Epikuros mulanya menggantungkan sebuah pertanyaan terkait kedudukan filsafat dan etika yang mesti mengabdi kehidupan. Ia bertanya tentang makna dan kemungkinan ulltim kehidupan. Untuk sementara ia menjawab: "hidup sesuai kodrat manusia". Hidup menurut kodrat yang ia maksudkan adalah hidup bebas dengan sedapat mungkin mencari kesenangan. Baginya, kesenangan itulah yang menjadi motor dan norma tindakan manusiawi kita.
Epikuros tidak mengagungkan kesenangan sensual dan sejenisnya yang  mengabsenkan moralitas. Kesenangan yang dimaksudkannya juga bukan kesenangan tanpa batas, kendatipun kesenangan perut ia tempatkan pada urutan pertama dalam tingkatan kesenangan. Pedoman hidup yang dipegangnya adalah menjauhkan segala kesakitan dan penderitaan serta mencari kesenangan.
Epikuros memperjuangkan kesenangan sebagai kebaikan tertinggi. Kesenangan yang bermoral. Untuk itu ia tidak berpikir tentang kenikmatan tak bermoral dan yang justru membebani fisik. Ia mengusahakan tiadanya penderitaan fisik dan keresahan jiwa. Nah, apa yang dilakukannya untuk mencapai tujuan itu?
Pertanyan itulah yang menginspirasinya untuk mempraktekkan askese, yaitu keutamaan melawan kenikmatan langsung dengan membatasi diri dalam hal makanan, minuman, tidur, dan sebagainya. Dalam mempraktekakkan askese itu, rasio berperan penting sebab dengannya kita mampu menentukan obyek yang tepat dari banyaknya obyek kesenangan yang mungkin. Dengan kata lain, rasio menununtun kita pada pilihan yang bermuara pada kesenangan sejati. Selain peran penting rasio, Â pengalaman masa lalu pun perlu disertakan agar dampak di balik pilihan itu bisa diantisipasi.
Untuk itu, kita tidak mencari semua kesenangan. Adakalanya  kesenangan menimbulkan penderitaan dan kemalangan yang lebih besar. Di sisi lain, tidak semua penderitaan harus dihindari sebab penderitaan kerapkali mengantar kita pada kesenangan sejati.
Epikuros berani menempuh cara askese karena ingin menjangkau kesenangan tertingi yaitu kesenangan atau ketenangan jiwa (kedamaian batin). Memperoleh ketenangan jiwa adalah kemungkinan ultim manusia selama hidupnya dan makna seluruh keberadaannya.
Referensi:
K. Bertens, Ringkasan Sejarah Filsafat, Kanisius, Yogyakarta, 2011.
P. A Â Van der weij, Filsuf-filsuf Besar Tentang Manusia (diterjemahkan oleh K. Bertens), Kanisius, Yogyakarta, 2000.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H