
Kesenjangan Pembangunan Wilayah

Indikator yang digunakan untuk melihat capaian pembangunan wilayah yang tertera pada RPJMN 2015-2019 adalah penurunan desa tertinggal, peningkatan desa mandiri, persentase penduduk miskin di daerah tertinggal, dan rata-rata IPM di daerah tertinggal.

Pengelompokkan desa menjadi desa tertinggal atau desa mandiri ditentukan dengan Indeks Pembangunan Desa (IPD). IPD sendiri adalah suatu ukuran yang disusun untuk menilai tingkat kemajuan desa di Indonesia yang mencakup 5 dimensi dan 42 indikator yang menggambarkan ketersediaan dan aksesibillitas pelayanan pada masyarakat desa. Target yang perlu dicapai adalah menurunnya 5000 desa tertinggal dan meningkatnya 2000 desa mandiri.

Pada tahun 2014, tercatat ada 19.750 desa tertinggal dan 2.894 desa mandiri, sedangkan pada tahun 2018, jumlah desa tertinggal menurun menjadi 13.232 desa dan jumlah desa mandiri meningkat menjadi 5.559 desa. Artinya ada penurunan sebanyak 6.518 desa tertinggal dan peningkatan sebanyak 2.665 desa mandiri. Maka untuk target penurunan desa tertinggal dan peningkatan desa mandiri sudah tercapai.

Pembangunan wilayah tidak bisa dilepaskan dari pembangunan manusianya. Wilayah dan infrastruktur yang terbangun tujuan akhirnya adalah untuk menyejahterakan manusia yang menempatinya. Indikator persentase penduduk miskin di daerah tertinggal dan rata-rata IPM di daerah tertinggal digunakan untuk melihat hal ini. Penentuan daerah tertinggal dituangkan dalam Perpres Nomor 131/2015. Ada 122 kabupaten yang ditetapkan oleh Presiden Joko Widodo sebagai daerah tertinggal.

Penentuan itu mempertimbangkan enam aspek, yakni 1) perekeonomian masyarakat, 2) sumber daya manusia, 3) sarana dan prasarana, 4) kemampuan keuangan daerah, 5) aksesibilitas dan 6) karakteristik daerah. Target persentase penduduk miskin di daerah tertinggal adalah 15 sampai 15,1 persen, sedangkan target rata-rata IPM di daerah tertinggal adalah 62,78.

Pada tahun 2018, menurut data dari BPS, rata-rata persentase penduduk miskin di daerah tertinggal adalah 17,41 persen dan rata-rata IPM di daerah tertinggal adalah 61,19. Ini berarti target persentase penduduk miskin dan rata-rata IPM di daerah tertinggal tidak tercapai.

Data capaian pembangunan wilayah menunjukkan bahwa pembangunan desa dapat dikatakan berhasil, namun pembangunan manusia khususnya di daerah tertinggal masih belum berhasil, walaupun selisih realisasi dengan target cukup tipis.

Kesenjangan Ekonomi

Naskah RPJMN 2015-2019 merumuskan kebijakan yang bertujuan untuk mengurangi kesenjangan ekonomi antardaerah. Targetnya adalah kontribusi PDRB antarpulau yang lebih merata. Kontribusi yang lebih merata di sini mungkin bisa didefinisikan perbedaan yang tidak terlalu mencolok antara Jawa dan Luar Jawa.

Namun, sepertinya target pemerataan ekonomi sangat sulit untuk diwujudkan. Kontribusi PDRB Sumatera ditargetkan mencapai 24,6 persen dari PDB nasional, namun realisasinya hanya mencapai 21,53 persen. Kontribusi Kalimantan ditargetkan mencapai 9,60 persen dari PDB nasional, namun realisasinya hanya mencapai 8,07 persen.

Kontribusi Maluku-Papua ditargetkan 2,9 persen dari PDB nasional, realisasinya hanya 2,57 persen. Jawa yang diharapkan kontribusinya menurun yakni 55,1 persen malah melebihi target menjadi 58,29 persen. Praktis hanya Sulawesi dan Bali-Nusa Tenggara yang mampu memenuhi target yang ditetapkan.

Melihat capaian tersebut, sepertinya pemerintah masih harus bekerja lebih keras lagi untuk melakukan pemerataan pembangunan. Kesenjangan pembangunan wilayah khususnya untuk pembangunan manusia masih kurang maksimal dengan melihat tidak terpenuhinya beberapa target. Pemerataan ekonomi Jawa-Luar Jawa juga masih belum dikatakan berhasil walaupun ada peningkatan kontribusi di beberapa daerah.

Peningkatan pembangunan pusat ekonomi atau wilayah metropolitan baru di Luar Jawa bisa jadi salah satu solusi supaya pembangunan di daerah pinggir menjadi lebih mudah disentuh. Penggunaan Dana Desa sebagai salah satu ujung tombak program pemerintah dalam mengembangkan daerah pinggir juga harus semakin ketat diawasi supaya manfaat penggunaan dana desa tersebut dapat berdampak langsung bagi kesejahteraan masyarakat desa.  

Patut disyukuri bahwa pemerintah masih terus berkomitmen untuk melakukan pemerataan pembangunan yang tercermin dari Agenda ke-3 RPJMN 2020-2024, "Mengembangkan Wilayah untuk Mengurangi Kesenjangan". Beberapa program dan kebijakan sudah disiapkan oleh pemerintah sehingga kesenjangan antardaerah dapat semakin menurun. Dengan komitmen dan konsistensi yang tinggi, permasalahan kesenjangan antardaerah akan dapat diatasi secara bertahap sehingga kohesi sosial serta persatuan dan kesatuan bangsa dapat terus diperkuat.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun