Mohon tunggu...
Yohanes Djanur
Yohanes Djanur Mohon Tunggu... Freelancer - Mahasiswa

Penulis Lepas. Menyukai sastra dan politik.

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Pilkades dan Bahaya Politik Primodial

18 Juni 2021   14:56 Diperbarui: 18 Juni 2021   15:05 495
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Hajatan demokrasi terkait pemilihan kepala desa serentak 2021 di beberapa daerah di Indonesia sudah di ambang pintu. Menurut informasi yang beredar, pilkades serentak di sejumlah daerah di Indonesia akan diadakan pada Juli 2021 mendatang dan tetap memperhatikan protokol kesehatan pencengahaan COVID-19.

 Dalam skala ini, euforia politik akar rumput mulai didengungkan lantaran pemilihan kepala desa serasa seperti pemilihan presiden, di mana masyarakat begitu antusias dan bersemangat melaukan perbincangan politik, meskipun dalam skala lokal/desa serta bagaimana desa diposisikan sebagai garda terdepan di dalam formasi pembangunan nasional. Untuk itu, kehadiran penyelenggaraan pilkades begitu menyedot perhatian publik. 

Namun, dalam kenyataannya bahwa banyak hal yang perlu dievaluasi terkait proses penyelenggaraan pilkades di desa, salah satu yang menjadi perhatian penulis ialah terkait fenomena politik primodial yang mengakar kuat di dalam kehidupan politik masyarakat desa. Lantas, apa yang dimaksud politik primodial?

Primordil atau Primordialisme berasal dari kata Bahasa Latin 'primus', yang artinya 'pertama'; dan 'ordiri', yang artinya 'tenunan atau ikatan'. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), primordialisme adalah perasaan kesukuan yang berlebihan.

Dengan demikian, secara sederhana politik primodial dalam konteks pilkades merupakan suatu bentuk praktik politik di mana identitas kesukuan atau ikatan darah menjadi pertimbangan utama seseorang untuk memilih seorang pemimpin. Memilih oleh karena satu suku atau satu ikatan kekeluargaan. 

Prakitik politik semacam ini tentu dapat mempersempit ruang gerak demokrasi, di mana setiap orang berhak dan bebas memilih calon pemimpin yang berintegritas, berkualitas serta berloyalitas tinggi atau sungguh-sungguh mengapdi untuk kepentingan masyarakat umum. 

Selain itu, praktik politik primodial dapat membawa bahaya laten di masyarakat oleh karena eklusifitas, di mana kelompok atau suku yang satu lebih unggul, lebih banyak dari segi jumlah, lebih pintar atau lebih cocok memimpin ketimbang suku-suku yang lain.

Praktik politik semacam ini menyebakan pola interkasi dan komunikasi masyarakat menjadi terfragmentasi atau terpecah-pecah, sehingga menimbulkan kesalahpahaman bahkan sampai kepada pertikaian antara kelompok yang berkepentingan. 

Perbedaan pandangan atau pilihan politik tidak lagi dianggap biasa melainkan sesuatu bentuk persaingan yang dapat melahirkan perpecahan dan konflik sosial. Tak heran, ajang pemilihan kepala desa tidak lagi sebagai ajang demokrasi melainkan ajang "tawuran" politik dan kepentingan kelompok, suku atau golongan tertentu. 

Praktik politik primodial semacam ini pada akhirnya membias ke mana-mana. Tidak hanya pada proses penyelenggaraan pilkades melainkan juga pacsa pilkades. 

Tak dapat dipungkiri bahwa sosok pemimpin yang dihasilkan melalui proses pemilihan kepala desa tentu membawa dampak lansung bagi proses perkembangan dan pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan desa. Dalam tataran ini, banyak kepala desa yang lahir dari praktik politik primodial yang pada kenyataannya tidak bisa berbuat banyak bagi pertumbuhan, perkembangan dan kemajuan desa. 

Hal ini disebabkan karena masyarakat memilih bukan berdasarkan perhitungan rasional (loyal atau tidak, jujur atau tidak, dapat dipercaya atau tidak, mampu atau tidak) melainkan memilih berdasarkan preferensi Primodialisme yang tinggi ( dia om saya, dia keluarga saya, dia satu suku dengan saya). 

Aktualisasi politik semacam ini tentu memberi luka bagi proses demokrasi di Indonesia terlebih khusus di desa-desa. Selain memberi pengaruh buruk bagi proses pelaksanaan pemilihan kepala desa, praktik politik primodial  dapat mengancam proses pembangunan desa yang mengakibatkan pembangunan nasional menjadi terhambat. 

Ancaman itu terwujud di dalam ruang kekuasaan, di mana jabatan kepala desa diakusisi dan dijadikan alat untuk "memukul" kelompok lain, misalnya melalui program-program desa yang lebih mendukung kelompok atau golongannya, KKN, serta ketidakmerataan pembangunan di sekor ekonomi fisik, seperti jalan, jembatan dan akses terhadap air bersih. Hal-hal semacam ini bukan tidak mungkin terjadi. Sebab pemimpin yang lahir dari budaya priomodialisme yang  tinggi tentu berpotensi memunculkan penyalagunaan kekuasaan, akibat dari realitas perpecahan dan dendam politik di masyarakat.

Memilih oleh karena faktor primodial hemat penulis merupakan gaya politik lama yang harus diubah ke dalam suatu bentuk pemahaman dan praktik politik yang demokratis. Di mana, kebebasan di dalam sudut pandang dan pilihan politik sangat dihargai demi melahirkan bibit-bibit pemimpin yang unggul dan loyal terhadap kepentingan masyarakat umum.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun