Pagi ini mentari seakan malu tersembul. Padahal sudah sejam lebih aku berada di lahan sayuranku, tempat sehari-hari aku mencari rejeki. Biasanya jam begini kulitku sudah mulai panas terbakar. Namun, pagi ini agak berbeda. Di atas sana langit pekat. Kabut tebal menggantung.
Seminggu belakangan cuaca di sini semakin panas, hampir seperti di Gurun Sahara. Daerah ini memang jarang hujan. Bahkan ketika daerah-daerah lain sedang basah diguyur hujan, di sini justru tubuh basah karena bermandi peluh. Sebetulnya orang-orang di sini juga tak sungguh berharap datangnya hujan, karena hujan hanya membawa petaka. Atap gubuk kami sudah berlubang dimakan usia, sehingga air hujan pasti menetes masuk ke dalam rumah. Petaka hujan bertambah besar kalau sampai terjadi banjir. Kami tak bisa lari kemana-mana, hanya pasrah dikepungnya.
Cuaca seperti pagi ini sudah lama aku tunggu. Mendung tanpa hujan disertai angin sepoi-sepoi, yang membuat aku terbawa pada memori tentang dinginnya kampung halamanku. Kampung tanpa kulkas dan pendingin ruangan karena alam sudah membuatnya dingin. Kampungku terletak di kaki bukit. Persis di belakangnya terdapat ribuan hektar kebun kopi dan pepopohanan besar yang tumbuh memenuhi bukit. Dari bukit itu mengalir beberapa sungai kecil untuk mengairi hamparan sawah yang terbentang di depan kampung. Hutan, sungai dan sawah adalah tempat faforitku sewaktu masih kecil. Di hutan kami mencari kayu bakar. Di sawah kami mencari ikan dan katak. Di sungai kami mandi kalau lelah memancing ikan. Terbersit rasa rindu bila mengenang kembali pengalaman masa kecil. Ingin mengembalikan waktu ke saat itu, tapi aku sadar kehidupan ini tak pernah berjalan mundur. Ia terus maju tanpa menunggu persetujuan siapapun.
Sejak beberapa tahun lalu aku harus meninggalkan kampungku untuk mencari rejeki di sini. Seringkali aku merasa tak tahan dengan beratnya kehidupan di sini. Ingin pulang, tapi orangtuaku sudah tiada. Tanah warisan orangtuaku pun sudah habis terjual karena tuntutan ekonomi. Kalau pulang sekarang, paling-paling aku harus numpang di rumah kakakku yang sudah berkeluarga. Kebetulan kami hanya dua bersaudara. Aku malu kalau pulang tanpa membawa uang lalu tinggal bersama mereka. Jadi, aku putuskan tetap di sini saja hingga dewi fortuna memihak hidupku nanti. Aku di sini bersama tetangga-tetangga yang terus merintih dan mengeluh tentang nasib sebagai kaum pinggiran. Kaum yang menjadi sasaran banjir kalau hujan berhari-hari, atau bermandi keringat tatkala kemarau tiba.Â
Sehari-hari kami bekerja sebagai petani sayuran. Kami menyewa lahan orang, dan setiap tahun wajib membayar, tidak peduli hasil panen memuaskan atau tidak. Kami merantau dari kampung masing-masing untuk mengadu nasib di sini, berharap keadaan sedikit membaik. Sayangnya, bertahun-tahun sudah berlalu tapi keberuntungan tak juga datang. Nasib sebagai kaum pinggiran di seberang selokan masih menjadi milik kami.
Kami sering kesepian. Agak ramai sedikit kalau menjelang Pemilu. Banyak orang asing yang tiba-tiba menyambangi gubuk reot kami. Mereka datang dengan mobil mewah yang diparkir agak jauh dari sini. Katanya supaya mereka bisa berjalan kaki di lorong permukiman sambil direkam dan difoto. Saat mereka menemui kami pun banyak wartawan yang sibuk memfoto. Kami sebenarnya malu karena difoto dalam keadaan kumal. Pakaian compang-camping disertai wajah lesu terbakar matahari. Anehnya, mereka suka keadaan kami yang begitu. Kamera para wartawan tiada henti tersorot ke arah kami. Â Aku coba menyembunyikan muka tapi mereka tidak peduli. Memang agak aneh, tapi begitulah kenyataannya. Kemudian baru aku paham ternyata kami ikut difoto untuk menaikkan citra mereka. Dengan itu publik menganggap mereka sebagai pemimpin yang merakyat karena rela turun untuk merasakan bau keringat dan sengsara rakyat. Padahal itu hanya sandiwara demi mendulang suara.
Para calon penguasa juga membuatkan pesta untuk menghibur kami. Mereka coba membuat kami tercabut sesaat dari pilunya kehidupan. Kemudian masing-masing kami disawer dengan selembar uang merah. Kami tak ubahnya dengan penyanyi biduan yang rela bergoyang untuk memuaskan naluri lelaki mata keranjang. Tidak cukup uang selembar, mereka juga memberi kami sekantong sembako. Tentu saja kami menerima semuanya karena kami sangat butuh. Rejeki nomplok ngapain ditolak. Namun, syaratnya adalah kami wajib memilih mereka. Ironisnya, apabila berhasil terpilih, mereka tak pernah muncul lagi sampai selesai memimpin.Â
Selain menjelang Pemilu, kami juga dikunjung pejabat kalau sedang terjadi banjir. Misalnya tahun lalu ketika kami dilanda banjir kiriman karena hujan deras di tempat lain. Volume air tak tertampung di selokan ini. Akibatnya banjir menggenangi gubuk. Air sudah mulai meninggi sejak subuh, ketika kami baru saja merasakan indahnya mimpi. Biasanya kami sulit tidur lebih cepat. Entah saat musim hujan maupun saat kemarau, karena rasa gerah selalu setia menemani. Kami tidak punya pendingin kamar, sehingga kami baru bisa tidur kalau rasa kantuk tak tertahankan lagi.Â
Sebelum itu, kami mengisi malam dengan nongkrong di pos kamling atau hanya di beranda gubuk. Di situ kami ngobrol apapun, bahkan yang tak penting sekalipun. Sesekali kami tertawa, sesekali serius, dan kemudian rasa kantuk datang. Itu kami lakukan setiap malam sampai menjelang subuh. Jadi bisa dibayangkan bagaimana kesehatan kami. Makan seadanya, tidur cuma sebentar, tapi harus bekerja keras dari pagi hingga sore.Â
Itulah kenyataan yang kami alami sehari-hari. Entah kapan ini berakhir. Pemimpin baru sudah terpilih, tapi nasib kami tak kunjung beralih. Kami masih sebagai warga seberang selokan yang menjadi sasaran banjir ketika musim hujan atau panas yang menyengat ketika kemarau datang.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H