Berdasarkan data per semester 1 2024 dari Direktorat Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil (Ditjen Dukcapil) Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri), jumlah penduduk Indonesia yang beragama Islam 87,08%, Protestan 7,40%, Katolik 3,07%, Hindu, 1,68%, Budha 0,71%, dan Khonghucu 0,03%. Penduduk yang tidak menganut agama, tetapi menganut kepercayaan berjumlah 0,03%. Persentasi tersebut dipetakan berdasarkan total 282.477.584 jumlah penduduk Indonesia.
Mengamati data itu tampaknya selalu relevan untuk berbicara tentang agama di Indonesia. Negara ini mengakui secara resmi 6 agama besar; yakni Islam, Protestan, Katolik, Hindu, Budha, Khonghuchu. Masyarakat Indonesia pada umumnya menganut salah satu dari enam agama tersebut. Sebagian kecil saja yang berkepercayaan tradisional.
Beragama sesungguhnya bukan saja untuk mengatur relasi dengan yang ilahi. Beragama pun perlu untuk kebaikan relasi intra personal (relasi dengan diri sendiri) dan inter personal (relasi dengan pribadi lain). Bahkan lebih dari itu, agama seharusnya menjadi inspirasi positif untuk membangun relasi konstruktif dengan alam semesta.
Idealisme itu sering bertolak belakang dengan fakta yang terjadi. Kita tentu pernah mendengar orang yang nekat membunuh diri sendiri karena menjalankan doktrin agamanya. Ada juga orang yang membunuh orang beragama lain demi membela agamanya sendiri. Ada pula orang yang mengekploitasi alam secara brutal karena kitab sucinya 'melegalkan' hal itu.
Dalam artikel berjudul The Historical Roots of Our Ecological Crisis (1967), Lynn White pernah mengungkapkan bahwa tulisan Kej. 1:26-28 Â sebagai basis pemikiran kristiani atas alam merupakan penyebab kerusakan alam oleh tangan manusia. Berpegang pada tulisan suci itu membuat banyak orang menempuh cara bertindak yang keliru terhadap alam. Akibatnya, alam sekadar menjadi objek nafsu manusia. Sampai di sini kita harus sadar, ternyata beragama secara tekstual dapat menimbulkan bahaya bila tidak dimbangi dengan sikap kritis.
Lalu, bagaimana sejatinya kita beragama? Apakah cukup dengan menerapkan secara sempurna semua perintah dan larangan berdasarkan kitab suci? Apakah dengan tekun mempelajari seluruh kaidah agama? Apakah dengan selalu berbuat baik? Ulasan dari J. Sudrijanta bisa menjadi jawaban atas pertanyaan-pertanyaan itu. Dalam bukunya PENCERAHAN: Kebenaran, Cinta, dan Kearifan Melampaui Dogma, Sudrijanta menggarisbawahi pentingnya mewaspadai beberapa standar ekstrim beragama yang pada kenyataannya justru berbahaya untuk kehidupan.
Pertama, ritualisme atau pietisme. Orang beragama yang jatuh pada ritualisme atau pietisme cenderung merasa bersalah kalau tidak menunaikan kewajiban ritual agamanya. Ia mudah menilai dirinya sebagai pendosa karena lalai melaksanakan ritual. Kalau orang lain yang menyebabkan itu, maka ia akan memarahi dan menyalahkan orang lain itu.
Ritualisme dalam beragama juga terlihat pada orang yang menjalankan ritual dengan serius dan sebisa mungkin sempurna. Tata gerak dan ucapan yang diharuskan dalam sebuah ritual agama akan dia lakukan secara sempurna. Jika ada yang keliru, ia akan merasa bersalah.
Ia juga akan memberi hormat lebih istimewa kepada orang lain yang tampak lebih saleh. Bukan hanya Tuhan yang ia hormati secara istimewa, tapi orang 'saleh' yang rajin menjalankan ritual juga sangat dihormatinya.
Kedua, quietisme. Orang yang berpegang pada quietisme lebih menyukai doa yang hening daripada ramai. Dalam kebisingan, ia tidak bisa berdoa. Jika ada orang lain yang membuat kebisingan saat ia sedang berdoa, ia akan marah.