Mohon tunggu...
Yohanes De Britto Wirajati
Yohanes De Britto Wirajati Mohon Tunggu... Penulis - Dosen Jurusan Seni Murni FSRD ISI Surakarta

Dosen/Peneliti/Penulis

Selanjutnya

Tutup

Hobby

Kepingan-kepingan Puzzle Konflik dan Rekonsiliasi (Ulasan Buku)

6 November 2020   18:00 Diperbarui: 6 November 2020   18:15 51
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pieces of the Puzzle | foto diunduh dari books.google.com published by the Instotute for Justice and Reconsilliation

Buku Pieces of the Puzzle: Keywords on Reconciliation and Transitional Justice adalah sebuah referensi yang dapat membantu siapapun yang ingin memahami berbagai aspek kajian terkait dengan proses rekonsiliasi dan keadilan transisional (transformasi penegakan keadilan pasca berkuasanya sebuah rezim otoriter, menuju rezim demokratis). 

Charles Villa-Vincencio dan Erik Doxtader, sebagai editor, mengumpulkan dan menyusun beberapa esai tentang usaha-usaha rekonsiliasi konflik dan kekerasan dari berbagai belahan dunia dengan maksud memberikan contoh atas mekanisme dan tantangan yang akan muncul dalam sebuah proses rekonsiliasi. Buku ini dibagi menjadi tiga bab yaitu Reconciliation, Transitional Justice dan Resources.

Pada Bab I yang berjudul Reconciliation, Villa-Vincencio berusaha untuk mengelaborasikan proses dan tujuan yang ingin diraih dari sebuah upaya rekonsiliasi melalui esainya. Dalam uraiannya, Villa-Vincencio mendefinisikan rekonsiliasi sebagai sebuah usaha untuk menciptakan konteks bagi munculnya keingin untuk belajar hidup bersama. Merujuk pada definisi rekonsiliasi pada Oxford Concise Dictionary, Villa-Vincencio berusaha memberikan pemahaman bahwa sebuah permusuhan (konflik) dapat berubah menjadi persahabatan (perdamaian) melalui upaya rekonsiliasi. Dalam esai ini Villa-Vincencio memberikan gambaran mengenai aspek-aspek yang dibutuhkan dan hadir dalam sebuah proses rekonsiliasi.

 Esai berikutnya yang berjudul Ubuntu, ditulis oleh Dani W. Nabudare membahas tentang pola pikir, sebagian besar masyarakat Afrika, terkait esensi dari hidup manusia yang disebut, sesuai dengan judul esainya, Ubuntu. Nabudare menegaskan bahwa bagi masyarakat Afrika, konsep Ubuntu menjadi sebuah dasar bagi kemunculan sikap positif dalam menghadapi konflik. 

Sebagai sebuah konsep filsafat Ubuntu bersifat metafisik, cakupannya mencapai kehidupan setelah kematian dan hubungan leluhur dengan keturunannya yang masih hidup. Selain itu, Nabudare menuliskan bahwa konsep Ubuntu merupakan pengembangan atas pemahaman orang-orang Afrika atas konsep politik dan hukum mereka.  Melalui semangat Ubuntu, rekonsiliasi di Afrika kemudian berusaha tidak hanya mendamaikan pihak yang berkonflik, namun lebih dari itu, mengembalikan lagi sisi kemanusiaan pada korban dan pelaku kejahatan kemanusiaan.

Esai ketiga pada bagian I berjudul Peace Processes. Esai yang ditulis oleh John Darby ini mengangkat tema tentang kekerasan antar etnis di beberapa negara. Darby menggarisbawahi besarnya potensi sebuah negara-bangsa (yang terdiri dari berbagai kelompok etnis) untuk mengalami konflik antar etnis.

Esai keempat, yang ditulis oleh Erik Doxtader berjudul Reparation. Dalam esai ini topik yang dibahas terkait dengan upaya untuk memberikan ganti rugi bagi korban kekerasan dari suatu konflik. Pada satu sisi, konsep ganti rugi dalam sebuah rekonsiliasi memiliki dampak positif bagi usaha untuk menghilangkan bayang-bayang masa lalu agar tercipta kehidupan mendatang yang lebih baik. 

Namun pada sisi lainnya, ganti rugi tetap tidak dapat sepenuhnya menyembuhkan luka ataupun menghilangkan ingatan atas konflik masa lalu yang pernah dialami. Persoalan-persoalan yang muncul seputar konsep ganti rugi dalam proses rekonsiliasi didasari oleh kondisi yang ambivalen tersebut. Dalam esainya ini, Erik Doxtader menguraikan dengan cukup jelas mengenai kebijakan-kebijakan ganti rugi pada sebuah proses rekonsiliasi, dalam lingkup internasional ataupun regional.

Pada esai keduanya di buku ini, Villa-Vincencio menguraikan tentang Restorative Justice. Dalam esainya ini Villa-Vincencio mengungkapkan bahwa sebuah keadilan yang menyembuhkan (restorative justice) sangatlah sulit untuk diwujudkan karena sifatnya sangat relatif. Namun Villa-Vincencio menekankan bahwa hal penting dan mendasar perihal restorative justice adalah pembentukan kesadaran bersama untuk mulai memikirkan tentang peningkatan kulitas hidup komunal di masa depan.[2]  

Pada esai yang keenam, berjudul Amnesty, kali ini Erik Doxtader membahas tentang proses amnesti (pengampunan/pemotongan masa hukuman) bagi para pelaku kejahatan kemanusian pada sebuah konflik. Proses amnesti bukannya tanpa potensi untuk memperburuk ketidakadilan yang terjadi. Aspek subyektif (keputusan pemerintahan yang berkuasa) yang sangat kuat menjadi alasannya. Dalam esai ini Erik Doxtader juga menjelaskan berbagai jenis amnesti yang umumnya muncul di berbagai situasi.

 Esai ketujuh berjudul Memory. Esai yang ditulis oleh Antjie Krog ini merupakan sebuah narasi mengenai berbagai konsep tentang ingatan, berdasarkan pengalaman hidupnya. Antjie Krog menguraikan tentang pengaruh ingatan yang sangat kuat dalam proses-proses pemulihan pasca konflik.

Bab I buku Pieces of the Puzzle ditutup oleh esai dari Fiona Ross yang berjudul Testimony. Fiona Ross mengungkapkan bahwa testimoni adalah sebuah pernyataan tentang kebenaran faktual atas suatu hal. Ross mengaitkan testimoni, dalam konteks pengungkapan kebenaran, dengan kesaksian. Melalui testimoni, pemahaman yang lebih luas atas sebuah pengalaman hidup, khususnya terkait dengan pengalaman mengalami konflik, coba untuk diwujudkan lewat pemaparan dan pemahaman atas dampak dari sebuah proses rekonsiliasi secara luas.

Bab II buku Pieces of the Puzzle berjudul Transitional Justice. Bab ini dibuka dengan esai yang ditulis oleh Alex Boraine dengan judul yang sama, Transitional Justice. Dalam esainya ini Boraine menjelaskan perihal situasi pengelolaan keadilan dalam negara yang sedang berpindah kepimpinan, dari rezim yang otoriter menuju rezim yang demokratis. 

Kelompok masyarakat yang sedang mengalami perpindahan rezim ini dapat dipastikan pernah mengalami konflik kekerasan yang serius akibat kepemimpinan rezim otoriter. Konsep transitional justice kemudian dapat dipakai untuk mengetahui dimensi-dimensi dari dampak konflik kekerasan tersebut secara lebih mendalam, kaya dan luas, melalui lima komponen; accountability, truth recovery, reconciliation, institutional reform dan reparations.

Esai selanjutnya dalam bab kedua ini, atau esai kesepuluh dalam buku ini ditulis oleh Jeremy Sarkin dengan judul Genocide. Dalam esai ini Sarkin berusaha untuk memaparkan debat yang terjadi tentang definisi serta kriteria kriteria yang menunujukkan bahwa sebuah kejahatan dapat digolongkan dalam kejahatan genosida atau tidak.    

Esai kesebelas dalam buku ini berjudul The International Criminal Court, ditulis oleh Ronald Slye. Dalam esai ini, Slye memfokuskan pembahasannya pada berdirinya International Criminal Court (ICC). Slye memaparkan peranan Rome Treaty sebagai dasar pembentukan ICC, yang materi yurisdiksinya dibatasi pada 4 hal; genosida, kejahatan kemanusiaan, kejahatan perang dan agresi. Dalam ICC ini hanya perseorangan yang dapat dituntut. Penyidikan terhadap sebuah perkara dapat diinisiasi oleh tiga pihak; negara yang terlibat Rome Treaty, Dewan Keamanan PBB dan Jaksa Penuntun dari ICC.

Pada esai yang berjudul Truth Commissions, esai ketiga Villa-Vincencio dalam buku ini, topik pembahasan yang dihadirkan terkait dengan alasan diadakannya dan mekanisme pelaksanaan sebuah Komisi Kebenaran. Villa-Vincencio menegaskan dalam esainya kali ini bahwa pembentukan Komisi Kebeneran jangan dipandang sebagai bentuk lain dari aktifitas menuntut dalam sebuah perkara pelanggaran berat kejahatan kemanusiaan, namun lebih sebagai pelengkap proses peradilan yang sedang atau sudah berjalan.

Pada esai selanjutnya yang berjudul Traditional and Customary Law, Zola Sonkosi memaparkan tentang konsep tradisi lisan dalam pembentukan hukum adat di masyarakat Afrika. Dalam esai ini, Sonkosi juga memaparkan mengenai kondisi awal konsep hukum adat di Afrika dalam sebuah proses resolusi konflik antar suku atau klan dan perubahannya ketika Kolonialisme mulai masuk ke Afrika.

Susan de Villiers, melalui esainya yang berjudul Human Rights dalam buku ini berusaha untuk menguraikan tentang pentingnya kesadaran atas hak-hak asasi dan cara mempergunakannya. Edukasi tentang Hak asasi Manusia menjadi sebuah langkah yang wajib ditempuh bagi terciptanya kesadaran kolektif untuk mengenali dan mempergunakan Hak Asasi Manusia.

Pada halaman 108 sampai dengan 114 buku Pieces of the Puzzle, Charles Villa-Vincencio, kali ini berkolaborasi dengan Mieke Holkeboer menyusun sebuah esai tentang hubungan hak asasi manusia dengan rekonsiliasi, yang saling bergantung satu sama lain. Dalam esai yang berjudul Rights and Reconciliation ini dibahas sebuah contoh kasus dari Afrika Selatan untuk menggambarkan hubungan mutualis antara edukasi tentang hak asasi manusia dengan proses rekonsiliasi.

Rangkaian kumpulan esai dalam buku Pieces of the Puzzle kemudian ditutup dengan sebuah tulisan dari Sue Brown dan Funekile Magilindane yang berjudul Economic Transformation. Esai ini berfokus kepada pentingnya transformasi ekonomi demi kesuksesan proses transitional justice. Perdamaian yang bersifat terus-menerus tidak akan muncul tanpa kehadiran keadilan ekonomi. Dalam esai ini juga ditegaskan bahwa usaha menciptakan perdamaian, resolusi konflik dan rekonsiliasi nasional adalah prasyarat terjadinya transformasi ekonomi. 

Pada bab terakhir yang berjudul Resource, tim editor buku Pieces of the Puzzle : Keywords on Reconciliation and Transitional Justice melampirkan beberapa data dan sumber referensi yang memaparkan jumlah Komisi Kebenaran Nasional yang terdapat di beberapa negara. Selain itu pada bab terakhir ini juga disusun daftar referensi tentang proses rekonsiliasi dan transisi penegakan keadilan yang dapat diakses secara online.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hobby Selengkapnya
Lihat Hobby Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun