"Catatan kecil ini sedikit memberi komentar sekaligus evaluasi terhadap realitas pelaksanaan pemilihan kepala desa di NTT yang barang kali para kontestan Pilkades sebagian besar didominasi oleh Paslon laki-laki dari pada perempuan. Hal ini tentu menandakan matinya hak-hak politik perempuan untuk dipilih dalam sebuah proses pemilihan kepala desa. Akibatnya, kepentingan-kepentingan perempuan sebagian besar tidak terakomodasi di dalam kebijakan-kebijakan pemerintah desa. Sehingga program-program pemberdayaan perempuan di desa-desa banyak yang tidak berjalan sebagaimana mestinya".
Di dalam pandangan politik, Indonesia adalah negara demokrasi. Hal ini memberi pemahaman sekaligus penegasan bahwa setiap orang berhak untuk memilih dan dipilih di dalam sebuah proses pemilihan kepala daerah, dalam hal ini adalah pemilihan kepala desa (Pilkades).Â
Sejenak menengok realitas pemilihan kepala desa di NTT, termasuk di dalamnya desa-desa di Kabupaten Manggarai Timur, barang kali terasa hambar, apabila partisipasi politik perempuan untuk mencalonkan diri sebagai salah satu Paslon di pilkades sangat sedikit bahkan tidak ada.Â
Hal ini bisa kita lihat di lapangan. Sebagai contoh, penyelenggaraan Pilkades di desa-desa di kabupaten Manggarai Timur beberapa waktu lalu. Tidak ada satupun calon perempuan yang berani berunjuk visi dan misi di dalam pertarungan pemilihan kepala desa.
Fenomena ini bukalah gambaran perhelatan politik yang ideal, sebab ruang politik seolah-olah diakuisisi dan menjadi milik laki-laki dan jauh dari rangkulan partisipasi politik perempuan. Â
Entah, apa yang melatarbelakangi sebegitu minimnya partisipasi perempuan di dalam sebuah perhelatan politik, yang jelas aktualisasi politik semacam itu bukanlah gambaran dari sebuah kedaulatan demokrasi yang sesungguhnya.Â
Demokrasi yang baik adalah terjaminnya pelaksanaan hak-hak politik warga negara berdasarkan kaidah-kaidah hukum dan unsur-unsur politik yang berlaku. Pelaksanaan hak-hak politik itu salah satunya teraktualisasi di dalam proses pemilihan kepala desa yang menghendaki kedudukan setara antara partisipan perempuan dan partisipan laki-laki tanpa ada embel-embel diskriminasi atau kecurangan politik terhadap perempuan.
Ketidakikutsertaan perempuan di dalam pencalonan kepala desa dalam proses  pemilihan kepala desa di provinsi NTT tentu dilatarbelakangi oleh berbagai hal, salah satu yang paling menonjol adalah fakor budaya patriarki yang masih melekat kuat dalam kehidupan masyarakat adat NTT.Â
Patriarkisme di NTT telah mendarah daging di setiap jantung kehidupan budaya dan adat kebiasaan, sehingga tak heran, kaum perempuan diperlakukan layaknya kelas atau golongan ke dua di bawah superioritas kelas laki-laki.Â