Mohon tunggu...
Yohanes Tegar Krisnanda
Yohanes Tegar Krisnanda Mohon Tunggu... Mahasiswa - Hello there

Just a regular boy living a regular life

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Sila Ke-1 dan Implikasinya Terhadap Potensi Kemunculan Gerakan Separatis

27 Oktober 2022   16:04 Diperbarui: 27 Oktober 2022   18:18 93
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pendahuluan

Dalam sejarah Indonesia telah terjadi beberapa gerakan separatis yang didasari agama. Salah satu gerakan tersebut adalah DI/TII yang menginginkan Indonesia menjadi negara muslim. Pada zaman modern ini, kita dapat melihat bibit kemunculan kembali gerakan seperti DI/TII melalui organisasi Hizbut Tahrir Indonesia atau kerap disebut HTI. HTI terbentuk sekitar tahun 1980 ketika pimpinan pesantren Al-Gazhali Bogor KH Abdullah bin Nuh bertemu dengan aktivis Hizbut Tahrir di Sydney, Australia, yaitu Syaikh Abdurrahman al Baghdadiy.

HTI memiliki 3 tahapan dakwah yang mereka terapkan, yaitu; pembinaan dan pengkaderan yang berguna untuk membentuk kader-kader yang mempercayai pemikiran dan metode Hizbut Tahrir. Tahap berinteraksi dengan umat yang bertujuan untuk umat menjadikan Islam sebagai permasalahan utamanya dan berjuang untuk mewujudkannya dalam realitas kehidupan. Tahap terakhir adalah penerimaan kekuasaan yang dilaksanakan untuk menerapkan Islam secara menyeluruh dan mengemban risalah Islam ke seluruh dunia.

Rumusan Masalah

Organisasi HTI telah resmi dibubarkan pada tanggal 19 Juli 2017 lalu dengan pencabutan status badan hukum organisasi kemasyarakatannya. Pencabutan tersebut didasari oleh ketidaksesuaian nilai HTI terhadap asas, ciri dan sifat ormas seperti yang dinyatakan pada Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan (UU Ormas), yaitu "tidak bertentangan dengan Pancasila dan UUD 1945". HTI dianggap mendakwahkan doktrin negara khilafah yang berpotensi menimbulkan benturan dalam masyarakat sehingga mengancam keamanan dan ketertiban masyarakat serta kesatuan NKRI. 

Kerangka Pemikiran

Melalui dakwah yang mereka sebarkan, HTI menciptakan kerancuan terhadap identitas individu. Kerancuan tersebut didasari oleh adanya perbedaan kepercayaan individu dengan dakwah kelompok yang mereka dengar. Untuk lebih memahami mengenai kerancuan identitas dalam individu, saya memilih teori social identity yang dicetuskan oleh Richard Jenkins.

Social identity merupakan teori yang menjelaskan cara kerja identifikasi dalam proses sosialisasi baik secara individu, interaksi, maupun institusi. Teori ini mengukur identitas sosial masyarakat berdasarkan kewarganegaraan, kelompok, dan suku. Social identity ditujukan untuk menganalisa bagaimana individu dan kelompok dapat mempengaruhi terbentuknya suatu pandangan umum yang dianut oleh mayoritas masyarakat (Jenkins, 2014:7). Ada tiga pendekatan dalam teori social identity yang dapat disimpulkan sebagai berikut:  

  • Personal Identity : Personal identity memungkinkan individu untuk membedakan dirinya dari individu lain melalui pemikiran bahwa setiap individu memiliki keunikannya masing-masing.
  • Group Membership : Group membership membantu individu untuk melakukan proses kategorisasi kelompok dan evaluasi diri. Hal ini terkadang dinilai sebagai justifikasi yang cukup bagi individu untuk mendiskriminasi individu lain yang tidak tergolong dalam kelompoknya.
  • Individuals : Adanya stereotip bagi individu membantu mereka untuk mendefinisikan dirinya dan membantu proses self-categorizing yang akan membantu mereka menemukan kelompok yang cocok dengan individu tersebut

Kerangka Analisis

Dakwah yang disebarkan oleh HTI menimbulkan sebuah ancaman bagi identitas individu. Ancaman tersebut dapat dilihat melalui pendekatan personal identity dan group membership yang ada dalam social identity. Perlu diperhatikan bahwa tindak dakwah yang dilakukan HTI pada dasarnya tidak melanggar undang-undang selama dakwah tersebut tidak berusaha untuk meradikalisasi umat beragama. Namun pada praktiknya, telah terbukti bahwa dakwah yang disebarkan HTI lebih mengarah terhadap doktrin bagi umat beragama untuk bersatu melawan individu yang berbeda dari ajaran agamanya.

Doktrin tersebut menciptakan sebuah kerancuan bagi identitas individu. Kerancuan tersebut membuat seorang individu tidak dapat menentukan personal identity-nya secara jelas dan kehilangan pemikiran bahwa setiap individu unik dan berbeda. Akar dari permasalahan ini adalah tekanan eksternal yang besar terhadap individu sehingga mereka tidak dapat menentukan identitasnya sendiri. Melalui dakwah khilafah yang disebarkan HTI, mereka memberikan tekanan bagi identitas individu serta mengubah pemikiran mereka mengenai kehidupan dalam keberagaman.

Pengaruh HTI tidak hanya terbatas melalui tekanan eksternal mereka terhadap identitas individu. Seperti yang dinyatakan dalam pendekatan group membership, keanggotaan seorang individu dalam kelompok membantu mereka untuk melakukan proses kategorisasi dan seringkali dianggap sebagai justifikasi untuk melakukan tindak diskriminasi bagi individu yang tidak termasuk dalam kelompok mereka. HTI memberikan dakwah yang meradikalisasi pengikutnya untuk berpikir bahwa individu yang tidak mengikuti ajaran Islam seperti yang mereka ajarkan tidak boleh ada di Indonesia.

Tindakan HTI tersebut secara jelas didasari oleh motif agama. Penulis beropini bahwa dengan adanya Sila ke-1 yang berbunyi "Ketuhanan Yang Maha Esa" masyarakat dapat dengan bebas memilih untuk beragama dan bisa terjatuh dalam fanatisme atau radikalisme. Ketika seorang individu yang fanatik terhadap agama tertentu disatukan ke dalam satu kelompok, besar kemungkinan untuk kelompok tersebut membuat gerakan yang ingin mengubah cara kerja suatu sistem yang ada. Dalam konteks ini, HTI menginginkan Indonesia menjadi negara khilafah. Hal yang diinginkan oleh HTI tersebut dapat digolongkan sebagai gerakan separatis dikarenakan tidak sesuai dengan nilai-nilai lain dalam Pancasila. Sila ke-1 dalam jangka panjang dapat menimbulkan munculnya gerakan-gerakan separatis yang berdasarkan agama dikarenakan implikasi kebebasan beragama yang diberikan oleh Sila tersebut.

Kesimpulan

Sila ke-1 yang bertujuan untuk menumbuhkan iman serta kepercayaan individu terhadap Tuhan justru menjadi salah satu ancaman bagi Indonesia dikarenakan adanya penganut paham radikal dan fanatik yang menyalahgunakan agama sebagai suatu alat untuk mengumpulkan massa. Contoh konkritnya adalah kelompok HTI yang secara resmi sudah dibubarkan namun masih terlihat bibit-bibitnya dalam masyarakat Indonesia. Dakwah HTI yang mendorong para pengikutnya untuk menjadikan Indonesia negara khilafah memiliki potensi untuk berkembang menjadi gerakan separatis layaknya DI/TII. Salah satu langkah yang dapat diambil pemerintah untuk meredam kemungkinan tersebut adalah dengan edukasi masyarakat serta pengawasan yang lebih ketat terhadap dakwah yang diberikan oleh ulama terhadap masyarakat Indonesia.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun