Mohon tunggu...
Yohanes MatthewFairnap
Yohanes MatthewFairnap Mohon Tunggu... Pelajar Sekolah - Pelajar

Leo

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Menunggu di depan pintu

10 Desember 2024   14:13 Diperbarui: 10 Desember 2024   14:13 30
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Di sebuah desa kecil yang terletak di pinggiran kota, hiduplah seorang perempuan muda bernama Maya. Ia tinggal di sebuah rumah tua bersama neneknya, yang sudah sangat renta. Setiap hari, Maya pergi ke pasar untuk berjualan sayur, sementara neneknya tinggal di rumah, menjaga api di perapian agar tetap menyala.

Pagi itu, seperti biasa, Maya bersiap-siap untuk berangkat ke pasar. Namun, sebelum pergi, ia mendekati neneknya yang sedang duduk di kursi goyang.

"Nek, Maya berangkat ya," kata Maya dengan lembut.

Neneknya hanya mengangguk, meski matanya tampak sayu dan tubuhnya mulai rapuh oleh usia. "Hati-hati di jalan, Nak," ujar neneknya dengan suara serak, namun penuh kasih.

Maya mencium pipi neneknya, lalu bergegas pergi. Suara langkahnya yang cepat hilang di ujung jalan, sementara neneknya tetap duduk, menatap kosong ke luar jendela.

Hari-hari berlalu seperti biasa, dan Maya selalu kembali ke rumah menjelang sore, membawa hasil jualannya. Setiap kali pulang, ia selalu menemukan neneknya duduk di kursi goyang, menunggu dengan sabar. Nenek itu tidak pernah banyak bicara, namun wajahnya selalu menyiratkan kebahagiaan setiap kali melihat cucunya kembali dengan selamat.

Suatu sore, ketika Maya baru saja pulang dari pasar, ia mendapati suasana yang berbeda. Neneknya tidak ada di kursi goyang. Maya mencari ke seluruh rumah, namun tidak menemukannya. Hatinya mulai cemas. Ia berlari ke halaman belakang, dan di sana, di bawah pohon besar, ia melihat neneknya terbaring lemah. Mata nenek itu terbuka, namun tak lagi dapat berbicara.

Maya mendekat, air mata mulai mengalir di pipinya. "Nek, jangan tinggalkan Maya," bisiknya sambil memegang tangan neneknya yang dingin.

Neneknya tersenyum, meskipun senyum itu tampak sangat lemah. Dengan suara yang hampir tak terdengar, nenek itu berkata, "Aku hanya menunggu... kamu pulang..."

Maya menggenggam tangan neneknya lebih erat, merasa sesak di dadanya. Nenek itu telah lama menunggu di depan pintu, menanti kepulangannya setiap hari. Namun kali ini, yang menunggu adalah Maya, menanti neneknya yang kini tak lagi bisa kembali.

Pada saat itu, Maya sadar, setiap langkahnya, setiap harinya, telah penuh dengan pengorbanan dan cinta yang sederhana namun luar biasa. Ia duduk di samping neneknya, memegang tangan yang telah membesarkannya dengan penuh kasih sayang, dan bersama-sama mereka menunggu---menunggu dengan penuh ketenangan, seperti kebanyakan orang tua yang menunggu waktu untuk berpulang dengan damai.

Pada akhirnya, Maya mengerti. Terkadang, yang paling kita butuhkan bukanlah sebuah jawaban, melainkan kesabaran untuk menunggu, sampai waktunya tiba.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun