Mohon tunggu...
Yohanes De Britto Wirajati
Yohanes De Britto Wirajati Mohon Tunggu... Penulis - Dosen Jurusan Seni Murni FSRD ISI Surakarta

Dosen/Peneliti/Penulis

Selanjutnya

Tutup

Politik

Meluncur Menuju Malapetaka: Selisik Ancaman Perang Nuklir di Semenanjung Korea

12 Agustus 2024   19:02 Diperbarui: 12 Agustus 2024   19:02 268
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Bergemuruh seperti kereta, Meluncur menuju malapetaka
Bergulung awan bencana, Hitam pekat gosong timah baja"

-Dikutip dari lirik lagu "Marching Menuju Maut", The Brandals

 

Perseteruan Dua Suksesor Dinasti Joseon

Dinasti Joseon adalah rezim kepemimpinan terakhir yang menguasai seluruh wilayah Korea sebelum akhirnya terbagi menjadi dua negara, Korea Selatan dan Utara. Pasca Perang Dunia II, ditandai dengan penyerahan diri Jepang tanggal 15 Agustus 1945, kekuatan militer Amerika Serikat kemudian masuk ke wilayah Korea bagian selatan dan kekuatan militer Rusia (Uni Soviet) masuk ke wilayah utara. Konstelasi politik yang demikian kemudian membagi Korea menjadi dua wilayah berdaulat, Korea Selatan dan Korea Utara sejak tahun 1948 (Armstrong, 2005).

Terbaginya wilayah Korea menjadi dua negara berdaulat ini tidak hanya dilatarbelakangi ekses hubungan politik, namun juga ideologi politik. Korea Selatan yang dideterminasi secara politik oleh Amerika Serikat banyak mengadopsi ideologi Demokrasi Liberal. Sedangkan, intervensi Rusia (Uni Soviet) di wilayah Korea Utara berdampak pada berkembangnya ideologi Marxisme-Leninisme yang kemudian diinternalisasi melalui konsep ideologi Juche oleh negara tersebut (Setiawan, 2020).

Sedikit mundur ke belakang, konstelasi politik di semenanjung Korea ini berkaitan erat dengan perseteruan Amerika Serikat-Uni Soviet yang berlangsung sejak Perang Dunia II berakhir. Perseteruan kedua super power yang kerap disebut Perang Dingin ini berdampak pada munculnya proxy war di beberapa wilayah, termasuk Semenanjung Korea. Pasca Uni Soviet bubar dan posisi Rusia mulai melemah dalam percaturan politik dunia, proxy war di Semenanjung Korea ini tidak pernah benar-benar selesai sampai sekarang.

Apa yang terjadi hari ini justru sebaliknya. Semenanjung Korea semakin rentan terhadap pecahnya perang saudara. Kondisi tersebut diakibatkan kepemilikan Korea Utara atas 50 hulu ledak nuklir (ACA Factsheet, 2024) yang pastinya dianggap sebagai sebuah ancaman serius bagi keamanan dan petahanan Korea Selatan, sekaligus negara-negara lain (Setiawan et al., 2021). Latihan militer bersama antara Korea Selatan-Amerika Serikat pada bulan Maret 2024 kemudian menjadi bumbu pelengkap runcingnya perseteruan kedua negara Korea tersebut. Korea Selatan mengklaim latihan bersama tersebut sebagai upaya memperkuat pertahanan negara dari ancaman nuklir Korea Utara, sedangkan Korea Utara memandangnya sebagai persiapan Korea Selatan untuk menginvasi wilayah mereka (Roza, 2024).

Melihat dengan persepektif global, apa yang terjadi di wilayah Semenanjung Korea bukan hanya urusan politik, pertahanan dan keamanan Korea Selatan-Korea Utara saja. Bukan juga hanya menjadi urusan dari Amerika Serikat semata. Akan tetapi, kondisi yang sedemikian rupa merupakan ancaman besar bagi perdamaian dunia. Artinya, jika ketegangan di Semenanjung Korea naik ke tingkat yang lebih serius, maka hal itu akan menentukan nasib keberlanjutan negara-negara lain.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun