Mohon tunggu...
Yohanes Bara Wahyu Riyadi
Yohanes Bara Wahyu Riyadi Mohon Tunggu... Penulis -

Bekerja di Majalah BASIS dan Majalah UTUSAN

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Sekotak Cahaya Kematian

24 Oktober 2017   16:24 Diperbarui: 24 Oktober 2017   16:29 477
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Gadis itu menunduk, di belakang seorang pria, ia tak bersembunyi, ia sedang sibuk membuka instagram saat pria di depannya fokus dalam kemacetan, alih-alih berkisah ringan, si wanita malah sibuk sendiri. Memuakkan. Gadis lain di trafic light,sebelah tangannya bermain gawai hingga tak sadar lampu sudah hijau.Seorang lain lagi, menumpang ojek online,meletakkan tangannya di atas barang antaranya dan pengemudi, juga sedang bermain game. Seperti manten baru yang tak tahan goda sang birahi. Ingin menuntaskannya dimana pun ia dan "pasangan"nya berada.

Hmm, biar adil.
Seorang gadis memangku dagu sambil menggigit sedotan tanpa menghisapnya, menatap kosong dengan pikiran yang mungkin bosan pada sosok di depannya. Alih-alih saling berbagi kisah, si cowok malah sibuk dengan sosok tipis bercahaya di depannya, yang tak lebih elok nan semok dari gadis penggigit sedotan itu.
Ah, ingin ku hampiri. "Mbak, mari duduk denganku saja, ku dengarkan segala kisahmu selagi ku kenyangkan ragaku". Tapi tak mungkin, cowok yang hanya akan teralihkan pandang jika si penggigit sedotan melepas tiga kancing dari atas itu pasti tak terima, meski gadisnya lebih dihargai.

Sudut lain, berduaan, satu meja, tapi mereka "foursome" dengan sosok tanpa kelamin di genggaman masing-masing, dengan sesekali saling pamer sesuatu.
Ah, mentang-mentang sosok itu selalu memuaskanmu di kamar mandi, lalu kamu merasa berhak singkiri gadis manis di hadapanmu.

Bukankah semua dalam layar cahaya itu semu? Serba pura-pura? Topeng?
Ingin tampak sebaliknya dari realita?
Tak mampu aku ke Bangkok, Jepang, USA, Bali. Ya sudah, aku foto di kali dengan caption "Bahagia itu sederhana". Ah, wajahmu tak bisa bohong, tawamu tak seperti anak-anak.
Tak mampu pula aku jajan Gelato, Americano, atau makanan tren lainnyo,lalu unggah singkong goreng.

Sejak kapan standar hidup ditentukan dengan jumlah love n like? Sehingga aku musti gundah jika jumlahnya tak lebih dari foto temanku? Aku lebih suka lensa depan yang bergambar jerawatku, ketimbang lensa belakang yang berpemandangan realita "aku orang biasa, dari keluarga sederhana, yang tak punya apa-apa".

Bukankah hidup tak melulu terlalu bahagia dan terlalu sedih? Yang hanya tiba sesekali. Lalu mengapa hidup ini harus dibuat serba luar biasa? Dengan sayap pesawat, makanan mahal, ikon kota.

Jika ini diteruskan, bertopeng, terus hingga senja tua. Leher ini akan tercekat kaget pada waktunya. "Aku lupa belum melakukan apa-apa".
Maka, kini aku meluangkan waktu bersenda gurau bersama aku, menanyakan kabarku, perasaanku, mauku, mimpiku, cintaku.

Bagi gadismu, priamu, saudaramu, orang tuamu, letakkan sejenak gawaimu. Tatap matanya, dengarkan kisahnya, dan genggam tangannya sambil berkata, "Aku mencintaimu apa adanya, aku disini untukmu."

Yohanes Bara

Yogyakarta, 24 Oktober 2017

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun