"Menurut hamba orang yang baik adalah orang yang berbudi luhur mau menolong yang susah dan kasih sayang terhadap sesama. Sedangkan orang yang buruk adalah orang yang tak menaruh belas kasih dan tak berperikemanusiaan."
        "Benar, sekarang apakah yang tinggi ilmu itu orang yang pandai membaca kitab atau ngaji, orang alim atau karena keturunan?"
        "Menurut hamba orang yang berilmu tinggi bukan karena ia pintar ngaji. Sebab meskipun pintar ngaji, ilmunya tinggi tetapi kalau pikirannya takabur suka ingkar janji, dia bukan orang alim dan bukan pula orang baik, jawabnya.
        "Jawabanmu semua benar. Sekarang pilih salah seorang mana yang harus aku hidupkan kembali," kata suara itu. Yudhistira tampak bingung siapa yang harus ia pilih. Menurut kata hati Arjunalah pilihannya. Selain satu ibu, dia merupakan andalan jika ada kerusuhan. Tapi pilhan itu segera hilang dari ingatannya, manakala pertimbangan rasa tertuju kepada si kembar yang sudah tidak beribu. Jika memilih Arjuna, selain akan sedih arwahnya, juga sangat tak adil. Maka akhirnya pilihan jatuh kepada Nakula yang segera disampaikan kepada si penunggu kolam. "Hamba memilih Nakula, tuan," "Mengapa engkau memilih Nakula. Bukankah Arjuna lebih penting untuk tenaga andalanmu, lagi pula seibu?" Tanya suara itu.
        "Bagi hamba bukan soal penting atau tidaknya, tetapi keadilannya. Dengan memilih Nakula, maka kedua ibu hamba akan sama-sama merasa senang. Dari ibu Kunti kehilangan Arjuna, sendangkan ibu Madrim kehilangan Sadewa. Bukankah pilihan itu cukup adil," jawab Yudhistira.
        "Benar-benar engkau kekasih Yang Manon. Kau manusia berbudiluhur, sabar dan cinta keadilan. Tapi mengapa engkau lebih berat kepada adil dari pada kasih sayang?" tanyanya lagi.
        "Sebab adil harus jauh dari sifat serakah. Jika hanya kasih atau sayang saja, maka ia akan menyalahkan yang benar membenarkan yang salah. Yang buruk seperti bagus, yang kotor seperti bersih, yang dilihat hanya bagusnya saja. Wataknya masih suka menghilangkan kebenaran mengaburkan penglihatan," Yudhstira menegaskan pendiriannya. Suara itu tak menjawab lagi, sebagai gantinya Batara Dharma, dewa keadilan, telah berdiri dihadapan Yudhistira seraya bersabda: "Anakku, engkau benar-benar mustika ning manusia. Sebagai imbalannya ketiga saudaramu akan kuhidupkan kembali," tukasnya, yang tak lain adalah suara tanpa rupa tadi.
        Betapa gembiranya Yudhistira dapat berkumpul kembali dengan adik-adiknya. Kemudian mereka menlanjutkan pengembaraannya menyusuri hutan-hutan belantara dengan tabah dan tawakal.
(KantiWalujo)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H