Mohon tunggu...
Yopiklau
Yopiklau Mohon Tunggu... Lainnya - Penyuka hal-hal sederhana

Banyak keajaiban tersembunyi dalam kesederhanaan

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Sikap-sikap Beragama Yang Berbahaya

30 Januari 2025   15:50 Diperbarui: 30 Januari 2025   15:50 44
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber Gambar: iStock

Berdasarkan data per semester 1 2024 dari Direktorat Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil (Ditjen Dukcapil) Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri), jumlah penduduk Indonesia yang beragama Islam 87,08%, Protestan 7,40%, Katolik 3,07%, Hindu, 1,68%, Budha 0,71%, dan Khonghucu 0,03%. Penduduk yang tidak menganut agama, tetapi menganut kepercayaan berjumlah 0,03%. Persentasi tersebut dipetakan berdasarkan total 282.477.584 jumlah penduduk Indonesia.

Mengamati data itu tampaknya selalu relevan untuk berbicara tentang agama di Indonesia. Negara ini mengakui secara resmi 6 agama besar; yakni Islam, Protestan, Katolik, Hindu, Budha, Khonghuchu. Masyarakat Indonesia pada umumnya menganut salah satu dari enam agama tersebut. Sebagian kecil saja yang berkepercayaan tradisional.

Beragama sesungguhnya bukan saja untuk mengatur relasi dengan yang ilahi. Beragama pun perlu untuk kebaikan relasi intra personal (relasi dengan diri sendiri) dan inter personal (relasi dengan pribadi lain). Bahkan lebih dari itu, agama seharusnya menjadi inspirasi positif untuk membangun relasi konstruktif dengan alam semesta.

Idealisme itu sering bertolak belakang dengan fakta yang terjadi. Kita tentu pernah mendengar orang yang nekat membunuh diri sendiri karena menjalankan doktrin agamanya. Ada juga orang yang membunuh orang beragama lain demi membela agamanya sendiri. Ada pula orang yang mengekploitasi alam secara brutal karena kitab sucinya 'melegalkan' hal itu.

Dalam artikel berjudul The Historical Roots of Our Ecological Crisis (1967), Lynn White pernah mengungkapkan bahwa tulisan Kej. 1:26-28  sebagai basis pemikiran kristiani atas alam merupakan penyebab kerusakan alam oleh tangan manusia. Berpegang pada tulisan suci itu membuat banyak orang menempuh cara bertindak yang keliru terhadap alam. Akibatnya, alam sekadar menjadi objek nafsu manusia. Sampai di sini kita harus sadar, ternyata beragama secara tekstual dapat menimbulkan bahaya bila tidak dimbangi dengan sikap kritis.

Lalu, bagaimana sejatinya kita beragama? Apakah cukup dengan menerapkan secara sempurna semua perintah dan larangan berdasarkan kitab suci? Apakah dengan tekun mempelajari seluruh kaidah agama? Apakah dengan selalu berbuat baik? Ulasan dari J. Sudrijanta bisa menjadi jawaban atas pertanyaan-pertanyaan itu. Dalam bukunya PENCERAHAN: Kebenaran, Cinta, dan Kearifan Melampaui Dogma, Sudrijanta menggarisbawahi pentingnya mewaspadai beberapa standar ekstrim beragama yang pada kenyataannya justru berbahaya untuk kehidupan.

Pertama, ritualisme atau pietisme. Orang beragama yang jatuh pada ritualisme atau pietisme cenderung merasa bersalah kalau tidak menunaikan kewajiban ritual agamanya. Ia mudah menilai dirinya sebagai pendosa karena lalai melaksanakan ritual. Kalau orang lain yang menyebabkan itu, maka ia akan memarahi dan menyalahkan orang lain itu.

Ritualisme dalam beragama juga terlihat pada orang yang menjalankan ritual dengan serius dan sebisa mungkin sempurna. Tata gerak dan ucapan yang diharuskan dalam sebuah ritual agama akan dia lakukan secara sempurna. Jika ada yang keliru, ia akan merasa bersalah.

Ia juga akan memberi hormat lebih istimewa kepada orang lain yang tampak lebih saleh. Bukan hanya Tuhan yang ia hormati secara istimewa, tapi orang 'saleh' yang rajin menjalankan ritual juga sangat dihormatinya.

Kedua, quietisme. Orang yang berpegang pada quietisme lebih menyukai doa yang hening daripada ramai. Dalam kebisingan, ia tidak bisa berdoa. Jika ada orang lain yang membuat kebisingan saat ia sedang berdoa, ia akan marah.

Ia juga lebih mengharapkan kedamaian batin daripada pemuasan intelektual. Tidak penting baginya memahami ajaran-ajaran agama. Yang paling penting ada rasa damai di hati. Ia menentang berbagai pertanyaan yang berseliweran di pikiran karena hanya mengganggu kedamaian batinnya.

Ia lebih nyaman berada sendirian daripada berkegiatan bersama orang lain. Ia anti sosial. Ia suka keheningan untuk kepuasan dirinya sendiri, bukan untuk mentransformasi kehidupan bersama dengan yang lain.

Ketiga, rasionalisme. Orang yang berpegang pada rasionalisme sulit percaya pada kebenaran tanpa penalaran atau argumen yang kuat. Baginya, beriman harus bisa dijelaskan secara nalar. JIka ada ajaran yang tidak sanggup dinalarnya berarti ajaran itu tidak patut ia terima.

Ia berusaha menguasai semua ajaran agamanya. Ukuran beragama baginya adalah pemahaman yang mendalam dan lengkap tentang ajaran agama. Ia sangat haus untuk mengerti kebenaran iman secara intelektual. Ia hanya didorong untuk memahami kebenaran secara intelektual, bukan aktual.

Keempat, aktivisme. Cukup berlawanan dengan quietisme dan ritualisme, aktivisme tampak pada orang yang sangat banyak berkegiatan tetapi lupa berdoa. Ia tidak bisa tenang dan membenci keheningan. Ia merasa tidak penting berdoa dan berdiam diri. Itu hanya membuang-buang waktu menurutnya.

Ia lebih memilih terlibat dalam aksi nyata perdamaian, keadilan, kesejahteraan, daripada berteori atau berpikir tentang hal-hal itu. Ia sibuk melakukan aksi nyata, tapi tidak melakukan evaluasi dan refleksi atas karyanya. Akhirnya ia kerap merasa kehabisan energi dan kurang pemulihan.

Sikap-sikap di atas menurut Sudrijanta merupakan jebakan halus yang sebenarnya hanya demi memuaskan ego dalam diri, bukan demi kebaikan bersama dalam kehidupan ini. Ego itu sulit ditangkap karena selalu berlindung di balik pemuliaan tradisi dan tulisan suci sebuah agama.

Jika Anda dan saya beragama, mari kita menyadari jebakan-jebakan itu agar kita luput dari bahayanya. Beragama bukan saja untuk kepuasan diri sendiri, tetapi agar kita bisa serupa dengan karya seni. Sebagaimana kata Haryatmoko: "jadilah orang beragama seperti sebuah karya seni, yang bisa dinikmati oleh semua orang"

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun