Pada September 2017, perfilman Indonesia mengembalikan pamor film horor kembali pada takhtanya, film horor tanpa "paha dada" yang belakangan semakin banyak diproduksi. Melalui tangan dingin Joko Anwar, Pengabdi Setan tembus empat juta penonton selama masa penayangannya. Film ini menceritakan seorang penyanyi mandul yang memaksa memiliki anak dengan cara sesat, namun tulisan ini tidak banyak bercerita tentang film yang diperankan oleh M. Adhiyat itu.
Pada November 2017, gelaran perfilman Indonesia juga menyuguhkan Posesif, film yang diperankan oleh Putri Marino dan Adipati Dolken. Melalui peran keduanya yang apik, film ini lebih horor dari Pengabdi Setan, sebab Posesif tak hanya membuat hati berdegub karena efek suara dan visual, melainkan adu peran Yudhis (Adipati Dolken) dengan Lala (Putri Marino) yang mengaduk-aduk emosi, menyajikan kelekatan percintaan untuk selalu dimiliki dan memiliki, cinta yang tak lagi memerdekakan namun penuh dengan keterpaksaan dan justru mematikan jiwa keduanya.
Yudhis merupakan siswa pindahan, bertemu dan terkesan pada Lala yang adalah atlet loncat indah, meski romantisme keduanya tak terlalu dimunculkan dalam film ini, namun akhirnya keduanya menjebakan diri pada relasi penuh kesakitan, pacaran.
Pada seminar Merawat Kebhinekaan yang merupakan rangkaian Festival Film Puskat 2017, Anggi Noen, mengatakan bahwa film yang baik adalah film yang memberikan penyadaran akan realita. "Film, harusnya tak sekedar hiburan, mengisahkan cinta-cinta romantis ala FTV atau hiburan tanpa konten. Karena masyarakat sudah jenuh pada realita yang berat, kesulitan, beban hidup, maka memilih hiburan yang memberikan penghiburan, yang justru semakin menjauhkan pada realita hidup yang seharusnya dihadapi," begitu kata sutradara Istirahatlah Kata-Kata itu.
Posesif adalah film yang menyajikan realita, cinta remaja yang penuh ledakan, hubungan "cinta monyet" yang kerap diabaikan oleh kaum tua, padahal ledakannya dapat menyasar berbagai ranah, bersekolah dengan perasaan gusar karana asmara, uring-uringan di rumah, emosi yang terus menuncak dan menunggu meledak.
Yudhis merupakan perwakilan sebuah sikap laki-laki atau perempuan dalam menjalin asmara, "Seluruh dirimu adalah milikku, aku akan menjagamu, maka kamu harus selalu bersamaku". Sikap Yudhis bukan tanpa sebab, sikapnya dinamakan defisit afeksi, defisit artinya kekurangan, afeksi adalah perasaan atau kasih sayang. Maka, Yudhis mencarinya dari Lala, ia terus mengikat Lala dengan sikap posesif.
Sikap posesif memang mengerikan, kebalikan dari cinta, posesif adalah sikap memenjarakan seseorang dalam dirinya, kebalikan dari cinta yang seharusnya memerdekakan dan menumbuhkan potensi. Yudhis nekat menabrak sahabat Lala karena cemburu, penuh keberanian menemui ayah Lala agar mereka kuliah di Bandung, bahkan keduanya nekat lari dari rumah.
Yudhis tidaklah menjaga Lala, Yudhis yang kekurangan rasa kasih sayang dan perhatian, menemukannya dalam diri Lala, Yudhis tidak memberi cinta melainkan ingin terus menerima perhatian dari Lala. Maka Yudhis marah hebat ketika Lala menghabiskan waktu dengan teman-temannya, sesuatu yang wajar. Namun karena Yudhis kekurangan perhatian dan kasih sayang maka sesuatu yang wajar ini menghancurkan perasaanya.
Mengapa Yudhis demikian posesif? Mengapa Yudhis yang mengaku mencintai Lala justru dengan mengerikannya membentak Lala, bahkan mencekiknya?
Jawabannya ada pada sejarah hidup Yudhis, ia ditinggal oleh ayahnya sejak kecil, jelas ini yang membuatnya defisit afeksi, ibunya digambarkan sangat dendam dan benci pada ayahnya, pada salah satu adegan Yudhis justru menjadi anak penakut dan pengecut, tak seperti bersama Lala yang bersikap jantan. Ibunya memakinya, memukuli, menendang, mencekiknya, persis seperti Yudhis pada Lala.
Posesif adalah gmbaran nyata betapa mengerikannya seseorang yang mengalami defisit afeksi, segala dalam hidupnya bukanlah untuk kemerdekaan dan kebahagiaan, namun pemenuhan rasa ingin dihargai, dihormati, dan diapresiasi. Akan terus dilakukan selama ia mendapat penghargaan, penghormatan, dan apresiasi, namun destruktif jika ia tak mendapatkan. Seperti ketika Lala menolak kuliah di Bandung, Yudhis justru semakin beringas.
Tak mudah menyembuhkan defisit afeksi, perlu daya upaya mengurai sejarah hidup hingga menemukan akar lukanya, yang sering kali justru oleh orang tua ketika ia kecil. Menurut psikologi, luka yang menyebabkan defisit afeksi itu terjadi pada usia 0 hingga 5 tahun, usia yang sulit diingat-ingat, apalagi diurai. Namun dengan bimbingan ahli dalam bidang ini, defisit afeksi akan dapat diselesaikan.
Mengapa defisit afeksi harus disembuhkan? Sebab sikap selalu ingin dipuji, dihargai, dan diapresiasi ini akan terus hingga tua. Mudah saja tahu seseorang itu "Yudhis" atau bukan. Lihatlah begitu banyak orang yang galau mencari perhatian di media sosial, menghitung jumlah like dan tanggapan, dan akan murung jika tidak mendapatkannya.
Jika melakukan sesuatu dengan tujuan ingin dipuji, dihargai, dihormati, diapresiasi maka jelas sedang mengalami defisit afeksi. Ditambah lagi bersikap destruktif jika tak mendapatkan pujian, penghargaan, penghormatan, dan apresiasi. Jelas, sedang menjadi "Yudhis".
Yohanes Bara
Bekerja di Majalah BASIS dan Majalah UTUSAN
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H