Mohon tunggu...
Yohanes Bara Wahyu Riyadi
Yohanes Bara Wahyu Riyadi Mohon Tunggu... Penulis -

Bekerja di Majalah BASIS dan Majalah UTUSAN

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Berpijak pada Kaki Ibu

23 Oktober 2017   22:11 Diperbarui: 7 November 2017   20:45 493
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Apapun yang terjadi Eni dan Bronto tetap berjuang agar anaknya dapat sekolah. "Ketika Kristin SD, sempat kami didatangi orang dari Sekolah Luar Biasa. Kepala sekolah yang baru ingin agar Kristin dipindahkan ke SLB tersebut, saya tolak," kata Bronto. Sebab menurut Bronto, SLB lebih mengandalkan keterampilan, padahal Kristin memiliki kecerdasan yang baik. "Kalau dari awal tidak apa-apa, tetapi kalau sudah pertengahan SD, lebih baik Kristin tetap melanjutkan sekolah," lanjutnya.

"Ketika anak sudah dua, kami bagi tugas. Saya menemani Vena di SMP Kristen Kalam Kudus, suami menemani Kristin di SMA Bopkri 2," papar pengurus kematian gereja Aletheia Yogyakarta ini. "Saya dapat waktu istirahat 30 menit, waktu itu lah yang digunakan untuk Kristin saat dia harus pindah kelas. Puji Tuhan teman-teman dan atasan bisa mengerti," cerita Bronto yang bekerja di seberang sekolah Kristin. Upaya Bronto ini juga dilanjutkan saat Kristin menempuh pendidikan tinggi di Universitas Kristen Duta Wacana (UKDW).

Saat "sekolah" bersama anaknya, Eni mengisi waktu dengan berjualan kopi, makanan, telur, dan pakaian pada orang tua lain. "Setelah untuk bayar pengobatan, pernah gaji suami tinggal Rp 29.000, padahal masih perlu untuk makan bertiga dan bayar kos selama sebulan," papar Eni. Untuk itu wanita asal Temanggung ini menambah pekerjaan dengan menawarkan jasa pijit, Bronto pun sampai bekerja di dua tempat berbeda. "Siang saya kerja di RS Bethesda, sore sampai malamnya di apotek," kata Bronto.

Menempuh pendidikan di sekolah inklusi dirasa Kristin tidaklah mudah, terlebih cibiran teman-temannya. "Saya sering dihina oleh teman-teman, paling cuma bisa nangis di rumah. Bullyingitu paling sering saya terima ketika SD, semakin dewasa semakin berkurang. Tapi kalau bilang Mama, malah dimarah," cerita Kristin.

"Lawan! Balas! Lempar orangnya! Kalau kamu cengeng, bukan anak mama," perintah Eni jika Kristin diganggu. Lanjutnya, meski ia juga bersedih hati saat anaknya dihina, ia tak ingin anaknya tahu. "Yang penting dijawab dengan baik, jangan dengan kasar, balas dengan Sabda Tuhan. Meski saya juga sedih, saya tidak mau Kristin jadi patah semangat, pokoknya semangat," tandas Eni. Diam-diam Eni juga kerap mendatangi anak-anak tetangga yang menggangu Kristin, "Kalian jangan macam-macam ya, tak kaplokmulutmu kalau hina Kristin lagi. Kalian harusnya jadi teman yang baik. Atau kalian mau kayak Kristin?" bela Eni. "Saya sengaja membela diam-diam, supaya anak punya kepercayaan diri dari dirinya sendiri, bukan karena sembunyi dibalik punggung mamanya," tambahnya.

Keyakinan Eni dan Bronto akan kecerdasan anak-anaknya terbukti, Kristin dapat meraih juara bahkah sering mengikuti lomba-lomba di luar kota. "Kalau aku lomba, apalagi menginap, mama selalu ikut. Biasanya nunggu di belakang atau di kamar, kalau aku perlu pindah atau makan baru sms mama untuk datang," cerita perempuan penyuka coklat ini. Namun meski memiliki keterbatasan fisik, Kristin selalu mengikuti kegiatan perkuliahan, bahkan malam keakraban di alam terbuka. "Kristin kan tidak bisa tidur di tenda, jadi selama 3 hari, jam 6 pagi antar, jam 12 malam jemput," kata Bronto.

Nyatanya keterbatasan fisik tak membuat Kristin dimanja, saat sekolah dan kuliah ia hanya diberi uang sakau Rp 50.000 sebulan. "Jadi mikir, bagaimana caranya buat photo copy, pulsa, dan lainnya. Apalagi anak IT butuh laptop, hard disk. Ya sudah aku nyambi jualan makanan, pakaian juga kayak mama," cerita Kristin. Sebab menurut Eni, banyak orang tua justru salah mendidik anaknya, dengan memanjakannya dan tidak menyekolahkan dengan alasan kasihan. "Mau sampai kapan dengan orang tua? Justru dengan terlalu menyayangi dan dimanja anak tidak bisa mandiri, lalu menyulitkan anak ketika sudah tidak bersama orang tua. Justru kalau menyayangi, orang tua harus mendidik dengan keras, agar anaknya kuat," tegas Eni.

Eni juga mengajak anaknya dalam persekutuan doa, meski lagi-lagi mendapat cibiran. "Saya ajak bersosialisasi, biar dia tahu inilah dunia yang harus dihadapi, jangan takut," ucapnya. Sebab melalui komunitas anak berkebutuhan khusus se Kecamatan Mlati Yogyakarta, Eni banyak menemui orang tua yang justru menyembunyikan anaknya. "Jangankan disekolahkan, keluar rumah saja tidak, yang dipasung juga banyak. Saya datangi mereka, memberi pemahaman untuk menerima anak apa adanya, menyemangati mereka," paparnya.

"Aku bersyukur punya orang tua yang mendukung, kalau mereka tidak mau antar, tidak mau biayai sekolah kan enggak mungkin aku bisa sekolah," kata lulusan Teknik Informatika UKDW ini. Kristin juga sudah memiliki pekerjaan sebagai Web Development dengan kanal www.manilakristin.com, penyuka musik instrumen violin, saxophone, dan piano ini juga memiliki keterampilan mengajar anak-anak autis. "Aku punya cita-cita punya Starup yang mempekerjakan teman-teman difable, juga tempat les untuk anak berkebutuhan khusus. Kalau ada biaya juga pingin kuliah lagi," ungkap Kristin.

Kristin semakin logowo dengan berpegang pada Kitab Suci dari 2 korintus 12: 9 "Tetapi jawab Tuhan kepadaku: "Cukuplah kasih karunia-Ku bagimu, sebab justru dalam kelemahanlah kuasa-Ku menjadi sempurna." Sebab itu terlebih suka aku bermegah atas kelemahanku, supaya kuasa Kristus turun menaungi aku."

Eni dan Bronto berpesan bagi orang tua yang mengalami hal serupa agar tetap semangat dan bersyukur. "Harus semangat, tidak boleh malu dan menyingkirkan anak. Kalau kita bimbing sesuai kehendak Tuhan hasilnya pasti baik. Jangan pernah menyerah, jalan terus," kata Bronto.

(Terbit dalam Majalah UTUSAN Oktober 2017)

Yohanes Bara

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun