Kuatnya pengaruh kukungan budaya patriarki, sehingga nilai-nilai demokrasi yang menjadi pengimbang kedudukan antara laki-laki dan perempuan di saat pementasan Pilkades justru semakin tergerus dan tergelincir. Akibatnya, posisi perempuan di dalam panggung perhelatan politik pilkades semakin terdepak. Seakan-akan Perempuan dinilai tidak mampu dan tidak memiliki kapasitas lebih untuk menjadi seorang pemangku kebijakan dan kepentingan di desa.
Fenomena ini jika dibiarkan begitu saja, justru menjadi sebuah kenyataan pahit bagi hak-hak politik perempuan di NTT. Penyempitan ruang gerak dan partisipasi politik perempuan di desa-desa di NTT justru melahirkan kesenjangan sosial, di mana kepentingan-kepentingan perempuan tidak diakomodasi dengan baik di dalam kebijakan-kebijakan pemerintah desa, sehingga program-program penyelengaraan berbasis pemberdayaan perempuan, tidaklah berjalan sebagaimana mestinya.Â
Pada akhirnya, proses pemilihan kepala desa tidak lagi berpatokan pada arah dan cita-cita demokrasi, melainkan hanya sekedar perhelatan politik patriarkis semata. Panggung politik seolah-olah hanya milik laki-laki dan mendiskreditkan posisi perempuan. Ini adalah cermin nyata ketidakadilan politik bagi perempuan di NTT.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H