Pada dasarnya guru harus mampu mengenali setiap karakter peserta didik. Setiap peserta didik yang datang ke sekolah pasti datang dari beragam latar belakang. Mulai dari latar belakang keluarga yang berbeda, seperti pola asuh orangtua. Ada peserta didik yang didampingi dengan pola asuh yang otoriter atau strict, pola asuh yang permissive atau terlalu bebas hingga pola asuh yang demokratis. Hal ini tentu berdampak pada kepribadian atau keunikan dari karakter peserta didik.
Di sekolah, karakter peserta didik pun beragam. Jika meminjam teori kepribadian OCEAN dari Costa dan MC Crae ada 5 tipe kepribadian atau karakter peserta didik. Ada peserta didik yang cenderung ceria, hadir dengan ide-ide kreatif, senang mencoba hal baru dan berani untuk mengutarkan pendapat. Ini dikenal dengan tipe kepribadian Openess to experience. Tak sedikit pula di sekolah ditemukan peserta didik yang sangat teratur dalam bekerja, disiplin, dan terjadwal untuk setiap tugasnya dan ini menunjukkan peserta didik masuk dalam kategori Conscientiousness.Â
Sering juga ditemukan di sebuah sekolah, peserta didik yang aktif, Â senang berkomunikasi dan mengambil peran penting di sebuah komunitas dan tipe ini dikenal dengan istilah Extraversion. Ada juga peserta didik yang sangat peduli, tenang dalam berpikir, berempati pada temannya dan lingkungan sekitarnya. Tipe kepribadian ini bernama Agreeableness
Namun di samping karakter positif yang dimiliki, tentu ditemukan beberapa peserta didik yang hadir dengan tipe kepribadian Neuroticism. Biasanya peserta didik dengan tipe karakter ini akan datang ke sekolah dengan membawa segudang beban kecemasan, ketakutan, rasa insecure, trauma masa lalu hingga mengganggu performa akademik peserta didik di sekolah
Padahal mungkin saja secara kognitif peserta didik tak memiliki masalah dalam menyerap informasi, tetapi problem psikologis remaja, seperti tidak diterima di lingkungan pertemanan, merasa dirinya berbeda hingga rendahnya kepercayaan diri, bullying dll berdampak pada prestasi akademik peserta didik.
Sejumlah fenomena itu menuntut guru untuk dapat memahaminya. Perasaan dan suasana hati yang berbeda-beda di setiap hari dan di setiap peserta didik yang juga mendorong guru untuk mampu berempati, mengerti dan mengolah materinya sesuai dengan kebutuhan peserta didik dalam setiap pembelajaran.
Dari berbagai karakter, kepribadian, perasaan dan suasana hati peserta didik yang hadir di sekolah untuk belajar bersama dapat ditangani oleh guru yang mampu mengajari. Mengajari adalah peran guru yang sangat besar untuk dapat menyalurkan materi kepada setiap peserta didik sehingga mereka dapat mengerti materi yang sedang dipelajari. Guru harus mampu memberi perhatian dan melakukan pendekatan kepada setiap peserta didik yang kesulitan dalam belajar.
Peserta didik tidak serta merta diberikan materi saja tanpa ada contoh apalagi contoh nyata dalam kehidupan (Kontekstual Learning). Guru wajib memberikan banyak contoh yang berkaitan dengan materi yang sedang dipelajari. Pak Herbert selalu menekankan, beri minimal 5 contoh dalam setiap materi agar peserta didik benar-benar dapat menyerap ilmu.Â
Pesannya, jangan memberikan contoh kepada peserta didik apabila tidak ada bentuk nyatanya, sehingga peserta didik hanya dapat menerawang dan menghayalkan saja contoh tersebut. Guru harus mampu menghadirkan contoh nyata yang aplikatif dan dapat dipahami dengan sederhana oleh peserta didik.