Mohon tunggu...
Yohanes De Britto Wirajati
Yohanes De Britto Wirajati Mohon Tunggu... Penulis - Dosen Jurusan Seni Murni FSRD ISI Surakarta

Dosen/Peneliti/Penulis

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Pemikiran David Whittaker tentang Konflik dan Rekonsiliasi (Ulasan Singkat)

10 November 2020   18:00 Diperbarui: 10 November 2020   18:02 41
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Buku Conflict and Reconciliation in the Contemporary World ditulis oleh David J. Whittaker, bekas Kepala Departemen Pendidikan di Darlington College of Education, dan juga sekaligus dosen Hubungan Internasional di  University of Teesside. Dalam buku ini, Whittaker menguraikan keterkaitan, atau dalam bukunya dituliskan sebagai the interdependent processes dari asal-usul terjadinya konflik, resolusi dan rekonsiliasi dalam delapan studi kasus di empat benua, antara lain di Yugoslavia, Israel, Irlandia Utara dan Afrika Selatan.

Bab pertama pada buku karangan Whittaker ini berjudul Conflict, Resolution and Reconciliation. Pada bab ini, Whittaker menguraikan mengenai hubungan siklis antara konflik, resolusi dan rekonsiliasi, tidak hanya secara politis, namun juga sebagai proses psikologis yang dapat menumbuhkan torleransi untuk kehidupan bersama yang lebih damai dan kondusif. Pada bagian ini pula, Whittaker menjelaskan kriteria yang dipakai dalam memilih delapan contoh kasus yang dipaparkannya untuk memberikan sebuah gambaran yang lebih jelas tentang hubungan-hubungan konflik, resolusi dan rekonsiliasi (p.1).

Penjelasan Whittaker pada bab pertama ini dimulai dengan menelesuri memetakan sifat alamiah yang melekat pada suatu konflik. Whittaker memaparkan, baik secara langsung atau tidak, kedelapan contoh kasus yang dinarasikannya dalam buku ini bersentuhan dengan pelanggaran hak asasi. Selain itu, beragam  contoh kasus yang dipilih oleh Whittaker dalam buku ini tergolong sebagai  konflik-konflik yang dipicu oleh permasalahan yang sudah mengakar-dalam (p.3).

Aspek kedua yang diuraikan pada bab pertama ini adalah proses resolusi. Whittaker menjelaskan tiga pendekatan dalam suatu proses resolusi konflik, yaitu pendekatan negosiasi, pendekatan mediasi pihak ketiga dan dan intervensi dari pihak yang berwenang, contohnya institusi pemerintah (p.4).

Aspek Ketiga yang diuraikan oleh Whittaker adalah proses rekonsiliasi. Whittaker memposisikan rekonsiliasi sebagai tahap lanjutan proses resolusi konflik. Mengapa demikian? Karena menurut Whittaker, rekonsiliasi memiliki dimensi yang lebih luas dari resolusi, yaitu terkait stabilitas keamanan dan integrasi masyarakat (p.7).   

Dalam rangka menjelaskan lebih detail tentang hubungan antara konfli, resolusi dan rekonsiliasi, Whittaker menganalisa delapan contoh kasus dari berbagai negara. Kedelapan contoh kasus tersebut adalah transformasi konflik di El Salvador, rekonsiliasi kasus apartheid di Afrika Selatan, rekonsiliasi di Kamboja, konflik di Ciprus, penggulingan kekuasaan di Afghanistan, konflik antara Israel dan Palestina, rekonsiliasi di Irlandia Utara dan proses perdamaian di Bosnia (bekas Yugoslavia). Whittaker membahas kedelapan contoh kasus tersebut melalui analisa atas ketiga aspek (konflik, resolusi dan rekonsiliasi) yang telah dijabarkan di awal.

Buku ini ditutup dengan sebuah bab yang berjudul The Contemporary World and Conflict. Pada bab ini Whittaker merangkum kembali pemaparannya atas kedelapan contoh kasus. Whittaker menguraikan pola meluasnya konflik, dari konfrontasi dan kontestasi menjadi aksi kekerasan yang melibatkan paramiliter (p.107). Selain itu Whittaker juga menegaskan pada bab ini bahwa resolusi konflik adalah proses transisi dari kondisi peperangan menuju perdamaian (p.109). Resolusi konflik berarti tahapan pertama dari proses penyelesaian kasus-kasus kekerasan dan kejahatan genosida akibat sebuah konflik dan sekaligus menyiapkan setiap individu yang terlibat dalam proses resoluis konflik tersebut agar dapat memulai sebuah kehidupan yang baru. Terakhir, Whittaker juga menegaskan kembali bahwa sebuah fase rekonsiliasi merupakan proses untuk menjamin terjaganya situasi yang kondusif bagi berkembangnya kehidupan bersama yang lebih toleran (p.114).   

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun