Mohon tunggu...
Yohanes Eki
Yohanes Eki Mohon Tunggu... Ilmuwan - Statistisi di Badan Pusat Statistik

Penulis angin-anginan

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Tantangan Kesejahteraan Petani Padi di Kepri

23 November 2019   08:18 Diperbarui: 23 November 2019   08:24 120
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Petani Padi di Jemaja Timur, Kepulauan Anambas (Sumber : Haluan Kepri)

Menjadikan Kepri sebagai lumbung padi di perbatasan agaknya menjadi rencana yang cukup ambisius dari pemerintah daerah. Kenyataan bahwa lebih dari 95% wilayah Kepri merupakan lautan secara logika seharusnya menjadikan Kepri sebagai lumbung ikan dan tangkapan laut bukan sebagai lumbung padi. Walaupun begitu, rencana tersebut patutlah diapresiasi. Cita-cita pemerintah pusat untuk mencapai swasembada beras haruslah diikuti oleh seluruh jajarannya mulai dari pemerintahan lingkup terkecil hingga terbesar. Dan Kepri sebagai provinsi yang wilayahnya didominasi oleh laut tidak ada salahnya jika ikut menyukseskan rencana pemerintah pusat tersebut.

Untuk mewujudkan rencana tersebut bukanlah persoalan yang mudah. Banyak faktor yang perlu diperhatikan sehingga cita-cita tersebut berhasil tercapai. Salah satu faktornya adalah dari sisi petaninya. Walaupun bukan merupakan satu-satunya faktor yang menentukan tapi merupakan salah satu faktor yang sangat penting. Sederhananya, tak ada petani berarti tak ada padi, tak ada padi berarti tak ada beras, berlaku juga sebaliknya. Dengan menggunakan analogi tersebut, maka pada keadaan normal seharusnya semakin banyak petani, maka semakin melimpah juga beras yang diproduksi.

Kurangnya minat menjadi petani

Menurut rilis BPS pada tahun 2017, hanya 8,8% penduduk Kepri yang menekuni pekerjaan di bidang pertanian, kehutanan, perburuan, dan perikanan. Sebagian besarnya merupakan penduduk usia 40 tahun ke atas. Coba bandingkan dengan penduduk yang menekuni lapangan pekerjaan di bidang industri manufaktur dan perdagangan yang masing-masing menyumbangkan 21,4% dan 26,3% di mana mayoritas merupakan penduduk usia 40 tahun ke bawah.

Hal ini menunjukkan keengganan pemuda di Kepri untuk menekuni profesi menjadi petani di mana mayoritas dari mereka lebih memilih pekerjaan di bidang industri manufaktur dan perdagangan. Alasannya? Tentu saja soal uang. Menjadi petani padi tidaklah murah. Banyak hal yang harus dipenuhi untuk bisa mengolah lahan sawah untuk satu musimnya. Menurut hasil Survei Ongkos Usaha Tanaman Padi 2017 yang dilakukan oleh BPS, rata-rata total biaya per musim tanam untuk satu hektar luas panen padi sawah di Kepri adalah sekitar Rp 12 juta.

Kemudian, bagaimana dengan pendapatannya? Menurut hasil survei tersebut, pendapatan bersih yang diterima petani padi sawah adalah Rp 2,82 juta untuk satu musim tanam per hektar. Anggaplah satu musim tanam adalah empat bulan, maka untuk satu hektarnya petani padi hanya memperoleh sekitar Rp 705 ribu per bulan. Pendapatan tersebut belumlah mampu untuk menutupi rata-rata pengeluaran per kapita penduduk Kepri yang besarnya Rp 1,56 juta sebulan. Fakta tersebut sejalan dengan nilai tukar petani tanaman pangan tahun 2017 yang besarnya 96,08. Artinya petani padi di Kepri masih kesulitan memenuhi kebutuhan hidupnya jika hanya bergantung dari hasil pertaniannya.

Meningkatkan nilai produksi

Meningkatkan pendapatan petani bukanlah hal yang mustahil untuk dilakukan. Pendapatan petani padi nasional yang hampir mencapai Rp 5 juta untuk satu musim per hektar mengisyaratkan bahwa ada potensi untuk meningkatkan pendapatan petani di Kepri. Salah satu cara untuk meningkatkan pendapatan petani adalah dengan meningkatkan nilai produksi.

Setidaknya ada dua upaya yang bisa dilakukan oleh pemerintah untuk menjaga nilai produksi tetap tinggi. Pertama adalah dengan meningkatkan mutu beras yang dihasilkan, dan kedua adalah dengan menjaga stabilitas harga gabah di tingkat petani.

Meningkatkan mutu beras yang dihasilkan sudah mutlak harus dilakukan agar bisa tetap bersaing dengan produk beras dari luar negeri. Setidaknya dengan mutu beras yang meningkat, konsumen akan beralih kepada beras nasional daripada beras impor. Cara yang bisa dilakukan oleh pemerintah salah satunya adalah dengan mendorong petani menggunakan teknologi mekanisasi maupun non-mekanisasi. Penggunaan mesin dalam mengolah lahan, penggunaan benih bersertifikat, atau penggunaan sistem tanam tertentu bisa menjadi pilihan. Penyuluhan dapat dijadikan media penambah wawasan bagi petani yang mayoritasnya adalah masyarakat berpendidikan rendah.

Menjaga stabilitas harga gabah di tingkat petani juga penting dilakukan. Harga gabah yang terlalu rendah akan membuat petani berteriak, sedangkan kalau harga gabah terlalu tinggi akan membuat konsumen enggan membeli gabah. Kontrol pemerintah sangat diperlukan untuk menjaga agar harga gabah di tingkat petani tetap stabil.

Pada akhirnya cita-cita menjadikan Kepri sebagai lumbung padi di perbatasan kembali pada keseriusan pemerintah. Bukan hanya pada persoalan penambahan lahan sawah saja, namun dari sisi kesejahteraan petani juga perlu diperhatikan. Dengan meningkatnya kesejahteraan petani, maka minat masyarakat terhadap profesi petani pun akan meningkat. Dengan begitu, Kepri sebagai lumbung padi di perbatasan bukanlah hal yang mustahil untuk dapat terwujud.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun